Meruntuhkan nol, meningkatkan kredibilitas
A
A
A
Dalam sejarah moneter, sejumlah negara tidak bisa menghindar melakukan redenominasi. Inflasi menjadi alasan terbesar sebuah negara melakukan penyederhanaan mata uang.
Indonesia pernah mengalami inflasi yang sangat besar. Pada 1966 inflasi Indonesia mencapai 1.136%. Inflasi yang besar lainnya terlihat pada 1962 (131%),1963 (146%),1964 (109%),1965 (307%),1967 (106%),dan 1968 (129%). Namun,pada saat itu tidak ada kebijakan redenominasi.
Akibat inflasi tersebut, Indonesia pernah melakukan sanering yaitu pemotongan nilai uang pada 1965 yang meninggalkan trauma di masyarakat karena menurunkan daya beli mereka.
Jika rencana redenominasi dalam beberapa tahun ke depan terwujud, ini redenominasi pertama yang dilakukan Indonesia. Rencana ini juga memasukkan Indonesia dalam daftar negara yang pernah melakukan redenominasi. Sebelum ini sudah banyak negara yang melakukan redenominasi.
Menurut hasil penelitian Layna Mosley dari Departemen Politik dan Sains Universitas North Carolina, Amerika Serikat (AS), semua redenominasi yang dilakukan sejumlah negara tersebut awalnya selalu disebabkan faktor hiperinflasi.Brasil misalnya mengalami inflasi besar berturutturut pada 1990 (2.948%), 1991 (433%), 1992 (952%), 1993 (1.928%), dan 1994 (2.076%).
Rangkaian inflasi ini menyebabkan Negeri Samba melakukan dua kali redenominasi berturut- turut pada 1993 dan 1994. Tidak semua negara yang mengalami inflasi besar melakukan redenominasi.
Seperti Indonesia pada era 1960-an. Selain Indonesia, ada juga Zimbabwe yang mengalami inflasi sebesar 140% dan sekitar 1.000% pada 2002 dan 2003. Zimbabwe baru melakukan redenominasi pada 1 Agustus 2010. Tak tanggung- tanggung, Bank Sentral Zimbabwe meredenominasi dengan mengubah uang 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe atau menghilangkan 10 angka nol.
Langkah ini dilakukan untuk membantu masyarakat keluar dari hiper inflasi yang terjadi di negara tersebut. Menurut makalah Mosley yang berjudul ”Dropping Zeros, Gaining Credibility?: Currency Redenomination in Developing Nations” yang disampaikan dalam di acara The 2005 Annual Meetings of the American Political Science Association,Washington, disebutkan sejumlah alasan negara berkembang memilih redenominasi atau tidak saat inflasi tinggi.
”Saya menemukan bahwa inflasi merupakan predikator penting dari redenominasi. Redenominasi juga berhubungan dengan variabel politik, termasuk horizon waktu pemerintah, ideologi partai yang memerintah, para fraksionalisasi dari pemerintah dan legislatif, serta tingkat heterogenitas sosial,”tulis Mosley dalam maka-lahnya. Menurut Mosley, redenominasi mempunyai sejarah panjang.
Pada abad ke-19, ketika pemerintah kekurangan emas atau perak, mereka kadang- kadang menyesuaikan nilai mata uang mereka. Ada sejumlah cara yang dilakukan dalam redenominasi. Seperti penghapusan satu nol dari mata uang (14 kasus) hingga menghapus enam nol (9 kasus).Sedangkan redenominasi sedang adalah dengan menghapus tiga angka nol.
Dalam pengamatan Mosley, 19 negara telah menggunakan redenominasi pada satu kesempatan. Kemudian 10 negara dua kali melakukan redenominasi. Sementara itu sejumlah negara melakukan redenominasi lebih dari dua kali seperti Argentina (4 kali) dan Brasil (6) yang merupakan negara terbanyak melakukan redenominasi. Ada sejumlah negara yang terbukti berhasil dalam melakukan redenominasi seperti Turki.
