Bagir: UU Keistimewaan DIY harusnya tidak perlu ada
A
A
A
Sindonews.com - Usai disahkan tahun 2012 lalu, UU Keistimewaan DIY masih menjadi polemik tersendiri, baik di tingkat pemerintahan DIY maupun pusat. Ketua Dewan Pers Pusat Bagir Manan menilai, keberadaan UU Keistimewaan DIY hanya menambah pekerjaan rumah.
"Harusnya UU ini tidak perlu ada. Dari zaman dulu, sudah ada dalam UU yang menyatakan pemegang kekuasaan tertinggi di Keraton Yogyakarta juga merupakan Gubernur DIY. Jadi sebenarnya sudah ditetapkan sejak dulu sehingga sejak dulu Yogyakarta sudah merupakan daerah istimewa," ujarnya dalam diskusi mengenai Kontrol Pers dan Implementasi UU Keistimewaan DIY di STIMIK AMIKOM Yogyakarta, Kamis (11/4/2013).
Hal ini terbukti harus adanya Perda Keistimewaan (Perdais) yang mengatur semua hal terkait keistimewaan. Karenanya, ia khawatir jika nantinya akan ada benturan antara Perda biasa dengan Perdais.
"UU ini tidak sesuai dengan pemahaman saya terhadap hukum. Menurut saya hal yang mudah kok malah dipersulit. Padahal saya pikir cukup diperbaiki sistem pemerintahannya, bukan justru membuat banyak aturan baru," imbuhnya.
Dikatakan Bagir, keistimewaan DIY sejak zaman dulu sebetulnya sudah menjadi sesuatu yang dapat diterima NKRI. Tidak perlu ada pertanyaan lagi terkait adanya kerajaan dalam negara. Hal ini layaknya adanya vatikan dalam wilayah Italia.
Menurut Bagir, alasan lain mengapa tidak perlu adanya UU Keistimewaan DIY ialah tidak benarnya anggapan bahwa DIY akan memisahkan diri dari NKRI jika tidak ada UU tersebut. Hal ini dikarenakan, DIY menjadi penampang berdirinya NKRI paling logis.
Dilain pihak, semua aturan yang ada di NKRI pun dilaksanakan sebagaimanan mestinya oleh pemerintah DIY maupun masyarakatnya. Organisasi dan jabatan stuktural pemerintahan juga berjalan tidak menyimpang.
"Dan pemberitaan yang dilakukan oleh media massa mengenai hal ini juga hanya demi keuntungan pribadi, supaya rating naik. Pemberitaan terkait isu besar saat ini sudah tidak lagi menempatkan kepentingan masyarakat menjadi hal utama," jelasnya.
Ia menambahkan, yang harusnya dilakukan saat ini ialah menjaga agar jangan sampai kekuasaan yang ada bisa berbuat yang terbaik bagi masyarakatnya.
"Harusnya UU ini tidak perlu ada. Dari zaman dulu, sudah ada dalam UU yang menyatakan pemegang kekuasaan tertinggi di Keraton Yogyakarta juga merupakan Gubernur DIY. Jadi sebenarnya sudah ditetapkan sejak dulu sehingga sejak dulu Yogyakarta sudah merupakan daerah istimewa," ujarnya dalam diskusi mengenai Kontrol Pers dan Implementasi UU Keistimewaan DIY di STIMIK AMIKOM Yogyakarta, Kamis (11/4/2013).
Hal ini terbukti harus adanya Perda Keistimewaan (Perdais) yang mengatur semua hal terkait keistimewaan. Karenanya, ia khawatir jika nantinya akan ada benturan antara Perda biasa dengan Perdais.
"UU ini tidak sesuai dengan pemahaman saya terhadap hukum. Menurut saya hal yang mudah kok malah dipersulit. Padahal saya pikir cukup diperbaiki sistem pemerintahannya, bukan justru membuat banyak aturan baru," imbuhnya.
Dikatakan Bagir, keistimewaan DIY sejak zaman dulu sebetulnya sudah menjadi sesuatu yang dapat diterima NKRI. Tidak perlu ada pertanyaan lagi terkait adanya kerajaan dalam negara. Hal ini layaknya adanya vatikan dalam wilayah Italia.
Menurut Bagir, alasan lain mengapa tidak perlu adanya UU Keistimewaan DIY ialah tidak benarnya anggapan bahwa DIY akan memisahkan diri dari NKRI jika tidak ada UU tersebut. Hal ini dikarenakan, DIY menjadi penampang berdirinya NKRI paling logis.
Dilain pihak, semua aturan yang ada di NKRI pun dilaksanakan sebagaimanan mestinya oleh pemerintah DIY maupun masyarakatnya. Organisasi dan jabatan stuktural pemerintahan juga berjalan tidak menyimpang.
"Dan pemberitaan yang dilakukan oleh media massa mengenai hal ini juga hanya demi keuntungan pribadi, supaya rating naik. Pemberitaan terkait isu besar saat ini sudah tidak lagi menempatkan kepentingan masyarakat menjadi hal utama," jelasnya.
Ia menambahkan, yang harusnya dilakukan saat ini ialah menjaga agar jangan sampai kekuasaan yang ada bisa berbuat yang terbaik bagi masyarakatnya.
(kri)