Di parpol harus ada kode etik antar caleg
A
A
A
Sindonews.com - Wakil Ketua Komisi II DPR, Abdul Hakam Naja mengatakan, masing-masing partai politik (parpol) harus membuat kode etik di internal kepada calon anggota legislatif (caleg). Sehingga persaingan antar caleg dapat diantisipasi.
"Diatur seperti tidak boleh mengambil suara, mengambil tim sukses, kemudian tidak boleh kampanye negatif, memfitnah, dan seterusnya. Ini partai harus merumuskan itu. Sehingga dapat di-handle (ditangani)," kata Abdul Hakam kepada wartawan, Rabu (31/7/2013).
Dia menilai, persaingan antar caleg dalam satu partai akan cukup ketat. Persaingan antar calon ini karena memang mereka menyasar objek yang sama. Sehingga gesekan akan muncul. "Sangat penting partai menjadi penengah dan wasit. Partai harus menegakan aturan dan kode etik sehingga bersaing secara sehat dan tidak saling menjegal," ungkapnya.
Jika tidak diantisipasi maka ini akan merugikan partai itu sendiri. Pasalnya akan menyusutkan suara. "Yang seharusnya menggalang suara tapi karena sikut-sikutan bisa jadi ga ada yang milih. Itu pengalaman seperti itu. Kalau antar kader berkelahi maka suara menurun," ucapnya.
Hakam mengatakan, sengketa antar caleg dalam satu partai banyak terjadi di Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Bahkan hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK) pun juga ada.
Ditanyakan penyelesaian sengketa caleg dalam satu partai, Hakam mengatakan hal tersebut tergantung ranah permasalahannya. Jika murni internal partai dan ranahnya parpol, maka diselesaikan oleh partai itu sendiri.
"Dan jika partai sudah mengambil keputusan dan belum menerima maka dibawa ke majelsis penyelesaian sengketa (MPS). Itu sesuia Undang-Undang Parpol bahwa dalam AD/ART masing-masing partai dibuat MPS. MPS ini langkah terakhir di level partai," ungkapnya.
Namun jika bukan lagi ranah partai maka lembaga-lembaga lainlah yang akan menyelesaikan sengketa tersebut. Misalnya jika menyangkut masalah suara maka akan menjadi ranah penyelenggara pemilu. "Karena partai tidak dapat mempengaruhi perolehan suara. Jadi kalau suaranya dialihkan itu levelnya penyelenggara di KPU atau Bawaslu," pungkasnya.
"Diatur seperti tidak boleh mengambil suara, mengambil tim sukses, kemudian tidak boleh kampanye negatif, memfitnah, dan seterusnya. Ini partai harus merumuskan itu. Sehingga dapat di-handle (ditangani)," kata Abdul Hakam kepada wartawan, Rabu (31/7/2013).
Dia menilai, persaingan antar caleg dalam satu partai akan cukup ketat. Persaingan antar calon ini karena memang mereka menyasar objek yang sama. Sehingga gesekan akan muncul. "Sangat penting partai menjadi penengah dan wasit. Partai harus menegakan aturan dan kode etik sehingga bersaing secara sehat dan tidak saling menjegal," ungkapnya.
Jika tidak diantisipasi maka ini akan merugikan partai itu sendiri. Pasalnya akan menyusutkan suara. "Yang seharusnya menggalang suara tapi karena sikut-sikutan bisa jadi ga ada yang milih. Itu pengalaman seperti itu. Kalau antar kader berkelahi maka suara menurun," ucapnya.
Hakam mengatakan, sengketa antar caleg dalam satu partai banyak terjadi di Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Bahkan hingga ke Mahkamah Konstitusi (MK) pun juga ada.
Ditanyakan penyelesaian sengketa caleg dalam satu partai, Hakam mengatakan hal tersebut tergantung ranah permasalahannya. Jika murni internal partai dan ranahnya parpol, maka diselesaikan oleh partai itu sendiri.
"Dan jika partai sudah mengambil keputusan dan belum menerima maka dibawa ke majelsis penyelesaian sengketa (MPS). Itu sesuia Undang-Undang Parpol bahwa dalam AD/ART masing-masing partai dibuat MPS. MPS ini langkah terakhir di level partai," ungkapnya.
Namun jika bukan lagi ranah partai maka lembaga-lembaga lainlah yang akan menyelesaikan sengketa tersebut. Misalnya jika menyangkut masalah suara maka akan menjadi ranah penyelenggara pemilu. "Karena partai tidak dapat mempengaruhi perolehan suara. Jadi kalau suaranya dialihkan itu levelnya penyelenggara di KPU atau Bawaslu," pungkasnya.
(maf)