Tidak tanggungtanggung, Turki berhasil ”membuang” enam nol terakhir di mata uang mereka. Harga 1 lira yang sekarang berlaku senilai dengan 1 juta lira sebelum redenominasi. Nilai lira baru tersebut berlaku efektif sejak 1 Januari 2005 silam. Sebelum redenominasi, mata uang Turki merupakan mata uang terendah di dunia. Saat itu pemerintah Turki mengeluarkan pecahan hingga 20 juta lira.
Nilai sebesar ini tidak ada di dunia selain di Turki. Jika dibanding rupiah pun, lira lama jauh lebih rendah. Saat ini pecahan terbesar di Indonesia baru Rp100.000. Kecilnya nilai lira lama (sebelum diredenominasi) disebabkan sejumlah inflasi yang mereka alami pada dekade sebelumnya.
Turki mengalami inflasi besar pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Namun, saat itu pemerintah setempat belum melakukan langkah redenominasi karena disibukkan dengan menjaga stabilisasi perekonomian.
Sosialisasi otoritas moneter Turki baru dilakukan pada dekade 1990- an ketika perekonomian Turki mulai stabil. Saat itu inflasi sudah rendah dan sangat terkendali. Turki baru menerapkan redenominasi pada 2005 ketika perekonomian mereka sangat baik.Kondisi perekonomian yang sehat tersebut mengant a rkan redenominasi berjalan mulus walaupun penyederhanaan hingga menghilangkan angka enam digit nol di mata uang lama mereka.
Walaupun diterapkan sejak 2005, Turki baru berhasil menarik semua uang lama di masyarakat pada 2009. Redenominasi di Turki juga sukses memberlakukan pembulatan. Bank Sentral Turki (Central Bank of the Republic of Turkey/CBRT) mengaku sengaja melakukan redenominasi hingga enam angka karena adanya inflasi yang sangat tinggi yang sangat tinggi.
Hal ini membuat seseorang bisa memegang uang dengan jumlah miliaran, triliunan atau bahkan lebih besar. Bank Sentral Turki menyatakan, setelah redenominasi ada beberapa manfaat yang mereka rasakan. Seperti masalah teknis dan operasional y a n g timbul. Bank Sentral Turki juga mempunyai pertimbangan khusus kenapa enam angka nol bukan tiga angka nol saja yang dihapus.
Menurut mereka, menghapus tiga angka nol dari mata uang mereka tidak cukup untuk mengatasi kesulitan teknis yang disebabkan beberapa angka nol. Menjatuhkan enam angka nol menyediakan paralelisme untuk nilai denominasi di negara maju. Turki tidak hanya melakukan redenominasi, tapi juga mengubah nama mata uang mereka menjadi New Turkish Lira yang ditulis dengan YTL.
Perubahan nama ini se-ngaja dilakukan agar membedakan dengan nama yang lama dan tidak menimbulkan kebingungan. Menurut CBRT beberapa negara yang melakukan redenominasi juga menambahkan kata ”New”pada mata uang baru mereka. ”Ungkapan ‘New’ telah dianggap tepat untuk mendahului nama mata uang nasional untuk jangka waktu tertentu,” tulis CBRT.
Karena itu,Pemerintah Indonesia menjadikan keberhasilan Turki dalam melakukan redenominasi sebagai pelajaran berharga. Hal ini pernah disampaikan Menteri Keuangan Agus Martowardojo dalam acara kick off ”Konsultasi Publik Perubahan Harga Rupiah” di Jakarta, Rabu 23 Januari 2013. Selain Turki, Agus menyebut, Rumania, Polandia, dan Ukraina.
Selain beberapa negara tersebut, ada beberapa negara lain yang sukses melakukan penyederhanaan mata uang seperti negara-negara pecahan Uni Soviet yaitu Azerbaijan yang pada 2009 menyederhanakan 5.000 manat menjadi 1 manat. Pada tahun yang sama Turkmenistan melakukan redenominasi yang sama dengan Azerbaijan.
Menurut pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih, jika Indonesia ingin belajar tentang redenominasi, bisa melihat ke sejumlah negara Eropa yang telah berhasil. Fenomena Turki menurutnya juga bisa dipelajari. Dia juga mencontohkan fenomena Prancis yang beralih ke Euro sehingga membuat nilai uang tersebut menjadi meningkat.
”Tapi, Indonesia tidak bisa belajar seluruhnya kepada sebuah negara yang sukses melakukan redenominasi. Setiap negara mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dengan negara lain,”ungkap Sri kepada harian SINDO.
