Tuntutan Hartati, JPU abaikan fakta persidangan

Senin, 14 Januari 2013 - 14:09 WIB
Tuntutan Hartati, JPU abaikan fakta persidangan
Tuntutan Hartati, JPU abaikan fakta persidangan
A A A
Sindonews.com - Terdakwa penyuapan pengurusan Hak Guna Usaha perkebunan Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah, Siti Hartati Murdaya menganggap, tuntutan Jaksa telah mengabaikan fakta persidangan.

Kuasa hukum Hartati Dodi Abdul Kadir mengatakan, tuntutan selama lima tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider empat bulan kurungan, menjadi preseden buruk bagi iklim investasi di tanah air.

"Dari keterangan saksi dalam persidangan, tidak ada satupun yang mengungkap Ibu Hartati menyuap mantan Bupati Amran Batalipu. Tetapi JPU (Jaksa Penuntut Umum) malah menuntut selama itu," kata Dodi di Pengadilan Tipikor, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (14/1/2012).

Menurut Dodi, fakta persidangan yang terungkap, tidak satupun mendukung dasar tuntutan JPU. PT HIP tidak berkepentingan mengurus perizinan karena lahan perkebunan itu sah berdasarkan izin prinsip yang terbit tahun 1993. Izin prinsip itu diterbitkan atas dasar Keppres Nomor 37 Tahun 1993.

"Dari keterangan saksi ahli, jelas bahwa terbitnya Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 tidak lantas membatalkan luasan lahan PT HIP. Sebab, peraturan itu tidak berlaku surut. Ini menegaskan, bahwa Ibu Hartati tidak berkepentingan mengurus perizinan sebagaimana tuntutan JPU," jelasnya.

Oleh karena itu Dodi menganggap tuntutan itu menjadi preseden buruk bagi iklim investasi di tanah air. Pengusaha yang harusnya mendapat perlindungan dan insetif pemerintah atas investasi yang ditanamnya justru dihadapkan dengan hukum.

"Ini kontraproduktif dengan kepentingan pemerintah untuk menarik investasi sebanyak-banyaknya demi percepatan pembangunan. Harus diingat, Ibu Hartati adalah pionir investasi di Buol. Disaat investasinya sudah berjalan dan kondisi perekonomian di Buol maju, bukannya diberikan penghargaan, Ibu Hartati malah dihadapkan dengan hukum. Ini Ironis," bebernya.

Selain itu, ditekankan dia, perlu diingat dalam persidangan yang terungkap justru pemberian uang itu untuk sumbangan Pilkada karena Amran Batalipu saat itu kembali maju dalam Pilkada Buol. Nah, Undang-Undang mengatur bahwa status Amran saat itu bukanlah penyelenggara negara sehingga tidak bisa dikenakan UU Tipikor.

"Kasus ini membuka bagaimana kebingungan pengusaha sebagai investor menghadapi pilkada. Kalau tidak memberi, usahanya akan diganggu-ganggu. Investasinya terancam. Kalau memberi salah, dikenakan pasal penyuapan," pungkasnya.
(maf)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1503 seconds (0.1#10.140)