RUU JPH dicurigai ditunggangi kepentingan politik
A
A
A
Sindonews.com - Anggota Komisi VIII DPR RI, Muhammad Baghowi mengatakan, ada beberapa hal yang menjadi hambatan dalam pembahasan jika Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) segera diundangkan. Hal ini terkait poin-poin yang ada di dalam draf RUU tersebut.
"Sebenarnya, DPR setuju dengan RUU ini. Tapi poin-poin yang ada di dalam draf RUU yang membuatnya alot," ujar dia ketika dihubungi SINDO, Rabu 5 Desember 2013 malam.
Menurut dia, poin tersebut terkait wajib atau tidaknya aturan ini diterapkan nantinya. "Dalam hal ini MUI minta ini mandatori (wajib), sementara DPR sudah mulai mengarahkan pada voluntary (sukarela). Tapi bagaimana dengan pengusaha kecil," tuturnya.
Baghowi mengatakan, jika aturan ini menjadi mandatori, maka tidak ada yang dibedakan. Entah itu pengusaha besar atau pengusaha kecil. Selain itu, DPR masih membahas tentang siapa yang akan memegang wewenang atas sertifikasi itu.
Lalu, dirinya juga menyinggung masalah infrastruktur lembaga penjamin produk halal (LPH), jika RUU ini disahkan. Karena LPH tidak bisa jika hanya terdapat di Jakarta saja.
"Indonesia punya 33 Provinsi dan 491 kabupaten/kota. Itu semua harus dibangun lembaganya. Butuh tanah, dan berapa sekarang harga tanah. Kemudian dikalikan dengan jumlah Provinsi dan kabupaten/kota tadi. Apa negara punya uang sebanyak itu?," kata dia.
Tak ketinggalan, juga soal sumber daya manusia di dalamnya. "Orang-orang yang bekerja bagaimana. Kan perlu pelatihan. Lalu alat pendukung dan laboratoriumnya. Itu uang lagi," tutur dia lagi.
Oleh karena itulah, ia pun bingung mengapa ada yang sangat mendesak agar RUU ini segera diterapkan. "Dulu awalnya dari pemerintah. Kemudian, ada dari DPR yang mengajukan kembali. Apa alasannya. Dulu saya tanyakan, tapi belum dijawab," papar dia.
"Jangan-jangan ada kepentingan tertentu di balik ini. Apalagi ada uang yang begitu besar di baliknya," sambung dia. Ia pun pesimis, jika RUU JPH akan rampung dibahas pada periode ini. "Saya tidak yakin," kata Baghowi.
Apalagi, sekarang adalah tahun politik yang bukan tidak mungkin akan ada kepentingan tertentu yang menunggangi RUU JPH ini dan ditakutkan akan menimbulkan kisruh politik, meski hanya sebagai bumbu.
"Ada orang politik yang mempunyai usaha. Dan ternyata usahanya itu tidak bersertifikat halal. Lalu didemo," ujarnya.
Meski ia mengaku tidak semua orang Indonesia taat beribadah, namun jika soal halal haram, semua pasti bersatu. "Ini juga bisa menjadi senjata persaingan usaha. Lalu kalau ada sudah menjadi korban dan bangkrut, di mana jaminan investasinya?" tegas dia.
Baca berita:
Sertifikasi halal farmasi dinilai tidak perlu dilakukan
"Sebenarnya, DPR setuju dengan RUU ini. Tapi poin-poin yang ada di dalam draf RUU yang membuatnya alot," ujar dia ketika dihubungi SINDO, Rabu 5 Desember 2013 malam.
Menurut dia, poin tersebut terkait wajib atau tidaknya aturan ini diterapkan nantinya. "Dalam hal ini MUI minta ini mandatori (wajib), sementara DPR sudah mulai mengarahkan pada voluntary (sukarela). Tapi bagaimana dengan pengusaha kecil," tuturnya.
Baghowi mengatakan, jika aturan ini menjadi mandatori, maka tidak ada yang dibedakan. Entah itu pengusaha besar atau pengusaha kecil. Selain itu, DPR masih membahas tentang siapa yang akan memegang wewenang atas sertifikasi itu.
Lalu, dirinya juga menyinggung masalah infrastruktur lembaga penjamin produk halal (LPH), jika RUU ini disahkan. Karena LPH tidak bisa jika hanya terdapat di Jakarta saja.
"Indonesia punya 33 Provinsi dan 491 kabupaten/kota. Itu semua harus dibangun lembaganya. Butuh tanah, dan berapa sekarang harga tanah. Kemudian dikalikan dengan jumlah Provinsi dan kabupaten/kota tadi. Apa negara punya uang sebanyak itu?," kata dia.
Tak ketinggalan, juga soal sumber daya manusia di dalamnya. "Orang-orang yang bekerja bagaimana. Kan perlu pelatihan. Lalu alat pendukung dan laboratoriumnya. Itu uang lagi," tutur dia lagi.
Oleh karena itulah, ia pun bingung mengapa ada yang sangat mendesak agar RUU ini segera diterapkan. "Dulu awalnya dari pemerintah. Kemudian, ada dari DPR yang mengajukan kembali. Apa alasannya. Dulu saya tanyakan, tapi belum dijawab," papar dia.
"Jangan-jangan ada kepentingan tertentu di balik ini. Apalagi ada uang yang begitu besar di baliknya," sambung dia. Ia pun pesimis, jika RUU JPH akan rampung dibahas pada periode ini. "Saya tidak yakin," kata Baghowi.
Apalagi, sekarang adalah tahun politik yang bukan tidak mungkin akan ada kepentingan tertentu yang menunggangi RUU JPH ini dan ditakutkan akan menimbulkan kisruh politik, meski hanya sebagai bumbu.
"Ada orang politik yang mempunyai usaha. Dan ternyata usahanya itu tidak bersertifikat halal. Lalu didemo," ujarnya.
Meski ia mengaku tidak semua orang Indonesia taat beribadah, namun jika soal halal haram, semua pasti bersatu. "Ini juga bisa menjadi senjata persaingan usaha. Lalu kalau ada sudah menjadi korban dan bangkrut, di mana jaminan investasinya?" tegas dia.
Baca berita:
Sertifikasi halal farmasi dinilai tidak perlu dilakukan
(kri)