Dikotomi Partai Islam & Nasionalis sebaiknya dihilangkan
A
A
A
Sindonews.com - Adanya kategorisasi atau dikotomi partai Islam dan partai Nasionalis, dalam sebuah partai politik, dinilai merupakan stigma yang sengaja dibangun untuk pembentukan opini publik.
Hal itu dikatakan Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra saat ditanya apakah PBB merupakan partai Islam.
"Ini hanya penggalangan opini. Ini juga pandangan yang bisa dibilang kabur atau tidak jelas," ungkap Yusril kepada wartawan, di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, Minggu (31/3/2013).
Menurut Yusril, sebenarnya Islam itu hadir dan diterima oleh semua partai. Sehingga, baik Partai Golkar, Hanura atau Demokrat misalnya, sama sekali tidak menampikan Islam. Kemudian, Islam juga dianggap sebagai faktor yang menentukan kehidupan sosial politik di Indonesia.
"Sementara partai-partai yang selama ini dibilang Partai Islam tidak kalah nasionalis. Kadang kalau mereka membela nasionalis lebih galak dari PDI Perjuangan yang merupakan partai Nasionalis. Jadi, sudah terjadi proses ambil mengambil satu dengan yang lain," paparnya.
Mantan Menteri Hukum dan HAM ini juga berpendapat dikotomi Islam dan Nasionalis, sebaiknya dihilangkan. Lebih baik antar partai politik dinilai atas nama partai bukan didikotomi seperti ini.
"Misalnya dulu PBB melawan Partai Merdeka dan Republikan. Sekarang partai itu sudah mati semua. Lebih baik per partai di-compare daripada membuat kategorisasi yang sebenarnya tidak jelas. Sebaiknya dikotomi Islam dan Nasionalis itu dihilangkan, itu lebih baik," tegasnya.
Disebutnya, dulu pada pemilu 1999 ada 49 partai, dan jumlah partai Islam hanya belasan, sisanya partai Nasionalis semua, dan banyak yang mati saat ini.
"Jadi, menurut saya kecuali ada misi politik yah. Lebih baik PBB dihadapkan dengan Demokrat atau NasDem biar bisa dinilai lebih kepada partainya, karena itu lebih relevan," tutupnya.
Hal itu dikatakan Ketua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra saat ditanya apakah PBB merupakan partai Islam.
"Ini hanya penggalangan opini. Ini juga pandangan yang bisa dibilang kabur atau tidak jelas," ungkap Yusril kepada wartawan, di Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta, Minggu (31/3/2013).
Menurut Yusril, sebenarnya Islam itu hadir dan diterima oleh semua partai. Sehingga, baik Partai Golkar, Hanura atau Demokrat misalnya, sama sekali tidak menampikan Islam. Kemudian, Islam juga dianggap sebagai faktor yang menentukan kehidupan sosial politik di Indonesia.
"Sementara partai-partai yang selama ini dibilang Partai Islam tidak kalah nasionalis. Kadang kalau mereka membela nasionalis lebih galak dari PDI Perjuangan yang merupakan partai Nasionalis. Jadi, sudah terjadi proses ambil mengambil satu dengan yang lain," paparnya.
Mantan Menteri Hukum dan HAM ini juga berpendapat dikotomi Islam dan Nasionalis, sebaiknya dihilangkan. Lebih baik antar partai politik dinilai atas nama partai bukan didikotomi seperti ini.
"Misalnya dulu PBB melawan Partai Merdeka dan Republikan. Sekarang partai itu sudah mati semua. Lebih baik per partai di-compare daripada membuat kategorisasi yang sebenarnya tidak jelas. Sebaiknya dikotomi Islam dan Nasionalis itu dihilangkan, itu lebih baik," tegasnya.
Disebutnya, dulu pada pemilu 1999 ada 49 partai, dan jumlah partai Islam hanya belasan, sisanya partai Nasionalis semua, dan banyak yang mati saat ini.
"Jadi, menurut saya kecuali ada misi politik yah. Lebih baik PBB dihadapkan dengan Demokrat atau NasDem biar bisa dinilai lebih kepada partainya, karena itu lebih relevan," tutupnya.
(rsa)