KPK tak akan lepas anggota DPR penerima Rp9 M
A
A
A
Sindonews.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan tidak akan melepas fakta adanya dugaan anggota DPR yang menerima aliran uang Rp9 miliar terkait rencana penambahan anggaran Rp290 miliar, untuk PON Riau 2012 dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menyatakan, Rusli Zainal sudah dikenakan pasal-pasal pemberi suap dalam kasus PON Riau. Dia menegaskan, suap itu diberikan kepada penyelenggara negara. Baik untuk anggota DPRD Riau atau DPR pusat.
"Selaku pemberi kepada DPR ia (RZ) kena karena menyuap kepada PN. DPR kan PN. DPRD kan PN toh. PN itu kan pejabat negara," ungkap Busyro kepada SINDO usai memberikan orasi "KAHMI dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia" dalam silaturahmi dan buka puasa bersama KAHMI Rayon UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Kampus II UIN Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (11/7/13) malam.
Disinggung soal aliran uang Rp9 miliar ke anggota DPR, Busyro memastikan, masih didalami dan dikembangkan. Tetapi lanjutnya, hal tersebut masih harus dibuktikan penyidik. Kalau ada bukti, berati benar Rusli Zainal menyuap anggota DPR. "Nyuap berarti kan bagian dari pasal korupsi. Iya nanti (untuk penerima suap lain trmasuk anggota DPR pusat yang menerima itu termasuk yang dikejar KPK). Dalam pemeriksaan kan nanti berkembang," paparnya.
Dimintai ketegasannya, apakah benar-benar KPK mengejar anggota DPR penerima aliran uang Rusli, Busyro dengan nada serius membenarkannya. "Iya, biasanya begitu," tandasnya.
dalam sidang beberapa tersangka di Pengadilan Tipikor Riau terungkap adanya aliran uang Rp9 miliar ke DPR RI. Pada Kamis (2/8/2012) Lukman Abbas yang bersaksi menyebutkan, dirinya pernah menyerahkan uang kepada Komisi X DPR RI sebesar Rp9 miliar atau USD1.050.000.
Uang itu menurut pengakuan Lukman, diberikan kepada Kahar Muzakir (anggota Komisi X DPR dari fraksi Partai Golkar). Uang itu diserahkan dengan maksud sebagai alat pemulusan permintaan tambahan dana PON yang berasal dari APBN sebesar Rp290 miliar.
Di awal Februari 2012, Lukman mengaku, menemani Rusli Zainal dalam pengajuan proposal bantuan tersebut. Proposal itu lalu disampaikan Rusli kepada Setya Novanto (politisi Partai Golkar).
Dalam kasus ini sendiri, KPK sudah pernah memeriksa Kahar dan Setya serta Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Ketiganya pun sudah membantah keterlibatannya dalam kasus suap revisi Perda PON tersebut. Setya yang pernah dihadirkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Riau berkali-kali juga membantah menerima uang dan mengurusi penambahan anggaran PON dari APBN.
Rusli Zainal ditersangkakan KPK dalam dua kasus korupsi. Pertama, kasus dugaan suap pengurusan revisi Peraturan Daerah (Perda) No 6/2010 tentang pembangunan lapangan menembak PON Riau 2012. Dalam kasus ini Rusli diduga menerima dan memberi suap.
Kedua, Rulsi dijerat pada kasus dugaan korupsi penerbitan Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan Bagan Kerja (BK) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) atau Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau.
Dalam kasus kehutanan ini yang bersangkutan diduga kuat menyalahgunakan kewenangannya sebagai penyelenggara negara untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menyatakan, Rusli Zainal sudah dikenakan pasal-pasal pemberi suap dalam kasus PON Riau. Dia menegaskan, suap itu diberikan kepada penyelenggara negara. Baik untuk anggota DPRD Riau atau DPR pusat.
"Selaku pemberi kepada DPR ia (RZ) kena karena menyuap kepada PN. DPR kan PN. DPRD kan PN toh. PN itu kan pejabat negara," ungkap Busyro kepada SINDO usai memberikan orasi "KAHMI dan Pemberantasan Korupsi di Indonesia" dalam silaturahmi dan buka puasa bersama KAHMI Rayon UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Kampus II UIN Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (11/7/13) malam.
Disinggung soal aliran uang Rp9 miliar ke anggota DPR, Busyro memastikan, masih didalami dan dikembangkan. Tetapi lanjutnya, hal tersebut masih harus dibuktikan penyidik. Kalau ada bukti, berati benar Rusli Zainal menyuap anggota DPR. "Nyuap berarti kan bagian dari pasal korupsi. Iya nanti (untuk penerima suap lain trmasuk anggota DPR pusat yang menerima itu termasuk yang dikejar KPK). Dalam pemeriksaan kan nanti berkembang," paparnya.
Dimintai ketegasannya, apakah benar-benar KPK mengejar anggota DPR penerima aliran uang Rusli, Busyro dengan nada serius membenarkannya. "Iya, biasanya begitu," tandasnya.
dalam sidang beberapa tersangka di Pengadilan Tipikor Riau terungkap adanya aliran uang Rp9 miliar ke DPR RI. Pada Kamis (2/8/2012) Lukman Abbas yang bersaksi menyebutkan, dirinya pernah menyerahkan uang kepada Komisi X DPR RI sebesar Rp9 miliar atau USD1.050.000.
Uang itu menurut pengakuan Lukman, diberikan kepada Kahar Muzakir (anggota Komisi X DPR dari fraksi Partai Golkar). Uang itu diserahkan dengan maksud sebagai alat pemulusan permintaan tambahan dana PON yang berasal dari APBN sebesar Rp290 miliar.
Di awal Februari 2012, Lukman mengaku, menemani Rusli Zainal dalam pengajuan proposal bantuan tersebut. Proposal itu lalu disampaikan Rusli kepada Setya Novanto (politisi Partai Golkar).
Dalam kasus ini sendiri, KPK sudah pernah memeriksa Kahar dan Setya serta Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono. Ketiganya pun sudah membantah keterlibatannya dalam kasus suap revisi Perda PON tersebut. Setya yang pernah dihadirkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Riau berkali-kali juga membantah menerima uang dan mengurusi penambahan anggaran PON dari APBN.
Rusli Zainal ditersangkakan KPK dalam dua kasus korupsi. Pertama, kasus dugaan suap pengurusan revisi Peraturan Daerah (Perda) No 6/2010 tentang pembangunan lapangan menembak PON Riau 2012. Dalam kasus ini Rusli diduga menerima dan memberi suap.
Kedua, Rulsi dijerat pada kasus dugaan korupsi penerbitan Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan Bagan Kerja (BK) Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) atau Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau.
Dalam kasus kehutanan ini yang bersangkutan diduga kuat menyalahgunakan kewenangannya sebagai penyelenggara negara untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
(lal)