Indonesia pernah mengalami inflasi yang sangat besar. Pada 1966 inflasi Indonesia mencapai 1.136%. Inflasi yang besar lainnya terlihat pada 1962 (131%),1963 (146%),1964 (109%),1965 (307%),1967 (106%),dan 1968 (129%). Namun,pada saat itu tidak ada kebijakan redenominasi.
Akibat inflasi tersebut, Indonesia pernah melakukan sanering yaitu pemotongan nilai uang pada 1965 yang meninggalkan trauma di masyarakat karena menurunkan daya beli mereka.
Jika rencana redenominasi dalam beberapa tahun ke depan terwujud, ini redenominasi pertama yang dilakukan Indonesia. Rencana ini juga memasukkan Indonesia dalam daftar negara yang pernah melakukan redenominasi. Sebelum ini sudah banyak negara yang melakukan redenominasi.
Menurut hasil penelitian Layna Mosley dari Departemen Politik dan Sains Universitas North Carolina, Amerika Serikat (AS), semua redenominasi yang dilakukan sejumlah negara tersebut awalnya selalu disebabkan faktor hiperinflasi.Brasil misalnya mengalami inflasi besar berturutturut pada 1990 (2.948%), 1991 (433%), 1992 (952%), 1993 (1.928%), dan 1994 (2.076%).
Rangkaian inflasi ini menyebabkan Negeri Samba melakukan dua kali redenominasi berturut- turut pada 1993 dan 1994. Tidak semua negara yang mengalami inflasi besar melakukan redenominasi.
Seperti Indonesia pada era 1960-an. Selain Indonesia, ada juga Zimbabwe yang mengalami inflasi sebesar 140% dan sekitar 1.000% pada 2002 dan 2003. Zimbabwe baru melakukan redenominasi pada 1 Agustus 2010. Tak tanggung- tanggung, Bank Sentral Zimbabwe meredenominasi dengan mengubah uang 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe atau menghilangkan 10 angka nol.
Langkah ini dilakukan untuk membantu masyarakat keluar dari hiper inflasi yang terjadi di negara tersebut. Menurut makalah Mosley yang berjudul ”Dropping Zeros, Gaining Credibility?: Currency Redenomination in Developing Nations” yang disampaikan dalam di acara The 2005 Annual Meetings of the American Political Science Association,Washington, disebutkan sejumlah alasan negara berkembang memilih redenominasi atau tidak saat inflasi tinggi.
”Saya menemukan bahwa inflasi merupakan predikator penting dari redenominasi. Redenominasi juga berhubungan dengan variabel politik, termasuk horizon waktu pemerintah, ideologi partai yang memerintah, para fraksionalisasi dari pemerintah dan legislatif, serta tingkat heterogenitas sosial,”tulis Mosley dalam maka-lahnya. Menurut Mosley, redenominasi mempunyai sejarah panjang.
Pada abad ke-19, ketika pemerintah kekurangan emas atau perak, mereka kadang- kadang menyesuaikan nilai mata uang mereka. Ada sejumlah cara yang dilakukan dalam redenominasi. Seperti penghapusan satu nol dari mata uang (14 kasus) hingga menghapus enam nol (9 kasus).Sedangkan redenominasi sedang adalah dengan menghapus tiga angka nol.
Dalam pengamatan Mosley, 19 negara telah menggunakan redenominasi pada satu kesempatan. Kemudian 10 negara dua kali melakukan redenominasi. Sementara itu sejumlah negara melakukan redenominasi lebih dari dua kali seperti Argentina (4 kali) dan Brasil (6) yang merupakan negara terbanyak melakukan redenominasi. Ada sejumlah negara yang terbukti berhasil dalam melakukan redenominasi seperti Turki.
Tidak tanggungtanggung, Turki berhasil ”membuang” enam nol terakhir di mata uang mereka. Harga 1 lira yang sekarang berlaku senilai dengan 1 juta lira sebelum redenominasi. Nilai lira baru tersebut berlaku efektif sejak 1 Januari 2005 silam. Sebelum redenominasi, mata uang Turki merupakan mata uang terendah di dunia. Saat itu pemerintah Turki mengeluarkan pecahan hingga 20 juta lira.
