Obituari Supriyadi - mengayomi anak buah, mencintai keluarga

Kamis, 18 Juli 2013 - 10:16 WIB
Obituari Supriyadi - mengayomi anak buah, mencintai keluarga
Obituari Supriyadi - mengayomi anak buah, mencintai keluarga
A A A
Sindonews.com - Duka menyelimuti keluarga besar KORAN SINDO. Rabu (18/7/2013) kemarin, sekitar pukul 04.00 WIB, sahabat kami, H Supriyadi berpulang ke pangkuan Ilahi.

Wakil redaktur pelaksana yang terlahir pada 28 Desember 1975 itu tutup usia setelah sebulan penuh berjuang melawan penyakit gagal ginjalnya, termasuk harus menjalani cuci darah dua kali seminggu.

Almarhum meninggalkan seorang istri, Tuty Octaviani, dan dua anak yang sedang lucu-lucunya, Guilin Ahmad Pertama (6) dan Neyla Azka Sabila (4).

Pak Pri, demikian panggilan akrab almarhum, sehari-harinya bertugas memimpin desk ekonomi. Sebelumnya pernah menangani desk nasional, mengoordinasikan Edisi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), juga sempat sebagai redaktur budaya dan mingguan.

Almarhum adalah wartawan tulen. Sejak menyelesaikan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang dia langsung terjun ke dunia jurnalistik. Sebelum bergabung dengan KORAN SINDO, mahasiswa Magister Manajemen Eksekutif (MME) pada PPM Jakarta ini langsung menjadi reporter di Radar Semarang.

Karena prestasinya, Pak Pri kemudian ditarik menjadi wartawan Jawa Pos. Kepergian putra pasangan Supardi-Suwarti ini meninggalkan duka yang begitu mendalam. Tidak lain hal itu karena dalam keseharian Pak Pri adalah sosok yang bisa menjadi anutan.

Sebagai pemimpin, almarhum sangat mengayomi anak buah, sebagai teman mendiang sangat ringan tangan. Terhadap anak buah, terutama reporter, misalnya, Pak Pri dikenal sangat sabar dan telaten dalam membimbing.
Maklum dalam kurun beberapa tahun ini reporter yang bertugas di desk ekonomi banyak yang fresh graduate sehingga butuh banyak bimbingan.

Walaupun sudah memegang jabatan sebagai pemimpin, Pak Pri tak jarang turun tangan mendampingi reporter dan redaktur, terutama pada penugasan wawancara khusus dengan para pemimpin perusahaan seperti dengan Direktur Utama Semen Gresik Dwi Sutjipto, mantan Dirut Telkomsel Sarwoto Atmosutarto, dan Dirut BRI Sofyan Basyir.

“Kalau ikut wawancara dengan CEO, banyak pengalaman hidup yang bisa diambil,” begitulah kesan Pak Pri yang sempat dia lontarkan kepada penulis.

Kesan yang sama dirasakan rekan sekerja di KORAN SINDO edisi Jawa Tengah dan DIY. Kepada mereka, Pak Pri bukan hanya mengajak bicara tentang pekerjaan, tapi juga soal spirit kehidupan sehari-hari seperti nilai kesederhanaan, kesetiakawanan dan kebersamaan. Almarhum sering mengajak agar wartawan tidak larut dalam kejumawaan.

Sebaliknya, wartawan harus menjadi manusia apa adanya. “Urip kuwi gothak, gathik, gathuk,” demikian dia kerap memberi nasihat.

Baginya, kemuliaan hidup adalah bagaimana bisa berbagi bersama dan tidak menyusahkan orang lain. Kemuliaan itulah yang akhirnya membuat seseorang hidup tenang, pekerjaan dan rezeki lancar, serta dikaruniai keluarga tenteram.

Kebahagiaan hidup itu, kata Pak Pri, tak bisa didapat kecuali dengan menanamkan kebaikan. Gothak, gathik, gathuk artinya perjalanan hidup yang hakikatnya tak lepas dari kausalitas, saling keterkaitan, bukan berdiri sendiri.
Nilai kesederhanaan, kesetiakawanan, dan kebersamaan memang sudah menjadi bagian hidup Pak Pri. Mungkin itu berasal dari perjalanan hidupnya. Berlatar keluarga sederhana di Banyumanik, Kota Semarang, almarhum sudah memahami arti perjuangan hidup sejak remaja.

Untuk kuliah, misalnya, Suwarti, ibu almarhum, menuturkan bahwa putra sulungnya harus mencari uang sendiri. Bahkan Pak Pri juga bisa membantu ekonomi keluarga. "Pri mboten nate nyusahakenti yang sepuh (Pri tidak pernah menyusahkan orang tua),’’ tutur Suwarti.

Sebagai anak, Pak Pri sangat menyayangi orang tuanya. Sampai-sampai pernah almarhum mengaku menyesal membeli rumah di kawasan Depok karena membuatnya tidak lagi bisa mengirimkan uang bulanan kepada ibunya.
Karena itu Pak Pri sempat berpikir akan menjual rumahnya di Depok dan pindah ke daerah pinggiran demi bisa membantu keluarga di Semarang dan mertuanya di Magelang.

“Meski tidak meminta, orang tua pasti senang Mas kalau diberi walaupun itu tidak seberapa,” demikian almarhum beralasan.

Makna birrul walidain (berbakti, berbuat baik kepada kedua orang tua) begitu dia amalkan dengan sempurna. Bahkan pekan lalu, di tengah sakit, Pak Pri memaksa pergi ke Magelang untuk nyekar ke leluhurnya.

Sebagaimana diceritakan Suwarti, Pak Pri juga berkeinginan memberangkatkan ibunya ke Tanah Suci untuk beribadah umrah. Tapi niat mulia itu belum terpenuhi karena Sang Khalik lebih dulu memanggilnya.

November 2012 lalu, dalam rapat kerja KORAN SINDO di kawasan Puncak, Bogor, seusai salat subuh kepada teman sekamarnya, almarhum mengungkapkan keinginan, suatu saat akan pulang dan menetap di Semarang karena merasa hidup lebih tenang di kota ini.

Dengan sedikit bercanda, Pak Pri bahkan siap menjadi reporter lagi demi mewujudkan keinginan itu. Niat pulang ke Semarang akhirnya kesampaian. Rabu pagi, setelah dirawat intensif di RS PGI Cikini, Jakarta Pusat, selama enam jam Pak Pri meniti jalan pulang, menuju keharibaan Ilahi. Jenazahnya siang itu juga diterbangkan ke Semarang untuk dikebumikan.

Pada Ramadan yang istimewa ini, Pak Pri memang lebih dulu berpulang, namun kebaikan-kebaikan yang ditinggalkannya akan selalu dikenang. Selamat jalan teman, sahabat, teladan kami.
(stb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5235 seconds (0.1#10.140)