Sertifikasi halal makanan dan industri farmasi harus dibedakan

Jum'at, 22 November 2013 - 10:16 WIB
Sertifikasi halal makanan dan industri farmasi harus dibedakan
Sertifikasi halal makanan dan industri farmasi harus dibedakan
A A A
Sindonews.com - Kementerian Kesehatan mengingatkan untuk tidak menggabungkan aturan sertifikasi halal produk farmasi dengan produk makanan dan minuman. Hal ini dikarenakan sampai belum adanya negara yang menerapkan aturan sertifikasi halal dalam hal obat-obatan.

Dirjen Bina Farmasi dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maura Linda Sitanggang mengatakan, pemerintah berharap agar rancangan undang-undang sertifikasi halal ini tidak diterapkan dalam dunia farmasi. Karena di seluruh negara di dunia tidak ada yang menerapkan hal itu. Bahkan Arab sekalipun tidak masuk masalah obat-obatan dalam sertifikasi halal mereka.

Menurut dia, pemerintah dan dewan memperhatikan hal itu dalam proses pembahasan rancangan undang-undang. Linda menuturkan, Kemenkes sendiri memang pernah diajak untuk membahas rancangan undang-undang itu. Namun sudah sejak satu tahun ini Kemenkes tidak diikutsertakan.

"Sudah tidak pernah diajak lagi, karena tidak pernah ada dapat undangan. Tahun lalu kita masuk tim. Terakhir ikut panja sama DPR," ujar Linda di Jakarta, Jumat (22/11/2013).

Dia mengatakan, yang pasti sebagai Kementerian yang berhubungan dengan industri farmasi dan obat-obatan, berharap sertifikasi halal produk makanan dan obat dipisahkan.

"Harus dipisahkan antara penerapan halal di farmasi dengan penerapan halal pada makanan dan minuman," tegasnya.

Sementara itu, Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Demokrat, Muhammad Baghowi, meminta pengesahan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) ditunda dahulu atau tidak dipaksakan.

Menurut dia, ada lebih banyak masalah jika RUU ini disahkan. "Ada potensi persaingan usaha. Misalkan ada dua pengusaha, yang satu dijamin halal dan satu lagi diragukan (kehalalannya). Nanti yang halal itu akan menggugat dan yang diragukan akan berdampak pada produksinya," kata dia.

Selain itu, Baghowi juga memaparkan jika masa berlaku sertifikasi halal adalah tiga tahun, dan harus mulai mengurus perpanjangan sejak enam bulan sebelum masa berlakunya habis.

"Jadi dalam lima tahun, pengusaha harus dua kali megurus, sekali mengurus biayanya adalah Rp6 juta. Berarti Rp12 juta dalam lima tahun. Kemudian dikalikan 40 juta pengusaha," katanya.

DPR mengakui, data yang didapat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih banyak terdapat obat dan kosmetik yang mengandung turunan babi.

"Jika ini dipaksakan, maka akan ada potensi produksi dalam negeri yang menjadi rapuh. Pengusaha harus melakukan penambahan anggaran agar produknya terjamin halal, dan kemudian dinilai layak dinikmati masyarakat," tegasnya.

Kemenkes berjanji perketat pengawasan obat ilegal
(lal)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5768 seconds (0.1#10.140)