Lepas tangan, pemerintah plinplan
A
A
A
Sindonews.com – Sejumlah kalangan menilai tidak ada alasan pemerintah bersikap diskriminatif atas izin penyelenggaraan Miss World 2013 di Indonesia. Apalagi, ajang untuk promosi pariwisata ini lepas dari eksklusivisme sektarian seperti agama, suku, ras, atau simbol-simbol primordialisme yang lain.
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari mempertanyakan mengapa pemerintah bersikap diskriminatif dalam memberikan izin penyelenggaraan Miss World 2013. Sikap pemerintah yang kemudian berubah dan meminta memindahkan penyelenggaraan acara malam Puncak Miss World 2013 dari Jakarta ke Bali sebagai wujud sikap yang plinplan dan tidak bertanggung jawab.
”Sikap plinplan dari pemerintah dalam memberi izin dan kemudian lepas tangan di tengah jalan dalam pemberian izin, sungguh merisaukan,” katanya kepada KORAN SINDO tadi malam.
Dia memprotes keras pemerintah bukannya memegang komitmen awal dan konsisten untuk mendukung Miss World diadakan sesuai jadwal dan tempatnya. Untuk diketahui, pemerintah tiba-tiba meminta panitia untuk memindahkan acara penyelenggaraan malam Puncak Miss World 2013 yang sedianya dilaksanakan di Sentul, Bogor, Jawa Barat agar dilakukan di Bali.
Sikap berubah pemerintah ini diduga kuat karena desakan kelompok tertentu yang menentang perhelatan Miss World 2013 di Indonesia.
Banyak kalangan menyesalkan sikap pemerintah ini karena dinilai takut terhadap desakan ormas yang mengatasnamakan agama. Apalagi, ternyata ada ajang serupa yakni World Muslimah 2013 sama sekali tidak dipermasalahkan. Bahkan, mereka boleh menggelar puncaknya di Jakarta pada 18 September mendatang. Sikap diskriminatif pemerintah ini mendapat kritikan dari berbagai kalangan.
Lebih jauh, Eva, mengungkapkan kalau memang keindahan fisik juga menjadi pertimbangan semua kontestan Miss World, banyak ajang serupa termasuk Abang-None Jakarta, Gus-Yuk Jember, Ning-Cak Surabaya, dan sebagainya juga menggunakan kriteria tersebut.
Karena itulah, dia mempertanyakan mengapa pemerintah bersikap diskriminasi dalam memberikan izin. ”Pemerintah colong playu (meninggalkan tanggung jawab) karena tekanan publik yang bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan memaksakan kehendak sepihak dengan mengabaikan hukum nasional yang antidiskriminasi,” paparnya.
Pemerintah, kata dia, terbukti belum menjadikan hukum sebagai panglima, dan tidak serius menjalankan penegakan hukum. ”Hal ini amat disesalkan, karena (pemerintah) menciptakan budaya hukum untuk tidak menghormati dan menegakkan hukum,” tegas politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.
Baca selengkapnya headline KORAN SINDO yang terbit pada hari ini
Anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari mempertanyakan mengapa pemerintah bersikap diskriminatif dalam memberikan izin penyelenggaraan Miss World 2013. Sikap pemerintah yang kemudian berubah dan meminta memindahkan penyelenggaraan acara malam Puncak Miss World 2013 dari Jakarta ke Bali sebagai wujud sikap yang plinplan dan tidak bertanggung jawab.
”Sikap plinplan dari pemerintah dalam memberi izin dan kemudian lepas tangan di tengah jalan dalam pemberian izin, sungguh merisaukan,” katanya kepada KORAN SINDO tadi malam.
Dia memprotes keras pemerintah bukannya memegang komitmen awal dan konsisten untuk mendukung Miss World diadakan sesuai jadwal dan tempatnya. Untuk diketahui, pemerintah tiba-tiba meminta panitia untuk memindahkan acara penyelenggaraan malam Puncak Miss World 2013 yang sedianya dilaksanakan di Sentul, Bogor, Jawa Barat agar dilakukan di Bali.
Sikap berubah pemerintah ini diduga kuat karena desakan kelompok tertentu yang menentang perhelatan Miss World 2013 di Indonesia.
Banyak kalangan menyesalkan sikap pemerintah ini karena dinilai takut terhadap desakan ormas yang mengatasnamakan agama. Apalagi, ternyata ada ajang serupa yakni World Muslimah 2013 sama sekali tidak dipermasalahkan. Bahkan, mereka boleh menggelar puncaknya di Jakarta pada 18 September mendatang. Sikap diskriminatif pemerintah ini mendapat kritikan dari berbagai kalangan.
Lebih jauh, Eva, mengungkapkan kalau memang keindahan fisik juga menjadi pertimbangan semua kontestan Miss World, banyak ajang serupa termasuk Abang-None Jakarta, Gus-Yuk Jember, Ning-Cak Surabaya, dan sebagainya juga menggunakan kriteria tersebut.
Karena itulah, dia mempertanyakan mengapa pemerintah bersikap diskriminasi dalam memberikan izin. ”Pemerintah colong playu (meninggalkan tanggung jawab) karena tekanan publik yang bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dan memaksakan kehendak sepihak dengan mengabaikan hukum nasional yang antidiskriminasi,” paparnya.
Pemerintah, kata dia, terbukti belum menjadikan hukum sebagai panglima, dan tidak serius menjalankan penegakan hukum. ”Hal ini amat disesalkan, karena (pemerintah) menciptakan budaya hukum untuk tidak menghormati dan menegakkan hukum,” tegas politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini.
Baca selengkapnya headline KORAN SINDO yang terbit pada hari ini
(hyk)