Wajah toleransi di AS, Muslim rayakan Natal
A
A
A
Sindonews.com - Satu atau dua generasi yang lalu, ketika Muslim di Amerika Serikat berstatus sebagai imigran baru dan sekaligus sebagai minoritas, perayaan Natal begitu asing, bahkan tabu.
Tapi, beda dengan kondisi saat ini. Sejumlah keluarga Muslim di sana menghiasi rumah mereka dengan pohon Natal dan berbagi suka cita dengan kaum Nasrani. Bagi umat Muslim di AS, merayakan Natal bukan mengikuti acara teologisnya, tapi berbaur dengan kegiatan sosial semata.
”Saya mengajar tiga anak-anak saya, untuk mendatangi sekolah umum yang kebetulan merayakan Natal. Kami berbaur, antara Kristen dan Muslim. Kami benar-benar berbaur, karena kita adalah Muslim,” kata Hannah Hawak, asal Houston, via e-mail, kemarin, seperti dikutip USA Today.
Bagi Hannah, Muslim juga mengimani Yesus yang tertuang dalam Quran sebagai Nabi Isa. Sebelum ikut merayakan Natal, Hannah mempelajari sejarah-sejarah dan teori tentang Kristen di dalam Quran.
Hannah juga mengundang para teman, tetangga, dan para guru untuk makam malam. Dia juga menyebarkan kartu “Merry Christmas", serta mengucapkan selamat Natal melalui telepon.
Imam Muzammil Siddiqi, mantan Presiden Masyarakat Islam Amerika Utara berpendapat, sudah semestinya umat Muslim merayakan Natal sebagai hari libur untuk menghormati tokoh Kristen.”Haruskah kita memberitahu anak-anak kita Bahwa kita adalah Muslim, dan ini bukan liburan kami?,” kata Siddiqi dalam komentar yang diposting di situs OnIslam.net. ”Ini adalah hari libur tetangga Kristen kami dan teman-teman.”
Rizwan Kadir, seorang penasihat keuangan yang aktif dalam Komunistas Muslim di dekat Kota Chicago juga menyerukan umat Muslim Amerika menunjukkan toleransi dengan berbaur dengan tetangga Kristen. ”Muslim harus bergabung dengan tetangga Kristen mereka untuk merayakan Natal,” kata Rizwan Kadir.
“Kami mengimani Isa juga. Itu nama Arab untuk Yesus,” lanjut Rizwan. Masalah, percaya atau tidak Yesus disalibkan, katanya, umat Muslim percaya Yesus adalah nabi pendahulu Nabi Muhammad.
Kendati demikian, pemikiran tabu merayakan Natal bagi umat Muslim di AS masih tetap ada. Zeyna Ahmed, gadis AS yang lahir dari orangtua asal Mesir pernah diminta ayahnya untuk menahan diri tidak terlibat dalam perayaan Natal. Sebaliknya, ibunya yang justru menyukai berbagai aspek dari perayaan Natal.
Gadis empat tahun itu pun mengkritisi sikap ayahnya itu.”Karena kita Muslim,” ujarnya. ”Karena kami percaya kepada Yesus juga,” kritik Zeyna.
Imam Talal Eid dari Quincy, yang merupakan mantan anggota Komisi AS tentang Kebebasan Beragama Internasional, berpendapat untuk mengakhiri kontroversi itu. Dia pun mengutip dalil di Quran. “Tuhan menciptakan masyarakat dan suku-suku itu, agar Anda dapat mengenal satu sama lain,” ujarnya, mengutip Quran.
Dia menambahkan, ketika beberapa umat Kristen dan Yahudi di AS ikut berpuasa untuk solidaritas kepada umat Muslim selama Ramadan lalu, sudah saatnya umat Muslim membalasnya. ”Ini bukan aspek teologis,” kata Eid. ”Ini adalah masalah persekutuan dan kegiatan sosial. Tidak ada yang salah dengan bertukar hadiah dan berpartisipasi,” ucapnya.
Tapi, beda dengan kondisi saat ini. Sejumlah keluarga Muslim di sana menghiasi rumah mereka dengan pohon Natal dan berbagi suka cita dengan kaum Nasrani. Bagi umat Muslim di AS, merayakan Natal bukan mengikuti acara teologisnya, tapi berbaur dengan kegiatan sosial semata.
”Saya mengajar tiga anak-anak saya, untuk mendatangi sekolah umum yang kebetulan merayakan Natal. Kami berbaur, antara Kristen dan Muslim. Kami benar-benar berbaur, karena kita adalah Muslim,” kata Hannah Hawak, asal Houston, via e-mail, kemarin, seperti dikutip USA Today.
Bagi Hannah, Muslim juga mengimani Yesus yang tertuang dalam Quran sebagai Nabi Isa. Sebelum ikut merayakan Natal, Hannah mempelajari sejarah-sejarah dan teori tentang Kristen di dalam Quran.
Hannah juga mengundang para teman, tetangga, dan para guru untuk makam malam. Dia juga menyebarkan kartu “Merry Christmas", serta mengucapkan selamat Natal melalui telepon.
Imam Muzammil Siddiqi, mantan Presiden Masyarakat Islam Amerika Utara berpendapat, sudah semestinya umat Muslim merayakan Natal sebagai hari libur untuk menghormati tokoh Kristen.”Haruskah kita memberitahu anak-anak kita Bahwa kita adalah Muslim, dan ini bukan liburan kami?,” kata Siddiqi dalam komentar yang diposting di situs OnIslam.net. ”Ini adalah hari libur tetangga Kristen kami dan teman-teman.”
Rizwan Kadir, seorang penasihat keuangan yang aktif dalam Komunistas Muslim di dekat Kota Chicago juga menyerukan umat Muslim Amerika menunjukkan toleransi dengan berbaur dengan tetangga Kristen. ”Muslim harus bergabung dengan tetangga Kristen mereka untuk merayakan Natal,” kata Rizwan Kadir.
“Kami mengimani Isa juga. Itu nama Arab untuk Yesus,” lanjut Rizwan. Masalah, percaya atau tidak Yesus disalibkan, katanya, umat Muslim percaya Yesus adalah nabi pendahulu Nabi Muhammad.
Kendati demikian, pemikiran tabu merayakan Natal bagi umat Muslim di AS masih tetap ada. Zeyna Ahmed, gadis AS yang lahir dari orangtua asal Mesir pernah diminta ayahnya untuk menahan diri tidak terlibat dalam perayaan Natal. Sebaliknya, ibunya yang justru menyukai berbagai aspek dari perayaan Natal.
Gadis empat tahun itu pun mengkritisi sikap ayahnya itu.”Karena kita Muslim,” ujarnya. ”Karena kami percaya kepada Yesus juga,” kritik Zeyna.
Imam Talal Eid dari Quincy, yang merupakan mantan anggota Komisi AS tentang Kebebasan Beragama Internasional, berpendapat untuk mengakhiri kontroversi itu. Dia pun mengutip dalil di Quran. “Tuhan menciptakan masyarakat dan suku-suku itu, agar Anda dapat mengenal satu sama lain,” ujarnya, mengutip Quran.
Dia menambahkan, ketika beberapa umat Kristen dan Yahudi di AS ikut berpuasa untuk solidaritas kepada umat Muslim selama Ramadan lalu, sudah saatnya umat Muslim membalasnya. ”Ini bukan aspek teologis,” kata Eid. ”Ini adalah masalah persekutuan dan kegiatan sosial. Tidak ada yang salah dengan bertukar hadiah dan berpartisipasi,” ucapnya.
(kri)