A.M Fatwa: Presiden itu harus bisa dikritik
A
A
A
Sindonews.com - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Andi Mapetahang (A.M) Fatwa menilai, pasal penghinaan presiden tidak perlu dihidupkan kembali. Karena, pasal itu akan menimbulkan multitafsir.
"Mungkin saja orang mengkritik presiden itu sudah dianggap menghina, padahal ya memang presiden itu harus bisa dikritik," kata Fatwa di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (9/4/2013).
Padahal kata dia, kritikan merupakan sebuah bentuk dukungan terhadap presiden, dalam sistem negara yang demokrasi seperti Indonesia ini.
"Nah, dukungan-dukungan itu bisa diberikan bukan hanya mendukung secara formal. Tapi kritikan-kritikan konstruktif yang positif itu, itu juga bentuk dukungan di negara dalam sistem demokrasi," kata dia.
Kendati demikian, kata anggota DPD asal Jakarta ini mengatakan, menolak dihidupkan kembali pasal penghinaan presiden, bukan berarti mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk dihina.
"Jika pasal itu dihidupkan kembali, berarti mundur jauh kebelakang. Tapi sekali lagi, bukan berarti kita berharap, atau suka orang menghina presiden. Kan orang harus mengkritik itu dengan konstruktif," tandasnya.
Sebelumnya, peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Choki Ramadhan berpendapat, jika pasal tersebut dihidupkan kembali, dikhawatirkan akan bias dijadikan oleh penguasa untuk menekan dan membungkam lawan politiknya.
"Pasal tersebut rentan dipolitisasi nantinya, sehingga penguasa dengan mudahnya berdalih dengan pasal tersebut," ujar Peneliti MaPPI Choki Ramadhan ketika dihubungi Sindonews, Senin 8 April 2013.
"Mungkin saja orang mengkritik presiden itu sudah dianggap menghina, padahal ya memang presiden itu harus bisa dikritik," kata Fatwa di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta, Jakarta Pusat, Selasa (9/4/2013).
Padahal kata dia, kritikan merupakan sebuah bentuk dukungan terhadap presiden, dalam sistem negara yang demokrasi seperti Indonesia ini.
"Nah, dukungan-dukungan itu bisa diberikan bukan hanya mendukung secara formal. Tapi kritikan-kritikan konstruktif yang positif itu, itu juga bentuk dukungan di negara dalam sistem demokrasi," kata dia.
Kendati demikian, kata anggota DPD asal Jakarta ini mengatakan, menolak dihidupkan kembali pasal penghinaan presiden, bukan berarti mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk dihina.
"Jika pasal itu dihidupkan kembali, berarti mundur jauh kebelakang. Tapi sekali lagi, bukan berarti kita berharap, atau suka orang menghina presiden. Kan orang harus mengkritik itu dengan konstruktif," tandasnya.
Sebelumnya, peneliti Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Choki Ramadhan berpendapat, jika pasal tersebut dihidupkan kembali, dikhawatirkan akan bias dijadikan oleh penguasa untuk menekan dan membungkam lawan politiknya.
"Pasal tersebut rentan dipolitisasi nantinya, sehingga penguasa dengan mudahnya berdalih dengan pasal tersebut," ujar Peneliti MaPPI Choki Ramadhan ketika dihubungi Sindonews, Senin 8 April 2013.
(mhd)