Ini 5 mekanisme pangkas penyimpangan pada uji kelayakan
A
A
A
Sindonews.com - Peniadaan uji kelayakan dan kepatutan di DPR dinilai jalan pintas yang salah dalam proses rekrutmen komisioner dan pejabat publik. Sebab, proses tersebut adalah tahapan untuk mendapatkan figur terbaik.
"Dalam teori kelembagaan politik itu harus dipahami sebagai proses yang gradual. Kecuali ada good will dari kekuatan yang luar biasa untuk mendorong proses tersebut lebih cepat lagi," ujar Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi kepada Sindonews, Selasa (24/9/2013).
Menurutnya, perbaikan mekanisme pengawasan DPR memang sulit dilakukan. Namun, ada lima hal yang mesti dilakukan agar mekanisme menyimpang tersebut berkurang dan pada akhirnya hilang.
"Pertama, perlu dikaji tentang kemungkinan karantina bagi calon pejabat publik agar steril dari mekanisme lobi-lobi kotor," tutur pria yang juga menjadi dosen di Universitas Paramadina ini.
Kedua, lanjut Muradi, perlu juga dipikirkan agar dibakukan mekanisme uji kelayakan dan kepatutan terbuka bagi publik. "Ketiga, perlu kiranya mengawasi tempat-tempat yang berpotensi dijadikan tempat transaksional, setidaknya ada CCTV dan lain-lain," ujarnya.
Yang keempat, pengujian atas calon dalam uji kelayakan dan kepatutan harus pula melibatkan pemangku kepentingan dalam arti institusi yang akan diisi oleh calon tersebut.
"Dan kelima, perlu juga dikaji untuk melibatkan lembaga publik dalam mengukur kedalaman pemahaman dan ekspertise dari masing-masing calon," pungkasnya.
Sebelumnya, kewenangan DPR yang terlalu besar kembali disorot, setelah munculnya tindakan mencurigakan di toilet DPR antara anggota Komisi III dengan calon hakim agung yang tengah menjalani fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan).
Baca juga berita KY setuju jika uji kelayakan dihapus
"Dalam teori kelembagaan politik itu harus dipahami sebagai proses yang gradual. Kecuali ada good will dari kekuatan yang luar biasa untuk mendorong proses tersebut lebih cepat lagi," ujar Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Muradi kepada Sindonews, Selasa (24/9/2013).
Menurutnya, perbaikan mekanisme pengawasan DPR memang sulit dilakukan. Namun, ada lima hal yang mesti dilakukan agar mekanisme menyimpang tersebut berkurang dan pada akhirnya hilang.
"Pertama, perlu dikaji tentang kemungkinan karantina bagi calon pejabat publik agar steril dari mekanisme lobi-lobi kotor," tutur pria yang juga menjadi dosen di Universitas Paramadina ini.
Kedua, lanjut Muradi, perlu juga dipikirkan agar dibakukan mekanisme uji kelayakan dan kepatutan terbuka bagi publik. "Ketiga, perlu kiranya mengawasi tempat-tempat yang berpotensi dijadikan tempat transaksional, setidaknya ada CCTV dan lain-lain," ujarnya.
Yang keempat, pengujian atas calon dalam uji kelayakan dan kepatutan harus pula melibatkan pemangku kepentingan dalam arti institusi yang akan diisi oleh calon tersebut.
"Dan kelima, perlu juga dikaji untuk melibatkan lembaga publik dalam mengukur kedalaman pemahaman dan ekspertise dari masing-masing calon," pungkasnya.
Sebelumnya, kewenangan DPR yang terlalu besar kembali disorot, setelah munculnya tindakan mencurigakan di toilet DPR antara anggota Komisi III dengan calon hakim agung yang tengah menjalani fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan).
Baca juga berita KY setuju jika uji kelayakan dihapus
(kri)