LIPI minta parpol untuk dukung agenda reformasi
A
A
A
Sindonews.com - Pengamat Politik LIPI Siti Zuhro mengatakan, saat ini merupakan momen partai politik (parpol) untuk melakukan intropeksi dan reformasi. Pasalnya dinasti politik ini sudah memplot-plot terkait jaringan kekuasaan.
"Daerah butuh cantolan dan petunjuk diaturan. Ini tidak dikatakan eksplisit diaturan," katanya, Jumat (18/10/2013).
Siti mengatakan, politik dinasti yang terbangun di Indonesia sayangnya tidak menghasilkan pemimpin yang diharapkan. Dia mengatakan, hal ini tidak lepas dari peran parpol dalam memilih calon kepala daerah.
Selain itu, dari 924 pilkada yang digelar dari sabang sampai merauke, memang demokrasi lokal terjadi tetapi patrionalisme dan fedodalisme masih kental.
"58 daerah terindikasi politik kekerabatan. Baru satu kasus terbuka. Politik dinasti tidak melayani, tidak akuntabel, program-program tidak jalan. APBD entah dikemanakan?, elit sangat mewah masyarakat tidak berubah. Ini menjadi persolan bersama," katanya.
Menurut dia politik dinasti sudah merusak demokrasi. Maraknya politik dinasti karena demokrasi tidak sehat. Dalam hal ini pilar utamanya yakni parpol tidak tereformasi.
Proses pilkada yang subtansial belum terjadi. Pasalnya role model perilaku elit tidak terjadi. Kemudian law enforcemen rendah. Meskipun memang ada peningkatan keterlibatan masyarakat. Namun keterlibatan itu entah karena dibayar, afiliasi atau karena tradsional.
"Pilkada belum dipahami masyarakat sebagai cara memilih pemimpinan daerah kompeten, dan berkredbilitas dan memajukan daerah," katanya.
Dia mengatakan, hal ini menjadi pembelajaran untuk segera diperbaiki. Sehingga RUU pilkada harus long term. Rumusannya untuk kedepan bukan kepentingan sesaat, melainkan kepentingant jangka panjang. "Ini agar memberikan payung hukum tidak melanggar HAM, tetapi juga memberikan kepastian hukum," katanya.
Klik di sini untuk berita terkait.
"Daerah butuh cantolan dan petunjuk diaturan. Ini tidak dikatakan eksplisit diaturan," katanya, Jumat (18/10/2013).
Siti mengatakan, politik dinasti yang terbangun di Indonesia sayangnya tidak menghasilkan pemimpin yang diharapkan. Dia mengatakan, hal ini tidak lepas dari peran parpol dalam memilih calon kepala daerah.
Selain itu, dari 924 pilkada yang digelar dari sabang sampai merauke, memang demokrasi lokal terjadi tetapi patrionalisme dan fedodalisme masih kental.
"58 daerah terindikasi politik kekerabatan. Baru satu kasus terbuka. Politik dinasti tidak melayani, tidak akuntabel, program-program tidak jalan. APBD entah dikemanakan?, elit sangat mewah masyarakat tidak berubah. Ini menjadi persolan bersama," katanya.
Menurut dia politik dinasti sudah merusak demokrasi. Maraknya politik dinasti karena demokrasi tidak sehat. Dalam hal ini pilar utamanya yakni parpol tidak tereformasi.
Proses pilkada yang subtansial belum terjadi. Pasalnya role model perilaku elit tidak terjadi. Kemudian law enforcemen rendah. Meskipun memang ada peningkatan keterlibatan masyarakat. Namun keterlibatan itu entah karena dibayar, afiliasi atau karena tradsional.
"Pilkada belum dipahami masyarakat sebagai cara memilih pemimpinan daerah kompeten, dan berkredbilitas dan memajukan daerah," katanya.
Dia mengatakan, hal ini menjadi pembelajaran untuk segera diperbaiki. Sehingga RUU pilkada harus long term. Rumusannya untuk kedepan bukan kepentingan sesaat, melainkan kepentingant jangka panjang. "Ini agar memberikan payung hukum tidak melanggar HAM, tetapi juga memberikan kepastian hukum," katanya.
Klik di sini untuk berita terkait.
(stb)