Ziarah iman, wisata sejarah pengungsi Vietnam di Pulau Galang
A
A
A
Sindonews.com - Pulau Galang tak berpenghuni. Tapi, pulau di wilayah gerejani Keuskupan Pangkalpinang ini menjadi tempat peziarahan. Ia juga menyimpan jejak sejarah yang mengharumkan nama Indonesia di dunia internasional.
Sore itu, Minggu 2 November 2013, jalan-jalan bagian utara Kota Batam lengang. Suasana hiruk-pikuk kota reda. Selama dua hari sebelumnya, Kota Batam riuh oleh buruh yang turun ke jalan-jalan untuk melakukan aksi demo menuntut kenaikan upah. Di wilayah Batuaji, tempat saya menginap, tampak berawan.
Sore itu, saya bersama seorang teman melakukan perjalanan dengan mobil ke Pulau Galang yang terletak di bagian selatan Pulau Batam. Nama teman saya itu, Supangat. Saat jalan semakin ke selatan, pemandangan terhampar luas. Jalan lurus bergelombang di depan mata.
Di sisi kiri dan kanan jalan, bukit-bukit berbaris dengan beragam pepohonan hijau. Sesekali, tatkala bukit terlewati, biru laut terpapar ke bola mata. Pulau-pulau kecil menampakkan batang hidungnya di tengah laut biru tak bertepi itu. Satu dua perahu kecil melintas di kejauhan, menambah keelokan sore itu.
Untuk mencapai Pulau Galang, kami harus melewati lima jembatan yang menghubungkan lima pulau (Batam, Tonton, Nipah, Rempang, dan Galang). Pulau Galang adalah pulau ke lima yang bisa dicapai setelah melewati jembatan-jembatan ini.
Setelah Pulau Galang, masih ada satu pulau lagi yang bernama Galang Baru. Ia adalah pulau terakhir yang dihubungkan juga dengan jembatan. Semuanya ada enam jembatan.
Tidak Tertata
Sekitar dua jam perjalanan, tibalah kami di Pulau Galang. Gapura bertuliskan “Batam Pulau Galang” terpampang menyambut kami. Jalannya beraspal. Di sisi kiri dan kanan, pohon-pohon tinggi berjejer. Rumput hijau menjalar di sepanjang sisi jalan. Monyet-monyet berlari-larian, tak peduli pada mobil kami yang semakin mendekat. Tak ada rumah.
Sekira lima menit setelah melewati pos jaga, kami berbelok ke kanan. Jalanan sedikit menanjak. “Di sebelah kiri itu ada perhentian-perhentian Jalan Salib. Umat biasanya mengadakan Jalan Salib di sini. Ini disebut Galang Site I,” tutur Supangat.
Ketika tanjakan itu usai, Patung Bunda Maria berdiri tegak di hadapan kami. Patung setinggi sekira satu meter itu di bangun dengan latar belakang layar perahu. Di bagian kiri patung, terdapat lantai cukup luas yang merupakan bekas bangunan gereja.
Menurut Frans Wiyono, salah seorang yang saat itu menjalankan tugas pastoral Gereja di Galang (1983-1984), gereja ini menjadi pusat pelayanan pastoral bagi para pengungsi yang saat itu mencapai 70.000 orang.
Tak jauh dari situ, ada sebuah rumah tua tak berpenghuni. Atapnya sudah lapuk dan berlubang. Cat putih pada tembok yang terbuat dari papan itu pun tampak pudar. Patung Bunda Maria dan rumah tua itu dikelilingi pohon-pohon tinggi, sehingga tak mungkin terlihat dari kejauhan.
Dari jejak-jejak bangunan di Galang Site I ini tampak bahwa bekas hunian ini tidak tertata rapi. Pasalnya, Galang Site I menjadi tempat transit. Pengungsi yang ditempatkan di sini adalah mereka yang diproses untuk mendapatkan suaka politik di negara ketiga seperti Australia, Amerika, Kanada, dan negara-negara maju lainnya.
Museum Seni Pengungsi
Lalu, kami melanjutkan perjalanan ke Galang Site II. Ini merupakan tempat hunian yang lebih tertata rapi karena para pengungsi tinggal dalam waktu relatif lebih lama. “Dulu, di sini terdiri dari barak-barak atau rumah panjang yang di pakai untuk menampung pengungsi. Ada yang dua lantai,” kata Supangat.
