Kuota 30% CPNS meresahkan guru
A
A
A
Sindonews.com - Kuota tenaga honorer yang dinaikkan menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) sebesar 30 persen meresahkan guru di daerah. Apalagi mereka juga tidak tahu akan bekerja sebagai apa jika tidak lulus.
Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo mengatakan, pada 3 November nanti tes tertulis bagi tenaga honorer kategori 2 (K2) untuk menjadi PNS dimulai. Namun bukan materi soal yang membuat guru pusing, melainkan kuota 30 persen bagi honorer untuk menjadi PNS.
Mereka mempertanyakan 70 persen tenaga honorer yang tidak lulus akan dikemanakan dan akan berstatus sebagai apa. “Mereka khawatir akan diPHK. Atau jika masih tetap menjadi pegawai akan bekerja sebagai apa mereka,” katanya di gedung PGRI, Jakarta, Kamis (31/10/2013).
Berdasarkan data Kemenpan dan RB, dari 613.919 honorer K2 yang akan diangkat menjadi PNS hanya 109.000 honorer. Mereka akan diseleksi melalui Tes Kompetensi Dasar (TKD) dan Tes Kompetensi Bidang (TKB) yang diselenggarakan pada 3 November mendatang.
Sulistiyo menyesalkan pemerintah yang sudah membatasi 30 persen tersebut tanpa menunggu hasil tes. Padahal jika mau adil, ujarnya, pemerintah semestinya melihat dulu kebutuhan daerah lalu memutuskan kuotanya. Pasalnya, bisa saja kebutuhan didaerah lebih sedikit daripada jumlah pegawai honorer dan atau sebaliknya.
Anggota DPD RI itu menyatakan, sebaiknya pemerintah merevisi batas kuota 30 persen tersebut. Melainkan menggantinya dengan seleksi lain yang memperhitungkan waktu pengabdian dan produktivitas mereka. “70 persen yang tersisa itu pasti yang sudah mengabdi puluhan tahun. Mengapa pemerintah tidak melihat pengabdian mereka yang sudah begitu lama,” sesalnya.
Dia meminta agar pemerintah bijaksana dalam penentuan status tenaga honorer. Pasalnya, keberadaan mereka sangat membantu dunia pendidikan. Misalkan saja di Temanggung jumlah guru PNS lebih sedikit daripada honorer. Kebanyakan sekolah pun diisi oleh guru honorer K1 dan K2. Sementara di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti di Banjarnegara, Kebumen dan Brebes juga masih kekurangan guru baik PNS dan honorer. Seperti di Brebes yang hanya mempunyai 2.453 guru saja.
Pihaknya memang tidak menuntut semua guru honorer diangkat. Namun mereka meminta tes penerimaan hanya salah satu factor penilaian kinerja sementara pengabdian itu yang menjadi semestinya jadi penilaian terpenting. “Pengangkatan dan pengabdian serta prestasi harus menjadi penentu. Memang lebih rumit namun ini lebih berperikemanusiaan dan keadilan,” jelasnya.
Sulistiyo mengungkapkan, jika memang pemerintah tidak kuat mengangkat guru honorer menjadi PNS makaa harus ada kebijakan pengganti. Dimana guru honorer yang tidak memenuhi syarat jadi PNS harus memperoleh subsidi. Nominal subsidi dibedakan pertahunnya. Seperti untuk 2014 subsidi diberikan Rp500.000/bulan, 2015 Rp750.000, 2016 Rp1 juta. Sedangkan pada 2017 subsidinya minimal sama dengan upah minimum regional (UMR) dan 2018 lebih tinggi dari UMR mengingat guru adalah profesi yang berkualifikasi tinggi disbanding yang lain.
Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) Tasdik Kinanto mengatakan, pihaknya tidak dapat berbuat banyak terhadap 70 persen tenaga honorer yang tidak lulus. Namun sesuai dengan amanat RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) maka masing-masing instansi pemerintahan dapat mempekerjakan mereka dengan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). “Ini memang alternative yang dapat kami berikan bagi honorer yang tersisa,” tuturnya.
Berdasarkan data, RUU ASN menyebutkan aparatur negara akan terbagi dua yakni PNS dan PPPK. Namun yang perlu dicatat adalah penjelasan selanjutnya bahwa berbeda dengan istilah pegawai honorer atau pegawai tak tetap pada masa sebelumnya, PPPK tidak dapat diangkat menjadi PNS.
