Tingkatkan peran psikiater untuk gangguan jiwa
A
A
A
Sindonews.com - Penanganan kesehatan jiwa dirasa lebih efektif dilakukan oleh para psikiater dibandingkan pengobatan di rumah sakit (RS). Hal ini terlihat dari data yang diluncurkan Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) 2013 oleh Balitbang Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa penderita gangguan jiwa lebih tinggi di pedesaan.
Kepala Balitbang Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Trihono mengatakan, dari temuan di lapangan terlihat prevalensi penderita gangguan jiwa berat sebanyak 1,7/1000 orang. Saat ini pengobatan yang dilakukan di RS dan Puskesmas harus sama-sama meningkatkan perbaikan layanan dan penyembuhan.
Menurut dia, dalam penanggulangannya diperlukan usaha ekstra untuk dapat menyembuhkan mentalik emosional yang harus cepat disortir agar tidak lanjut ke tahap sakit berikutnya.
“Kita harus menghindari mereka yang mempunyai gangguan jiwa agar tidak gila. Untuk itu perlu intervensi dalam sistem pengobatan,” tandasnya saat dihubungi SINDO, Senin 2 Desember 2013.
Trihono mengatakan, dalam masa penyembuhan penanganan secara rumah sakit saat ini dirasa kurang efektif. Untuk itu, penanganan berbasis masyarakat dengan psikiater dirasa akan lebih maksimal.
Saat ini, pengobatan untuk gangguan jiwa diharapkan tidak tergantung pada RS. Untuk itu, peran psikiater harus lebih ditingkatkan, selain itu peran keluarga dalam melakukan pemasungan dapat lebih terkontrol dibandingkan melepas di RS.
“Kecuali penderita mempunyai gangguan jiwa yang berat, sekalipun dipasung keluargalah yang melakukan pengobatan,” kata dia.
Dalam data Riskesda, lanjut dia, terdapat 14,3 persen penderita gangguan jiwa di Indonesia dengan penderita terbanyak di pedesaan dibandingkan di perkotaan. Sedangkan, prevalensi gangguan mental emosional di atas umur 15 tahun rata-rata 6,0 persen.
“Daerah yang masyarakatnya tinggi menderita gangguan jiwa ialah Sulawesi Tenggara 11,6 persen,” ujarnya. Pergeseran penderita gangguan jiwa saat ini lebih meningkat di pedesaan sebesar 18,2 persen sedangkan di perkotaan hanya 10,7 persen.
Baca berita:
Jumlah orang buta di dunia mencapai 39 juta jiwa
Kepala Balitbang Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Trihono mengatakan, dari temuan di lapangan terlihat prevalensi penderita gangguan jiwa berat sebanyak 1,7/1000 orang. Saat ini pengobatan yang dilakukan di RS dan Puskesmas harus sama-sama meningkatkan perbaikan layanan dan penyembuhan.
Menurut dia, dalam penanggulangannya diperlukan usaha ekstra untuk dapat menyembuhkan mentalik emosional yang harus cepat disortir agar tidak lanjut ke tahap sakit berikutnya.
“Kita harus menghindari mereka yang mempunyai gangguan jiwa agar tidak gila. Untuk itu perlu intervensi dalam sistem pengobatan,” tandasnya saat dihubungi SINDO, Senin 2 Desember 2013.
Trihono mengatakan, dalam masa penyembuhan penanganan secara rumah sakit saat ini dirasa kurang efektif. Untuk itu, penanganan berbasis masyarakat dengan psikiater dirasa akan lebih maksimal.
Saat ini, pengobatan untuk gangguan jiwa diharapkan tidak tergantung pada RS. Untuk itu, peran psikiater harus lebih ditingkatkan, selain itu peran keluarga dalam melakukan pemasungan dapat lebih terkontrol dibandingkan melepas di RS.
“Kecuali penderita mempunyai gangguan jiwa yang berat, sekalipun dipasung keluargalah yang melakukan pengobatan,” kata dia.
Dalam data Riskesda, lanjut dia, terdapat 14,3 persen penderita gangguan jiwa di Indonesia dengan penderita terbanyak di pedesaan dibandingkan di perkotaan. Sedangkan, prevalensi gangguan mental emosional di atas umur 15 tahun rata-rata 6,0 persen.
“Daerah yang masyarakatnya tinggi menderita gangguan jiwa ialah Sulawesi Tenggara 11,6 persen,” ujarnya. Pergeseran penderita gangguan jiwa saat ini lebih meningkat di pedesaan sebesar 18,2 persen sedangkan di perkotaan hanya 10,7 persen.
Baca berita:
Jumlah orang buta di dunia mencapai 39 juta jiwa
(kri)