Berkurban bukan untuk pamer harta, tetapi keikhlasan

Selasa, 15 Oktober 2013 - 07:00 WIB
Berkurban bukan untuk...
Berkurban bukan untuk pamer harta, tetapi keikhlasan
A A A
BEGITU besar dan sakralnya perayaan Idul Adha. Umat Islam selalu menyambutnya dengan gegap gempita dan penuh suka cita.

Lantunan takbir menjelang Idul Adha selalu bergemuruh dan menggema menembus langit-langit dunia mengiringi perginya senja, tanda hari pelaksanaan salat Idul Adha. Sekaligus mengawal sembelihan hewan kurban yang menjadi hari raya ini. Umat Islam pun tenggelam ke dalam ceruk penghayatan ritus ibadah yang sarat makna.

Meningkatnya kesadaran religius umat Islam yang ditandai dengan menggelembungnya kuantitas hewan kurban tentu merupakan fenomena yang menggembirakan. Namun apakah diiringi dengan peningkatan kualitas moral manusianya?.

Pasalnya, kurban bahkan Idul Adha itu sendiri seringkali hanya dipahami sebatas ibadah ritual keagamaan yang rutin. Artinya, setiap umat Islam yang melaksanakan ibadah kurban dan salat Idul Adha hanya mengharap pahala atau surga. Atau bahkan, mereka risih jika status kaya yang dimilikinya belum lengkap jika ada gunjingan bila ia tak berkurban.

Setiap yang melakukan ibadah kurban yang terbayang selalu besarnya pahala dan nikmatnya masuk surga akibat imbalan dari perbuatan kurban yang pernah dilakukan. Adapun nilai atau makna ritual dari ibadah kurban apalagi makna sosialnya seringkali terlupakan.

Jika kita membaca kisah Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. yang merupakan akar sejarah diturunkan ibadah kurban ini, maka kita akan menemukan makna spritualitas yang sangat tinggi.

Secara spiritual, apa yang diteladankan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. itu, menunjukkan kepasrahan atau kepatuhan yang total dari hamba kepada Allah dalam menunaikan ibadah.

"Ternyata kepatuhan atau kepasrahan tersebut bukan untuk Tuhan, melainkan untuk manusia itu sendiri. Setiap ibadah memang menuntut adanya totalitas kepasrahan dan kepatuhan. Inilah yang disebut beribadah dengan ikhlas, tanpa pamrih kecuali karena Allah semata," sebut Dosen tetap Fakultas Ilmu Agama Islam UII, Drs Asmuni Mth,M.A, (Dikutip UII.ac.id).

Ini bermakna bahwa kita dalam beribadah tidak boleh terpecah-pecah, atau tidak ikhlas, ingin pamer atau dianggap memiliki tingkat ibadah yang tinggi. Ibadah yang ikhlas dan pasrah adalah jauh dari riya’ (agar dilihat orang ), sum’ah (agar didengar orang lain) sehingga tidak hanya lillah ta’ala melainkan juga billah ta’ala.

Nabi Ibrahim dan Ismail telah membuktikan, agar manusia Muslim jangan sampai terpenjara oleh kecintaan kepada dunia (harta, kedudukan, jiwa raga) secara berlebihan dan membawa dirinya lupa kepada hakikat dan tujuan hidupnya yang sejati yakni memperoleh keridhaan Allah.

"Orang yang tidak memiliki semangat untuk membantu meringankan beban penderitaan orang lain meskipun mereka setiap tahun melaksanakan penyembelihan hewan kurban, belum dapat dikatakan telah melaksanakan ibadah kurban."

"Sebaliknya, meskipun seseorang itu tidak pernah menyembelih hewan kurban tetapi memiliki semangat dan selalu memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan berarti mereka telah melaksanakan ibadah kurban," bilangnya.

Allah memang selalu menguji kita. Terkadang dia ingin tahu seberapa besar keimanan dan kecintaan kita kepada-Nya, apakah kita masih menomorsatukan dia atas segala apapun yang fana yang kita miliki saat ini?.

Idul Adha selalu mengajarkan kita untuk selalu merelakan segala sesuatu yang kita cintai, atau ketika kita harus merelakan kepergian sesuatu yang sudah sangat kita jaga begitu lama.

Maka tetaplah berbaik sangka, karena sesungguhnya rencana dan ketetapan-Nya maha indah, bahkan lebih dari apa yang kita harapkan. Semakin cepat ikhlas, semakin cepat diganti dengan yang lebih baik.

Ikhlas bukanlah saat kita mengatakan, “aku sudah ikhlas”. Pada dasarnya keikhlasan bukan sesuatu yang diucapkan oleh mulut, melainkan dari hati. Saat kita ikhlas, itu berarti kita tidak akan mengungkitnya lagi ke belakang.

Saat kita ikhlas, itu berarti saat ada yang membicarakannya, kita sudah mampu meresponnya dengan tersenyum. Senyum keyakinan, bahwa Sang Pencipta akan segera mengganti kesedihan kita dengan kebahagiaan yang berkali lipat.

Saat kita ikhlas, maka tidak akan ada rasa sakit yang dapat menyentuh kita. Karena kita sudah ikhlas. Karena kita berbaik sangka pada Allah. Karena kita percaya Allah akan menggantinya. Karena kita percaya Allah memiliki rencana yang lebih baik.

Ketika kita telah benar-benar ikhlas…
(rsa)
Copyright © 2025 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0861 seconds (0.1#10.24)