Eksekusi Susno, Kejaksaan dinilai diskriminatif
A
A
A
Sindonews.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai tidak patuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) saat melakukan eksekusi terhadap mantan Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji. Bahkan, sikap Kejaksaan yang membuka pintu komunikasi saat pengeksekusian, dinilai diskriminatif.
Hal ini hampir mirip dengan kasus dugaan tindak pidana kehutanan tanpa izin menteri atas eksploitasi lahan tambang batubara di kawasan hutan, di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Pada kasus itu, Kejaksaan menangkap paksa Direktur Utama PT Satui Batubara Tama (PT SBT) Parlin Riduansyah. Padahal, perkaranya dinyatakan batal demi hukum, karena tidak mencantumkan syarat formal pemidanaan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.
Sesuai Pasal 197 ayat (2) Kuhap apabila tidak mencantumkan Pasal 197 Kuhap ayat (1) huruf k yaitu perintah tahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan maka putusan tersebut batal demi hukum.
Meski putusan terhadap Parlin batal demi hukum, jaksa tetap menangkap Parlin di Bandara AbdurrahmanSaleh, Malang pada 27 Juli silam dan menjebloskanya ke penjara Teluk Dalam, Banjarmasin.
Menurut Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, eksekutor tidak bisa mengeksekusi putusan yang batal demi hukum. Karena, tidak mencantumkan putusan penahanan seperti terjadi pada Parlin dan Susno.
"Itu sumber masalah dan kesalahannya ada di pengadilan, yang memberikan keputusan yang tidak memenuhi syarat formil pemidanaan seperti yang diatur dalam Pasal 197 KUHAP," kata Mudzakir saat dihubungi di Jakarta, Kamis (25/4/2013).
Dia menilai, eksekusi terhadap putusan yang batal demi hukum seperti dalam kasus Parlin merupakan praktik eksekusi yang tidak benar.
"Ini akan jadi beban sejarah, dimana dalam penegakan hukum tidak dilandasi dengan hukum yang benar. Kita jangan menghukum karena sangkaannya korupsi. Seperti sekarang ini seseorang yang disangka korupsi maka harus dihukum, walaupun jaksa dalam pembuktiannya hanya tidur, hakim tidak berani membebaskan (walaupun dakwaan tidak terbukti)," katanya.
Dia meminta, pengadilan dalam vonisnya memenuhi syarat formil. "Jangan sepelekan hal-hal kecil seperti itu. Kalau tidak memenuhi syarat formil berarti batal demi hukum," tutupnya.
Sebelumnya Ketua Mahkamah Agung Akil Mochtar mengatakan, putusan MK tanggal 22 November 2012 terkait Pasal 197 UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kuhap) menyebutkan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP itu dianggap tidak ada.
Karena dalam Pasal 197 ayat (2) Kuhap disebutkan, apabila putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP putusan tidak batal demi hukum. Namun yang harus ditegaskan, lanjut Akil bahwa putusan MK tersebut tidak berlaku surut.
"Putusan MK itu tidak berlaku surut dan berlaku Ke depan, sejak putusan itu diucapkan," tegas Akil.
Hal ini hampir mirip dengan kasus dugaan tindak pidana kehutanan tanpa izin menteri atas eksploitasi lahan tambang batubara di kawasan hutan, di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Pada kasus itu, Kejaksaan menangkap paksa Direktur Utama PT Satui Batubara Tama (PT SBT) Parlin Riduansyah. Padahal, perkaranya dinyatakan batal demi hukum, karena tidak mencantumkan syarat formal pemidanaan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.
Sesuai Pasal 197 ayat (2) Kuhap apabila tidak mencantumkan Pasal 197 Kuhap ayat (1) huruf k yaitu perintah tahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan maka putusan tersebut batal demi hukum.
Meski putusan terhadap Parlin batal demi hukum, jaksa tetap menangkap Parlin di Bandara AbdurrahmanSaleh, Malang pada 27 Juli silam dan menjebloskanya ke penjara Teluk Dalam, Banjarmasin.
Menurut Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir, eksekutor tidak bisa mengeksekusi putusan yang batal demi hukum. Karena, tidak mencantumkan putusan penahanan seperti terjadi pada Parlin dan Susno.
"Itu sumber masalah dan kesalahannya ada di pengadilan, yang memberikan keputusan yang tidak memenuhi syarat formil pemidanaan seperti yang diatur dalam Pasal 197 KUHAP," kata Mudzakir saat dihubungi di Jakarta, Kamis (25/4/2013).
Dia menilai, eksekusi terhadap putusan yang batal demi hukum seperti dalam kasus Parlin merupakan praktik eksekusi yang tidak benar.
"Ini akan jadi beban sejarah, dimana dalam penegakan hukum tidak dilandasi dengan hukum yang benar. Kita jangan menghukum karena sangkaannya korupsi. Seperti sekarang ini seseorang yang disangka korupsi maka harus dihukum, walaupun jaksa dalam pembuktiannya hanya tidur, hakim tidak berani membebaskan (walaupun dakwaan tidak terbukti)," katanya.
Dia meminta, pengadilan dalam vonisnya memenuhi syarat formil. "Jangan sepelekan hal-hal kecil seperti itu. Kalau tidak memenuhi syarat formil berarti batal demi hukum," tutupnya.
Sebelumnya Ketua Mahkamah Agung Akil Mochtar mengatakan, putusan MK tanggal 22 November 2012 terkait Pasal 197 UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kuhap) menyebutkan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP itu dianggap tidak ada.
Karena dalam Pasal 197 ayat (2) Kuhap disebutkan, apabila putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP putusan tidak batal demi hukum. Namun yang harus ditegaskan, lanjut Akil bahwa putusan MK tersebut tidak berlaku surut.
"Putusan MK itu tidak berlaku surut dan berlaku Ke depan, sejak putusan itu diucapkan," tegas Akil.
(mhd)