MK hapus RSBI
A
A
A
Sindonews.com - Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini resmi mengeluarkan keputusan tidak berlakunya lagi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Hal itu buntut dari dikabulkannya permohonan uji materi Pasal 50 ayat 3 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur status RSBI.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Mahfud MD saat membacakan amar putusannya di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2013).
Keputusan tersebut diambil, karena MK menganggap pendidikan harus juga menanamkan jiwa dan jati diri bangsa.
"Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pada RSBI dan SBI akan menjauhkan pendidikan nasional dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia," kata Hakim Konstitusi Hamdan Zoelvan.
Selain itu, walaupun RSBI adalah sekolah nasional yang sudah memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara maju, namun tidak dapat dihindari pemahaman dan praktiknya yang menonjol dalam RSBI adalah bahasa internasional atau lebih spesifik Bahasa Inggris.
Mereka pun beranggapan, istilah "berstandar internasional" dalam Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas sangat berpotensi menghilangkan kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional Indonesia.
"Kehebatan peserta didik yang penekanan tolak ukurnya dengan kemampuan berbahasa asing, khususnya Bahasa Inggris adalah tidak tepat. Hal demikian bertentangan dengan hakikat pendidikan nasional yang harus menanamkan jiwa nasional dan kepribadian Indonesia kepada anak didik Indonesia," jelas Hamdan.
Ditambahkannya, menurut Mahkamah, output pendidikan yang harus menghasilkan siswa-siswa memiliki kemampuan untuk bersaing dalam dunia global dan memiliki kemampuan berbahasa asing, tidak harus diberi lebel berstandar internasional, di samping juga tidak adanya standar internasional yang menjadi rujukan.
"Apabila standar pendidikan diukur dengan standar internasional, maka bertentangan dengan maksud dan tujuan pendidikan nasional yang harus membangun kesadaran nasional yang melahirkan manusia Indonesia yang beriman, berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya.
Selain itu, dengan adanya pembedaan antara sekolah SBI/RSBI dengan sekolah non-SBI/RSBI, baik dalam hal sarana dan prasarana, pembiayaan maupun output pendidikan, akan melahirkan perlakuan berbeda antara kedua sekolah tersebut. Termasuk perbedaan perlakukan terhadap siswanya.
Oleh karena itu, dengan pembedaan perlakuan demikian bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah.
Pembedaan perlakuan itu juga menunjukan dengan jelas adanya perlakuan berbeda dari negara terhadap sekolah SBI/RSBI dengan sekolah non-SBI/RSBI dan antarsiswa yang bersekolah di kedua sekolah tersebut. Apakah itu baik dalam fasilitas pembiayaan, sarana dan prasarana, maupun output pendidikan.
"Implikasinya mengakibatkan hanya sekolah yang berstatus SBI atau RSBI saja yang menikmati kualitas rata-rata yang lebih baik dibanding sekolah yang tidak berstatus SBI/RSBI, sementara sekolah yang berstatus SBI/RSBI masih sangat terbatas," jelasnya.
Hamdan juga menambahkan, hal tersebut merupakan bentuk perlakuan yang tidak adil dan tidak sejalan dengan prinsip konstitusi.
Jika negara hendak memajukan serta meningkatkan kualitas sekolah yang dibiayai oleh negara, maka negara harus memperlakukan sama dengan meningkatkan sarana, prasarana serta pembiayaan bagi semua sekolah yang dimiliki oleh pemerintah. Sehingga menghapus pembedaan perlakuan antara berbagai sekolah yang ada.
"Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin seluruh warga negara Indonesia menjadi cerdas yang salah satunya ditandai dengan menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang dapat diakses seluruh warga negara tanpa terkecuali dan tanpa pembedaan," pungkasnya.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Mahfud MD saat membacakan amar putusannya di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2013).
Keputusan tersebut diambil, karena MK menganggap pendidikan harus juga menanamkan jiwa dan jati diri bangsa.
"Penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar pada RSBI dan SBI akan menjauhkan pendidikan nasional dari akar budaya dan jiwa bangsa Indonesia," kata Hakim Konstitusi Hamdan Zoelvan.
Selain itu, walaupun RSBI adalah sekolah nasional yang sudah memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara maju, namun tidak dapat dihindari pemahaman dan praktiknya yang menonjol dalam RSBI adalah bahasa internasional atau lebih spesifik Bahasa Inggris.
Mereka pun beranggapan, istilah "berstandar internasional" dalam Pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas sangat berpotensi menghilangkan kebanggaan terhadap bahasa dan budaya nasional Indonesia.
"Kehebatan peserta didik yang penekanan tolak ukurnya dengan kemampuan berbahasa asing, khususnya Bahasa Inggris adalah tidak tepat. Hal demikian bertentangan dengan hakikat pendidikan nasional yang harus menanamkan jiwa nasional dan kepribadian Indonesia kepada anak didik Indonesia," jelas Hamdan.
Ditambahkannya, menurut Mahkamah, output pendidikan yang harus menghasilkan siswa-siswa memiliki kemampuan untuk bersaing dalam dunia global dan memiliki kemampuan berbahasa asing, tidak harus diberi lebel berstandar internasional, di samping juga tidak adanya standar internasional yang menjadi rujukan.
"Apabila standar pendidikan diukur dengan standar internasional, maka bertentangan dengan maksud dan tujuan pendidikan nasional yang harus membangun kesadaran nasional yang melahirkan manusia Indonesia yang beriman, berakhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya.
Selain itu, dengan adanya pembedaan antara sekolah SBI/RSBI dengan sekolah non-SBI/RSBI, baik dalam hal sarana dan prasarana, pembiayaan maupun output pendidikan, akan melahirkan perlakuan berbeda antara kedua sekolah tersebut. Termasuk perbedaan perlakukan terhadap siswanya.
Oleh karena itu, dengan pembedaan perlakuan demikian bertentangan dengan prinsip konstitusi yang harus memberikan perlakuan yang sama antarsekolah dan antarpeserta didik apalagi sama-sama sekolah milik pemerintah.
Pembedaan perlakuan itu juga menunjukan dengan jelas adanya perlakuan berbeda dari negara terhadap sekolah SBI/RSBI dengan sekolah non-SBI/RSBI dan antarsiswa yang bersekolah di kedua sekolah tersebut. Apakah itu baik dalam fasilitas pembiayaan, sarana dan prasarana, maupun output pendidikan.
"Implikasinya mengakibatkan hanya sekolah yang berstatus SBI atau RSBI saja yang menikmati kualitas rata-rata yang lebih baik dibanding sekolah yang tidak berstatus SBI/RSBI, sementara sekolah yang berstatus SBI/RSBI masih sangat terbatas," jelasnya.
Hamdan juga menambahkan, hal tersebut merupakan bentuk perlakuan yang tidak adil dan tidak sejalan dengan prinsip konstitusi.
Jika negara hendak memajukan serta meningkatkan kualitas sekolah yang dibiayai oleh negara, maka negara harus memperlakukan sama dengan meningkatkan sarana, prasarana serta pembiayaan bagi semua sekolah yang dimiliki oleh pemerintah. Sehingga menghapus pembedaan perlakuan antara berbagai sekolah yang ada.
"Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin seluruh warga negara Indonesia menjadi cerdas yang salah satunya ditandai dengan menyelenggarakan satu sistem pendidikan yang dapat diakses seluruh warga negara tanpa terkecuali dan tanpa pembedaan," pungkasnya.
(mhd)