UGM fokus lakukan riset mobil listrik
A
A
A
Sindonews.com- Mobil listrik sebagai alternatif kendaraan darat ramah lingkungan dan hemat BBM membuat perguruan tinggi berlomba-lomba membuat inovasi mobil listrik, termasuk UGM dan UNY.
UGM sendiri sebenarnya telah meluncurkan mobil listrik dengan nama Semar pada Maret 2012 lalu.Mobil sederhana layaknya mobil pada olahraga golf ini merupakan prototype kendaraan murah dan ramah lingkungan dalam kawasan kampus.
Koordinator Tim Mobil Semar Jurusan Teknik Mesin dan Industri sebagai pengembang mobil listrik sekaligus Anggota tim Mobil Listrik Nasional (Molina) Dr Jayan Sentanuhadi mengatakan, sampai saat ini pihaknya terus mengembangkan teknologi mobil Semar. Namun untuk jenis mobil ini, UGM sengaja mengembangkannya untuk mobil listrik di dalam sebuah kawasan seperti kampus saja, bukan mobil on the road.
"Untuk mobil listrik yang nantinya bisa digunakan di jalan, kami sedang melakukan riset. Obsesi kami saat ini memang membuat sebuah mobil layaknya city car namun berbahan bakar listrik. Kami bahkan sudah membuat rancangan mobil listrik dengan brand Palapa tipe Avica," ujar Jayan.
Kepada Sindo Jumat (1/2/2013), Jayan menjelaskan, perkembangan mobil Palapa Avica saat ini masih pada tahap riset. Riset sendiri dilakukan untuk menekan pembiayaan pada suku cadang mobil masa depan ini. Ia menegaskan, timnya ingin memanfaatkan semaksimal mungkin suku cadang yang bisa diproduksi sendiri atau minimal dalam negeri. Semua konponen dan kerangka penyusun mobil listrik ini adalah baru, bukan hanya sekedar mobil rakitan.
"Konsep yang kami inginkan ialah semaksimal mungkin mereduksi kebutuhan impor. Contohnya, kami sedang mencoba membuat sendiri mikro kontroler dan desain ergonomik. Semua dilakukan dengan diawali oleh riset, sehingga jelas butuh waktu yang lebih lama dari hanya merangkai. Ini membuat kami belum bisa memperkirakan kapan tepatnya mobil angan-angan kami ini bisa jadi 100 persen," jelasnya.
Diungkapkan Jayan, yang menjadi kendala dalam proses pembuatan mobil listrik tersebut ialah pembiayaan untuk komponen baterai dari mobil listrik ini sendiri. Rasio cost untuk baterai saja bisa mencapai 40 persen dari seluruh pembiayaan yang dikeluarkan.
Hal ini dikarenakan, suku cadang yang justru menjadi 'jantung' pada mobil Palapa Avica ini harus diimpor dengan harga sekitar Rp250juta. Karenanya, ia berharap kedepan ada industri Indonesia yang bisa memproduksinya sehingga harga pembuatan mobil listrik tersebut bisa lebih murah.
"Kami memang harus impor untuk yang satu ini. Sudah impor, ternyata ada saja kendalanya. Saat ini baterai itu saja ada yang masih ditahan di bea cukai karena kami tidak memiliki izin mengimpor barang. Memang harusnya kami beli melalui pengusaha yang punya izin, tapi kalau begitu biaya yang dikeluarkan juga jauh lebih mahal," imbuhnya.
Disinggung mengenai keinginan produksi massal, Jayan menuturkan, hal tersebut menjadi kewajiban pihak industri untuk memproduksinya. UGM dan timnya tidak akan masuk ke ranah manufaktur atau industry. Sebagai lembaga pendidikan dan riset, UGM hanya akan berkonsentrasi pada pengembangan produk dan inovasi melalui riset.
UGM sendiri sebenarnya telah meluncurkan mobil listrik dengan nama Semar pada Maret 2012 lalu.Mobil sederhana layaknya mobil pada olahraga golf ini merupakan prototype kendaraan murah dan ramah lingkungan dalam kawasan kampus.
Koordinator Tim Mobil Semar Jurusan Teknik Mesin dan Industri sebagai pengembang mobil listrik sekaligus Anggota tim Mobil Listrik Nasional (Molina) Dr Jayan Sentanuhadi mengatakan, sampai saat ini pihaknya terus mengembangkan teknologi mobil Semar. Namun untuk jenis mobil ini, UGM sengaja mengembangkannya untuk mobil listrik di dalam sebuah kawasan seperti kampus saja, bukan mobil on the road.
"Untuk mobil listrik yang nantinya bisa digunakan di jalan, kami sedang melakukan riset. Obsesi kami saat ini memang membuat sebuah mobil layaknya city car namun berbahan bakar listrik. Kami bahkan sudah membuat rancangan mobil listrik dengan brand Palapa tipe Avica," ujar Jayan.
Kepada Sindo Jumat (1/2/2013), Jayan menjelaskan, perkembangan mobil Palapa Avica saat ini masih pada tahap riset. Riset sendiri dilakukan untuk menekan pembiayaan pada suku cadang mobil masa depan ini. Ia menegaskan, timnya ingin memanfaatkan semaksimal mungkin suku cadang yang bisa diproduksi sendiri atau minimal dalam negeri. Semua konponen dan kerangka penyusun mobil listrik ini adalah baru, bukan hanya sekedar mobil rakitan.
"Konsep yang kami inginkan ialah semaksimal mungkin mereduksi kebutuhan impor. Contohnya, kami sedang mencoba membuat sendiri mikro kontroler dan desain ergonomik. Semua dilakukan dengan diawali oleh riset, sehingga jelas butuh waktu yang lebih lama dari hanya merangkai. Ini membuat kami belum bisa memperkirakan kapan tepatnya mobil angan-angan kami ini bisa jadi 100 persen," jelasnya.
Diungkapkan Jayan, yang menjadi kendala dalam proses pembuatan mobil listrik tersebut ialah pembiayaan untuk komponen baterai dari mobil listrik ini sendiri. Rasio cost untuk baterai saja bisa mencapai 40 persen dari seluruh pembiayaan yang dikeluarkan.
Hal ini dikarenakan, suku cadang yang justru menjadi 'jantung' pada mobil Palapa Avica ini harus diimpor dengan harga sekitar Rp250juta. Karenanya, ia berharap kedepan ada industri Indonesia yang bisa memproduksinya sehingga harga pembuatan mobil listrik tersebut bisa lebih murah.
"Kami memang harus impor untuk yang satu ini. Sudah impor, ternyata ada saja kendalanya. Saat ini baterai itu saja ada yang masih ditahan di bea cukai karena kami tidak memiliki izin mengimpor barang. Memang harusnya kami beli melalui pengusaha yang punya izin, tapi kalau begitu biaya yang dikeluarkan juga jauh lebih mahal," imbuhnya.
Disinggung mengenai keinginan produksi massal, Jayan menuturkan, hal tersebut menjadi kewajiban pihak industri untuk memproduksinya. UGM dan timnya tidak akan masuk ke ranah manufaktur atau industry. Sebagai lembaga pendidikan dan riset, UGM hanya akan berkonsentrasi pada pengembangan produk dan inovasi melalui riset.
(kri)