TKI vonis mati, belum tentu bebas dengan diyat
A
A
A
Sindonews.com - Pemerintah menyatakan, meski masih banyak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dapat dibebaskan dengan uang diyat atau uang tebusan. Hal itu harus diseleksi dan tidak semua TKI bermasalah, bisa dibebaskan uang diyat.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat mengatakan, anggaran negara tidak akan cukup untuk membebaskan para TKI yang terancam hukuman mati dengan membayar uang diyat.
"Harus ada consensus (kesepakatan) dengan masyarakat dan juga anggota legislatif tentang pembebasan TKI dengan uang diyat secara selektif," kata Jumhur, di Gedung BNP2TKI, Jalan MT Haryono, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (9/1/2013).
Jumhur menyatakan, pemerintah akan mencari masukan apa memang TKI atau WNI yang melakukan criminal sadis dan sudah terbukti bersalah masih mendapat belas kasihan dengan uang diyat. Atau hanya yang dinyatakan bersalah untuk membela diri karena diancam mau diperkosa.
“Masyarakat harus mengerti dan butuh consensus. Di level mana saja pemerintah harus turut campur dan tidak,” ucapnya.
Diketahui, uang diyat diperlukan jika ada kesepakatan dengan keluarga korban sehingga TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi dapat dibebaskan.
Hingga 2012 lalu TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi ada 45 orang. Total TKI yang terancam hukuman mati di seluruh negara penempatan sebanyak 420 orang beberapa dantaranya di Malaysia (351), China (22), Singapura (1), Manila (1) dan Saudi Arabia (45).
Memungkasi tahun 2012, Satinah, seorang Pembantu Rumah Tangga asal Indonesia yang bekerja di Arab Saudi, nasibnya masih menggantung dari ancaman eksekusi pancung. Perempuan asal Ungaran, Jawa Tengah ini hanya bisa diselamatkan oleh pembayaran diyat.
Adapun nilai diyat yang diminta keluarga korban Satinah adalah 10 juta riyal, atau setara Rp25 miliar. Mengenai Satinah, Jumhur berucap, pemerintah hingga saat ini masih mencoba untuk mendekati keluarga korban agar nominal tersebut diturunka dengan tenggat waktu pembayaran dibatasi hingga Juni nanti.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah berpendapat, dengan alasan pemerintah Indonesia kesulitan menyediakan dana untuk pembayaran Diyat. Padahal pembayaran diyat seharusnya tidak perlu terjadi, jika saja negara tidak lamban dalam mengadvokasi kasus Satinah yang dituduh membunuh dan mencuri.
Menurut pengakuan Satinah, tidak ada pembela hukum dan penerjemah yang mendampinginya selama lima kali persidangan.
"Akibatnya, pembelaan yang menjadi hak Satinah pun tidak menjadi pertimbangan hukum yang memadai," jelas Anis.
Menurut Anis, pada saat berhadapan dengan masalah, buruh migran dibiarkan sendirian dan tidak mendapatkan pembelaan dan perlindungan yang dibutuhkan. Sekalipun pemerintah hadir dalam proses penanganan buruh migran, seringkali bertindak lamban, diskriminatif, dan bahkan turut serta mengkriminalisasi buruh migran itu sendiri.
Anis menambahkan, kehadiran pemerintah seringkali juga terlambat sehingga sulit untuk bisa mendayagunakan sumberdaya diplomasi dalam advokasi pembebasan buruh migran yang terancam hukuman mati.
Belum lagi saat TKI tersudut dalam negosiasi besaran Diyat dalam kasus Satinah, pemerintah juga masih terlihat pelit untuk mengeluarkan biaya dalam pembebasan Satinah. Padahal jika dikalkulasi, besaran Diyat masih lebih kecil dari anggaran Satgas TKI sebesar Rp200 miliar.
Uang sebesar itu sebagian besar habis untuk biaya perjalanan, atau penghambur-hamburan uang negara untuk perjalanan studi banding anggota DPR dan perjalanan dinas pejabat negara yang muaranya hanya pencitraan belaka.
Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Moh Jumhur Hidayat mengatakan, anggaran negara tidak akan cukup untuk membebaskan para TKI yang terancam hukuman mati dengan membayar uang diyat.
"Harus ada consensus (kesepakatan) dengan masyarakat dan juga anggota legislatif tentang pembebasan TKI dengan uang diyat secara selektif," kata Jumhur, di Gedung BNP2TKI, Jalan MT Haryono, Pancoran, Jakarta Selatan, Rabu (9/1/2013).
Jumhur menyatakan, pemerintah akan mencari masukan apa memang TKI atau WNI yang melakukan criminal sadis dan sudah terbukti bersalah masih mendapat belas kasihan dengan uang diyat. Atau hanya yang dinyatakan bersalah untuk membela diri karena diancam mau diperkosa.
“Masyarakat harus mengerti dan butuh consensus. Di level mana saja pemerintah harus turut campur dan tidak,” ucapnya.
Diketahui, uang diyat diperlukan jika ada kesepakatan dengan keluarga korban sehingga TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi dapat dibebaskan.
Hingga 2012 lalu TKI yang terancam hukuman mati di Arab Saudi ada 45 orang. Total TKI yang terancam hukuman mati di seluruh negara penempatan sebanyak 420 orang beberapa dantaranya di Malaysia (351), China (22), Singapura (1), Manila (1) dan Saudi Arabia (45).
Memungkasi tahun 2012, Satinah, seorang Pembantu Rumah Tangga asal Indonesia yang bekerja di Arab Saudi, nasibnya masih menggantung dari ancaman eksekusi pancung. Perempuan asal Ungaran, Jawa Tengah ini hanya bisa diselamatkan oleh pembayaran diyat.
Adapun nilai diyat yang diminta keluarga korban Satinah adalah 10 juta riyal, atau setara Rp25 miliar. Mengenai Satinah, Jumhur berucap, pemerintah hingga saat ini masih mencoba untuk mendekati keluarga korban agar nominal tersebut diturunka dengan tenggat waktu pembayaran dibatasi hingga Juni nanti.
Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah berpendapat, dengan alasan pemerintah Indonesia kesulitan menyediakan dana untuk pembayaran Diyat. Padahal pembayaran diyat seharusnya tidak perlu terjadi, jika saja negara tidak lamban dalam mengadvokasi kasus Satinah yang dituduh membunuh dan mencuri.
Menurut pengakuan Satinah, tidak ada pembela hukum dan penerjemah yang mendampinginya selama lima kali persidangan.
"Akibatnya, pembelaan yang menjadi hak Satinah pun tidak menjadi pertimbangan hukum yang memadai," jelas Anis.
Menurut Anis, pada saat berhadapan dengan masalah, buruh migran dibiarkan sendirian dan tidak mendapatkan pembelaan dan perlindungan yang dibutuhkan. Sekalipun pemerintah hadir dalam proses penanganan buruh migran, seringkali bertindak lamban, diskriminatif, dan bahkan turut serta mengkriminalisasi buruh migran itu sendiri.
Anis menambahkan, kehadiran pemerintah seringkali juga terlambat sehingga sulit untuk bisa mendayagunakan sumberdaya diplomasi dalam advokasi pembebasan buruh migran yang terancam hukuman mati.
Belum lagi saat TKI tersudut dalam negosiasi besaran Diyat dalam kasus Satinah, pemerintah juga masih terlihat pelit untuk mengeluarkan biaya dalam pembebasan Satinah. Padahal jika dikalkulasi, besaran Diyat masih lebih kecil dari anggaran Satgas TKI sebesar Rp200 miliar.
Uang sebesar itu sebagian besar habis untuk biaya perjalanan, atau penghambur-hamburan uang negara untuk perjalanan studi banding anggota DPR dan perjalanan dinas pejabat negara yang muaranya hanya pencitraan belaka.
(maf)