Namun sayang, sebagian besar barak-barak itu sudah roboh, bahkan tak berbekas. Hanya tertinggal dua rumah reyot. Itu pun sudah lapuk, tak terurus. Atapnya sudah tak kelihatan lagi karena tertutup pohon-pohon tinggi.
Ada dua perahu besar bercat biru yang dipajang di sisi kanan jalan ke Galang II ini. Kedua perahu itu diberi atap sehingga terlindung dari hujan dan terkesan baru. “Itu replika perahu yang dipakai para pengungsi Vietnam Selatan saat mereka lari ke Indonesia,” tutur Supangat.
Tak jauh dari kedua perahu ini terdapat sebuah museum. Saat saya memasuki museum itu, beberapa orang sudah lebih dulu berkunjung ke situ. Ada anak kecil, anak muda, juga orang tua. Beberapa di antara mereka mengenakan jilbab.
Di dalam rumah itu terdapat beragam jenis barang. Sejumlah ukiran patung Buddha berukuran kecil memenuhi sebuah meja panjang. Hasil lukisan para pengungsi juga menghiasi dinding ruangan itu. Ada gambar perahu dengan orang berjubel di atasnya terombang-ambing oleh gelombang laut.
Ada pula potongan-potongan batu putih persegi bertuliskan “Ta On Duk Me”. “Ungkapan ini mengandung arti terima kasih kepada yang Mahakuasa,” tandas penjaga museum, Abunawas Tanawolo.
Ia menuturkan, “Patung dan gambar-gambar ini adalah peninggalan para pengungsi. Mereka memiliki rasa seni yang sangat tinggi. Selama mereka di sini, selain mendapat bantuan dari PBB, mereka juga mendapat uang dari hasil penjualan gambar dan ukiran ini.”
Pria asal Flores ini dibawa orangtuanya masuk ke Pulau Galang pada 1980. Ia turut menyaksikan bagaimana para pengungsi ini berusaha bertahan hidup dalam situasi pelarian.
Hingga saat ini, menurut Abu, setiap satu atau dua tahun sekali para mantan pengungsi Vietnam Selatan mengunjungi Galang. Mereka sekadar bernostalgia atas derita yang mereka alami, dan ingin mengunjungi rumah yang dulu pernah mereka tinggali.
“Ada yang menangis ketika melihat rumahnya sudah lapuk, bahkan tak ada lagi. Terkadang mereka tanya ke saya di mana persis letak rumahnya, tapi saya juga tak ingat lagi. Bagaimanapun, mereka pasti mengingat tempat yang pernah menyelamatkan hidup mereka,” tandas Abu yang bisa berbahasa Vietnam.
Gereja St Maria
Di Galang Site II juga terdapat Gereja St Maria. Gereja itu berdinding kayu dengan salib menjulang tinggi di bubungannya. Frans Wiyono, mantan Yesuit yang saat ini berkarir sebagai Microinsurance Specialist Bank Dunia di Jakarta itu menceritakan bahwa gereja ini dibangun saat ia masih bertugas melayani para pengungsi di sana.
Di sisi kiri gereja itu ada sebuah replika perahu yang dibuat dari semen. Replika perahu ini juga merupakan karya seni para pengungsi. Di atas perahu terdapat sebuah patung Maria dengan tinggi lebih dari satu meter. Di sebelahnya lagi terdapat patung Santo John Bosco.
Pada masa itu, baik di Galang Site I maupun Site II, Gereja terlibat penuh melayani para pengungsi. Frans Wiyono mengatakan, beragam kegiatan pastoral di lakukan bagi para pengungsi. Mulai dari Misa, pelayanan orang sakit, pembinaan umat, pembinaan iman anak-anak, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Pastoral para pengungsi ini juga disokong oleh suster-suster dari Tarekat Gembala Baik (RGS) dan Jesus Maria Joseph (JMJ). Dana untuk menghidupi para pengungsi itu datang dari lembaga PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR) dan pemerintah Indonesia. Para pengungsi yang beragama Katolik adalah yang terbesar kedua setelah mereka yang beragama Buddha.
Penampungan pengungsi di Pulau Galang akhirnya ditutup pada 1996. Para pengungsi yang tidak tersalurkan ke negara ketiga, dipulangkan ke Vietnam.
