CSIS nilai politik di Indonesia mahal
A
A
A
Sindonews.com - Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips Jusario Vermonte mengatakan, politik menjadi mahal karena tak ada kepercayaan dari pemilih (konstituen) kepada calon pemimpinnya.
Sehingga, kata Philip, akhirnya politikus menempuh segala cara termasuk menempuh jalur politik transaksional menggunakan uang, untuk memenangkan kompetisi politik.
"Enggak ada trust, jadi politiknya mahal. Maka menurut saya, trust ini yang harus dipelihara biar ke depan politik itu murah," kata Philip, saat diskusi 'Undangan temu Kaum Muda Aktivis menuju Pemilu 2014', di rumah Matara, Blok S, Jakarta, Selasa (29/10/2013).
Dilanjutkan Philip, praktek politik berbiaya mahal, lantaran semua calon harus menyumbang dengan biaya mahal kepada partai politik. Hal itu yang membuat politik transaksional semakin kuat.
"Jika partai enggak dapat sumbangan, ya partai dapat uang dari mana? Ya terpaksa cari dana yang abu-abu dan ngambang," ungkapnya.
Ditambahkan dia, partai politik yang seharusnya lebih mengedepankan faktor ideologis menjadi hilang.
Kata dia, politik uang lebih dominan ketimbang niat mensejahterahkan masyarakat. "Maka tren partai idelogis sudah enggak ada," tutupnya.
Baca juga demokrasi di Indonesia mahal.
Sehingga, kata Philip, akhirnya politikus menempuh segala cara termasuk menempuh jalur politik transaksional menggunakan uang, untuk memenangkan kompetisi politik.
"Enggak ada trust, jadi politiknya mahal. Maka menurut saya, trust ini yang harus dipelihara biar ke depan politik itu murah," kata Philip, saat diskusi 'Undangan temu Kaum Muda Aktivis menuju Pemilu 2014', di rumah Matara, Blok S, Jakarta, Selasa (29/10/2013).
Dilanjutkan Philip, praktek politik berbiaya mahal, lantaran semua calon harus menyumbang dengan biaya mahal kepada partai politik. Hal itu yang membuat politik transaksional semakin kuat.
"Jika partai enggak dapat sumbangan, ya partai dapat uang dari mana? Ya terpaksa cari dana yang abu-abu dan ngambang," ungkapnya.
Ditambahkan dia, partai politik yang seharusnya lebih mengedepankan faktor ideologis menjadi hilang.
Kata dia, politik uang lebih dominan ketimbang niat mensejahterahkan masyarakat. "Maka tren partai idelogis sudah enggak ada," tutupnya.
Baca juga demokrasi di Indonesia mahal.
(stb)