BK DPR tak berkapasitas minta data dari PPATK
A
A
A
Sindonews.com - Ketua Badan kehormatan (BK) DPR Muhammad Prakosa akhirnya ikut angkat bicara terkait dugaan rekening mencurigakan milik anggota DPR yang telah dirilis oleh Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Namun, BK tidak dalam kapasitas untuk meminta data tersebut dari PPATK.
"Jadi BK DPR itu tidak mempunyai atau tidak dalam posisi untuk meminta data itu juga," ujar Prakosa di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/1/2012).
Menurutnya, data hasil analisis PPATK hanya di sampaikan ke penegak hukum, jika terkait pencucian uang disampaikan ke Kepolisian atau kejaksaan. Secara undang-undang PPATK diminta untuk menyampaikan hasil temuannya ke aparat penegak hukum.
"Karena memang Undang-undang mengatakaan itu di sampaikan ke penegak hukum," kata politikus Partai Amanah Nasional (PAN) itu.
Pihaknya berharap, temuan tersebut ditindak lanjuti oleh lembaga penegak hukum sehingga tidak hanya menjadi isu.
"Kalau tidak akan menjadi suatu rumor. Kita harapkan informasi ini bisa ditindak lanjuti secara mekanisme yang ada," pungkasanya.
Sebelumnya, PPATK melansir, sejak 1999, legislatif yang paling banyak terindikasi tindak pidana korupsi adalah periode jabatan 2009-2014.
"Terindikasi tindak pidana korupsi terjadi periode 2009-2014 sebesar 42.71 persen. Sedangkan paling sedikit terindikasi dugaan tindak pidana korupsi periode 2001-2004 sebesar 1.04 persen," papar Kepala PPATK Muhammad Yusuf di kantor PPATK, Jakarta Pusat, Rabu 2 Januari 2012 lalu.
"Jadi BK DPR itu tidak mempunyai atau tidak dalam posisi untuk meminta data itu juga," ujar Prakosa di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/1/2012).
Menurutnya, data hasil analisis PPATK hanya di sampaikan ke penegak hukum, jika terkait pencucian uang disampaikan ke Kepolisian atau kejaksaan. Secara undang-undang PPATK diminta untuk menyampaikan hasil temuannya ke aparat penegak hukum.
"Karena memang Undang-undang mengatakaan itu di sampaikan ke penegak hukum," kata politikus Partai Amanah Nasional (PAN) itu.
Pihaknya berharap, temuan tersebut ditindak lanjuti oleh lembaga penegak hukum sehingga tidak hanya menjadi isu.
"Kalau tidak akan menjadi suatu rumor. Kita harapkan informasi ini bisa ditindak lanjuti secara mekanisme yang ada," pungkasanya.
Sebelumnya, PPATK melansir, sejak 1999, legislatif yang paling banyak terindikasi tindak pidana korupsi adalah periode jabatan 2009-2014.
"Terindikasi tindak pidana korupsi terjadi periode 2009-2014 sebesar 42.71 persen. Sedangkan paling sedikit terindikasi dugaan tindak pidana korupsi periode 2001-2004 sebesar 1.04 persen," papar Kepala PPATK Muhammad Yusuf di kantor PPATK, Jakarta Pusat, Rabu 2 Januari 2012 lalu.
(mhd)