(Sumber: www.hidupkatolik.com/Stefanus P Elu)
Sore itu, Minggu 2 November 2013, jalan-jalan bagian utara Kota Batam lengang. Suasana hiruk-pikuk kota reda. Selama dua hari sebelumnya, Kota Batam riuh oleh buruh yang turun ke jalan-jalan untuk melakukan aksi demo menuntut kenaikan upah. Di wilayah Batuaji, tempat saya menginap, tampak berawan.
Sore itu, saya bersama seorang teman melakukan perjalanan dengan mobil ke Pulau Galang yang terletak di bagian selatan Pulau Batam. Nama teman saya itu, Supangat. Saat jalan semakin ke selatan, pemandangan terhampar luas. Jalan lurus bergelombang di depan mata.
Di sisi kiri dan kanan jalan, bukit-bukit berbaris dengan beragam pepohonan hijau. Sesekali, tatkala bukit terlewati, biru laut terpapar ke bola mata. Pulau-pulau kecil menampakkan batang hidungnya di tengah laut biru tak bertepi itu. Satu dua perahu kecil melintas di kejauhan, menambah keelokan sore itu.
Untuk mencapai Pulau Galang, kami harus melewati lima jembatan yang menghubungkan lima pulau (Batam, Tonton, Nipah, Rempang, dan Galang). Pulau Galang adalah pulau ke lima yang bisa dicapai setelah melewati jembatan-jembatan ini.
Setelah Pulau Galang, masih ada satu pulau lagi yang bernama Galang Baru. Ia adalah pulau terakhir yang dihubungkan juga dengan jembatan. Semuanya ada enam jembatan.
Tidak Tertata
Sekitar dua jam perjalanan, tibalah kami di Pulau Galang. Gapura bertuliskan “Batam Pulau Galang” terpampang menyambut kami. Jalannya beraspal. Di sisi kiri dan kanan, pohon-pohon tinggi berjejer. Rumput hijau menjalar di sepanjang sisi jalan. Monyet-monyet berlari-larian, tak peduli pada mobil kami yang semakin mendekat. Tak ada rumah.
Sekira lima menit setelah melewati pos jaga, kami berbelok ke kanan. Jalanan sedikit menanjak. “Di sebelah kiri itu ada perhentian-perhentian Jalan Salib. Umat biasanya mengadakan Jalan Salib di sini. Ini disebut Galang Site I,” tutur Supangat.
Ketika tanjakan itu usai, Patung Bunda Maria berdiri tegak di hadapan kami. Patung setinggi sekira satu meter itu di bangun dengan latar belakang layar perahu. Di bagian kiri patung, terdapat lantai cukup luas yang merupakan bekas bangunan gereja.
Menurut Frans Wiyono, salah seorang yang saat itu menjalankan tugas pastoral Gereja di Galang (1983-1984), gereja ini menjadi pusat pelayanan pastoral bagi para pengungsi yang saat itu mencapai 70.000 orang.
Tak jauh dari situ, ada sebuah rumah tua tak berpenghuni. Atapnya sudah lapuk dan berlubang. Cat putih pada tembok yang terbuat dari papan itu pun tampak pudar. Patung Bunda Maria dan rumah tua itu dikelilingi pohon-pohon tinggi, sehingga tak mungkin terlihat dari kejauhan.
Dari jejak-jejak bangunan di Galang Site I ini tampak bahwa bekas hunian ini tidak tertata rapi. Pasalnya, Galang Site I menjadi tempat transit. Pengungsi yang ditempatkan di sini adalah mereka yang diproses untuk mendapatkan suaka politik di negara ketiga seperti Australia, Amerika, Kanada, dan negara-negara maju lainnya.
Museum Seni Pengungsi
Lalu, kami melanjutkan perjalanan ke Galang Site II. Ini merupakan tempat hunian yang lebih tertata rapi karena para pengungsi tinggal dalam waktu relatif lebih lama. “Dulu, di sini terdiri dari barak-barak atau rumah panjang yang di pakai untuk menampung pengungsi. Ada yang dua lantai,” kata Supangat.