Nasib guru honorer diserahkan ke pihak sekolah
Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo mengatakan, pada 3 November nanti tes tertulis bagi tenaga honorer kategori 2 (K2) untuk menjadi PNS dimulai. Namun bukan materi soal yang membuat guru pusing, melainkan kuota 30 persen bagi honorer untuk menjadi PNS.
Mereka mempertanyakan 70 persen tenaga honorer yang tidak lulus akan dikemanakan dan akan berstatus sebagai apa. “Mereka khawatir akan diPHK. Atau jika masih tetap menjadi pegawai akan bekerja sebagai apa mereka,” katanya di gedung PGRI, Jakarta, Kamis (31/10/2013).
Berdasarkan data Kemenpan dan RB, dari 613.919 honorer K2 yang akan diangkat menjadi PNS hanya 109.000 honorer. Mereka akan diseleksi melalui Tes Kompetensi Dasar (TKD) dan Tes Kompetensi Bidang (TKB) yang diselenggarakan pada 3 November mendatang.
Sulistiyo menyesalkan pemerintah yang sudah membatasi 30 persen tersebut tanpa menunggu hasil tes. Padahal jika mau adil, ujarnya, pemerintah semestinya melihat dulu kebutuhan daerah lalu memutuskan kuotanya. Pasalnya, bisa saja kebutuhan didaerah lebih sedikit daripada jumlah pegawai honorer dan atau sebaliknya.
Anggota DPD RI itu menyatakan, sebaiknya pemerintah merevisi batas kuota 30 persen tersebut. Melainkan menggantinya dengan seleksi lain yang memperhitungkan waktu pengabdian dan produktivitas mereka. “70 persen yang tersisa itu pasti yang sudah mengabdi puluhan tahun. Mengapa pemerintah tidak melihat pengabdian mereka yang sudah begitu lama,” sesalnya.
Dia meminta agar pemerintah bijaksana dalam penentuan status tenaga honorer. Pasalnya, keberadaan mereka sangat membantu dunia pendidikan. Misalkan saja di Temanggung jumlah guru PNS lebih sedikit daripada honorer. Kebanyakan sekolah pun diisi oleh guru honorer K1 dan K2. Sementara di beberapa daerah di Jawa Tengah seperti di Banjarnegara, Kebumen dan Brebes juga masih kekurangan guru baik PNS dan honorer. Seperti di Brebes yang hanya mempunyai 2.453 guru saja.
Pihaknya memang tidak menuntut semua guru honorer diangkat. Namun mereka meminta tes penerimaan hanya salah satu factor penilaian kinerja sementara pengabdian itu yang menjadi semestinya jadi penilaian terpenting. “Pengangkatan dan pengabdian serta prestasi harus menjadi penentu. Memang lebih rumit namun ini lebih berperikemanusiaan dan keadilan,” jelasnya.
Sulistiyo mengungkapkan, jika memang pemerintah tidak kuat mengangkat guru honorer menjadi PNS makaa harus ada kebijakan pengganti. Dimana guru honorer yang tidak memenuhi syarat jadi PNS harus memperoleh subsidi. Nominal subsidi dibedakan pertahunnya. Seperti untuk 2014 subsidi diberikan Rp500.000/bulan, 2015 Rp750.000, 2016 Rp1 juta. Sedangkan pada 2017 subsidinya minimal sama dengan upah minimum regional (UMR) dan 2018 lebih tinggi dari UMR mengingat guru adalah profesi yang berkualifikasi tinggi disbanding yang lain.
Sekretaris Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) Tasdik Kinanto mengatakan, pihaknya tidak dapat berbuat banyak terhadap 70 persen tenaga honorer yang tidak lulus. Namun sesuai dengan amanat RUU Aparatur Sipil Negara (ASN) maka masing-masing instansi pemerintahan dapat mempekerjakan mereka dengan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). “Ini memang alternative yang dapat kami berikan bagi honorer yang tersisa,” tuturnya.
Berdasarkan data, RUU ASN menyebutkan aparatur negara akan terbagi dua yakni PNS dan PPPK. Namun yang perlu dicatat adalah penjelasan selanjutnya bahwa berbeda dengan istilah pegawai honorer atau pegawai tak tetap pada masa sebelumnya, PPPK tidak dapat diangkat menjadi PNS.
Nasib guru honorer diserahkan ke pihak sekolah
(lal)