Nilai sebesar ini tidak ada di dunia selain di Turki. Jika dibanding rupiah pun, lira lama jauh lebih rendah. Saat ini pecahan terbesar di Indonesia baru Rp100.000. Kecilnya nilai lira lama (sebelum diredenominasi) disebabkan sejumlah inflasi yang mereka alami pada dekade sebelumnya.
Turki mengalami inflasi besar pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Namun, saat itu pemerintah setempat belum melakukan langkah redenominasi karena disibukkan dengan menjaga stabilisasi perekonomian.
Sosialisasi otoritas moneter Turki baru dilakukan pada dekade 1990- an ketika perekonomian Turki mulai stabil. Saat itu inflasi sudah rendah dan sangat terkendali. Turki baru menerapkan redenominasi pada 2005 ketika perekonomian mereka sangat baik.Kondisi perekonomian yang sehat tersebut mengant a rkan redenominasi berjalan mulus walaupun penyederhanaan hingga menghilangkan angka enam digit nol di mata uang lama mereka.
Walaupun diterapkan sejak 2005, Turki baru berhasil menarik semua uang lama di masyarakat pada 2009. Redenominasi di Turki juga sukses memberlakukan pembulatan. Bank Sentral Turki (Central Bank of the Republic of Turkey/CBRT) mengaku sengaja melakukan redenominasi hingga enam angka karena adanya inflasi yang sangat tinggi yang sangat tinggi.
Hal ini membuat seseorang bisa memegang uang dengan jumlah miliaran, triliunan atau bahkan lebih besar. Bank Sentral Turki menyatakan, setelah redenominasi ada beberapa manfaat yang mereka rasakan. Seperti masalah teknis dan operasional y a n g timbul. Bank Sentral Turki juga mempunyai pertimbangan khusus kenapa enam angka nol bukan tiga angka nol saja yang dihapus.
Menurut mereka, menghapus tiga angka nol dari mata uang mereka tidak cukup untuk mengatasi kesulitan teknis yang disebabkan beberapa angka nol. Menjatuhkan enam angka nol menyediakan paralelisme untuk nilai denominasi di negara maju. Turki tidak hanya melakukan redenominasi, tapi juga mengubah nama mata uang mereka menjadi New Turkish Lira yang ditulis dengan YTL.
Perubahan nama ini se-ngaja dilakukan agar membedakan dengan nama yang lama dan tidak menimbulkan kebingungan. Menurut CBRT beberapa negara yang melakukan redenominasi juga menambahkan kata ”New”pada mata uang baru mereka. ”Ungkapan ‘New’ telah dianggap tepat untuk mendahului nama mata uang nasional untuk jangka waktu tertentu,” tulis CBRT.
Karena itu,Pemerintah Indonesia menjadikan keberhasilan Turki dalam melakukan redenominasi sebagai pelajaran berharga. Hal ini pernah disampaikan Menteri Keuangan Agus Martowardojo dalam acara kick off ”Konsultasi Publik Perubahan Harga Rupiah” di Jakarta, Rabu 23 Januari 2013. Selain Turki, Agus menyebut, Rumania, Polandia, dan Ukraina.
Selain beberapa negara tersebut, ada beberapa negara lain yang sukses melakukan penyederhanaan mata uang seperti negara-negara pecahan Uni Soviet yaitu Azerbaijan yang pada 2009 menyederhanakan 5.000 manat menjadi 1 manat. Pada tahun yang sama Turkmenistan melakukan redenominasi yang sama dengan Azerbaijan.
Menurut pengamat ekonomi Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih, jika Indonesia ingin belajar tentang redenominasi, bisa melihat ke sejumlah negara Eropa yang telah berhasil. Fenomena Turki menurutnya juga bisa dipelajari. Dia juga mencontohkan fenomena Prancis yang beralih ke Euro sehingga membuat nilai uang tersebut menjadi meningkat.
”Tapi, Indonesia tidak bisa belajar seluruhnya kepada sebuah negara yang sukses melakukan redenominasi. Setiap negara mempunyai karakteristik sendiri yang berbeda dengan negara lain,”ungkap Sri kepada harian SINDO.
(kur)