Namun sayang, sebagian besar barak-barak itu sudah roboh, bahkan tak berbekas. Hanya tertinggal dua rumah reyot. Itu pun sudah lapuk, tak terurus. Atapnya sudah tak kelihatan lagi karena tertutup pohon-pohon tinggi.
Ada dua perahu besar bercat biru yang dipajang di sisi kanan jalan ke Galang II ini. Kedua perahu itu diberi atap sehingga terlindung dari hujan dan terkesan baru. “Itu replika perahu yang dipakai para pengungsi Vietnam Selatan saat mereka lari ke Indonesia,” tutur Supangat.
Tak jauh dari kedua perahu ini terdapat sebuah museum. Saat saya memasuki museum itu, beberapa orang sudah lebih dulu berkunjung ke situ. Ada anak kecil, anak muda, juga orang tua. Beberapa di antara mereka mengenakan jilbab.
Di dalam rumah itu terdapat beragam jenis barang. Sejumlah ukiran patung Buddha berukuran kecil memenuhi sebuah meja panjang. Hasil lukisan para pengungsi juga menghiasi dinding ruangan itu. Ada gambar perahu dengan orang berjubel di atasnya terombang-ambing oleh gelombang laut.
Ada pula potongan-potongan batu putih persegi bertuliskan “Ta On Duk Me”. “Ungkapan ini mengandung arti terima kasih kepada yang Mahakuasa,” tandas penjaga museum, Abunawas Tanawolo.
Ia menuturkan, “Patung dan gambar-gambar ini adalah peninggalan para pengungsi. Mereka memiliki rasa seni yang sangat tinggi. Selama mereka di sini, selain mendapat bantuan dari PBB, mereka juga mendapat uang dari hasil penjualan gambar dan ukiran ini.”
Pria asal Flores ini dibawa orangtuanya masuk ke Pulau Galang pada 1980. Ia turut menyaksikan bagaimana para pengungsi ini berusaha bertahan hidup dalam situasi pelarian.
Hingga saat ini, menurut Abu, setiap satu atau dua tahun sekali para mantan pengungsi Vietnam Selatan mengunjungi Galang. Mereka sekadar bernostalgia atas derita yang mereka alami, dan ingin mengunjungi rumah yang dulu pernah mereka tinggali.
“Ada yang menangis ketika melihat rumahnya sudah lapuk, bahkan tak ada lagi. Terkadang mereka tanya ke saya di mana persis letak rumahnya, tapi saya juga tak ingat lagi. Bagaimanapun, mereka pasti mengingat tempat yang pernah menyelamatkan hidup mereka,” tandas Abu yang bisa berbahasa Vietnam.
Gereja St Maria
Di Galang Site II juga terdapat Gereja St Maria. Gereja itu berdinding kayu dengan salib menjulang tinggi di bubungannya. Frans Wiyono, mantan Yesuit yang saat ini berkarir sebagai Microinsurance Specialist Bank Dunia di Jakarta itu menceritakan bahwa gereja ini dibangun saat ia masih bertugas melayani para pengungsi di sana.
Di sisi kiri gereja itu ada sebuah replika perahu yang dibuat dari semen. Replika perahu ini juga merupakan karya seni para pengungsi. Di atas perahu terdapat sebuah patung Maria dengan tinggi lebih dari satu meter. Di sebelahnya lagi terdapat patung Santo John Bosco.
Pada masa itu, baik di Galang Site I maupun Site II, Gereja terlibat penuh melayani para pengungsi. Frans Wiyono mengatakan, beragam kegiatan pastoral di lakukan bagi para pengungsi. Mulai dari Misa, pelayanan orang sakit, pembinaan umat, pembinaan iman anak-anak, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Pastoral para pengungsi ini juga disokong oleh suster-suster dari Tarekat Gembala Baik (RGS) dan Jesus Maria Joseph (JMJ). Dana untuk menghidupi para pengungsi itu datang dari lembaga PBB untuk urusan pengungsi (UNHCR) dan pemerintah Indonesia. Para pengungsi yang beragama Katolik adalah yang terbesar kedua setelah mereka yang beragama Buddha.
Penampungan pengungsi di Pulau Galang akhirnya ditutup pada 1996. Para pengungsi yang tidak tersalurkan ke negara ketiga, dipulangkan ke Vietnam.
(Sumber: www.hidupkatolik.com/Stefanus P Elu)
(kri)