Ini hambatan Polri cegah aksi terorisme
A
A
A
Sindonews.com - Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Timur Pradopo mengakui, alami banyak hambatan dalam mencegah tindak pidana terorisme. Hal itu disampaikannya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI.
Kata dia, secara yuridis, Undang-Undang (UU) 15 tahun 2003, perlu disempurnakan dengan menambahkan substansi mengenai pencegahan aksi terorisme.
"Kegiatan rekrutmen, baiat, menjadi tindakan terorisme. Itu bagian dari pelanggaran hukum, dan dapat diproses hukum, meskipun belum dilaksanakan," kata Timur di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (16/9/2013).
"Masa penangkapan jadi 14 hari yang sebelumnya tujuh hari, data intelijen dapat dijadikan alat bukti, pemeriksaan saksi dapat dilakukan teleconfrence terutama untuk pengamanan masyarakat yang bersedia jadi saksi," sambungnya.
Hambatan selanjutnya, masalah deradikalisasi yang belum berjalan optimal. Kapolri meminta hal ini dicantumkan di dalam undang-undang. "Deradilkalisasi jadi satuan dalam UU sehingga lebih jelas termasuk dalam pembiayaan dan dari sisi institusi mana yang harus melajukan itu," terangnya.
Faktor lain lanjut dia adalah masalah pemahaman aqidah yang keliru bahwa aksi terorisme bagian dari jihad. "Belum ada tokoh yang mampu mempengaruhi dan melakukan pendekatan terhadap beberapa tokoh yang memang terus melakukan kegiatan penggalangan termasuk dalam penahanan," lanjutnya.
Terakhir, faktor sosial juga menjadi hambatan Polri susah mencegah aksi terorisme. Timur pun meminta kesadaran masyarakat untuk membantu hal ini. "Lemahnya kesadaran masyarkat dan kurang aktifnya kegiatan RT/RW, pasifnya partisipasi masyarakat dalam menuntaskan terorisme, faktor geografis terutama wiayah yang sulit ditembus," tuntasnya.
Kata dia, secara yuridis, Undang-Undang (UU) 15 tahun 2003, perlu disempurnakan dengan menambahkan substansi mengenai pencegahan aksi terorisme.
"Kegiatan rekrutmen, baiat, menjadi tindakan terorisme. Itu bagian dari pelanggaran hukum, dan dapat diproses hukum, meskipun belum dilaksanakan," kata Timur di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (16/9/2013).
"Masa penangkapan jadi 14 hari yang sebelumnya tujuh hari, data intelijen dapat dijadikan alat bukti, pemeriksaan saksi dapat dilakukan teleconfrence terutama untuk pengamanan masyarakat yang bersedia jadi saksi," sambungnya.
Hambatan selanjutnya, masalah deradikalisasi yang belum berjalan optimal. Kapolri meminta hal ini dicantumkan di dalam undang-undang. "Deradilkalisasi jadi satuan dalam UU sehingga lebih jelas termasuk dalam pembiayaan dan dari sisi institusi mana yang harus melajukan itu," terangnya.
Faktor lain lanjut dia adalah masalah pemahaman aqidah yang keliru bahwa aksi terorisme bagian dari jihad. "Belum ada tokoh yang mampu mempengaruhi dan melakukan pendekatan terhadap beberapa tokoh yang memang terus melakukan kegiatan penggalangan termasuk dalam penahanan," lanjutnya.
Terakhir, faktor sosial juga menjadi hambatan Polri susah mencegah aksi terorisme. Timur pun meminta kesadaran masyarakat untuk membantu hal ini. "Lemahnya kesadaran masyarkat dan kurang aktifnya kegiatan RT/RW, pasifnya partisipasi masyarakat dalam menuntaskan terorisme, faktor geografis terutama wiayah yang sulit ditembus," tuntasnya.
(maf)