Obat cespleng ancam citra jamu Indonesia

Senin, 10 Desember 2012 - 10:53 WIB
Obat cespleng ancam...
Obat cespleng ancam citra jamu Indonesia
A A A
Jamu dengan bahan alami mempunyai nilai lebih dalam pengobatan. Obat herbal sudah digunakan sejak dahulu dan ampuh untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Selain untuk pengobatan, jamu juga banyak digunakan sebagai suplemen tubuh.

Obat herbal tersebut kini juga telah banyak dipergunakan untuk kecantikan dan perawatan tubuh. Merambahnya obat herbal sebagai suplemen tubuh dan kecantikan dipicu oleh kesadaran masyarakat untuk kembali ke alam serta keinginan untuk berumur panjang.

Bagi masyarakat Indonesia, sebenarnya cukup mudah untuk meramu atau memproduksi jamu. Hal ini karena Indonesia menjadi negara terbesar kedua setelah Brasil sebagai penghasil herbal. Menurut Menteri Perindustrian MS Hidayat, industri kosmetik dan herbal Indonesia memiliki prospek bisnis yang cerah.

Hal ini terbukti dengan omzet yang terus meningkat.Dia mengharapkan agar perusahaan herbal Indonesia dapat mengembangkan riset, sumber daya manusia(SDM),danteknologiguna menciptakan produk yang berkualitas.

”Produk herbal nasional mencapai Rp11 triliun pada 2011,” kata Hidayat seperti dilansir laman resmi Kementerian Perindustrian Republik Indonesia.

Pertumbuhan omzet obat herbal juga diakui oleh Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu Indonesia (GPJI) Charles Saerang. Menurut Charles, pada 2006 omzet industri jamu lokal mencapai sekira Rp5 triliun.

Angka ini kemudian meningkat menjadi sekitar Rp6 triliun pada 2007. Pada 2008 bertambah menjadi Rp7,2 triliun dan Rp8,5 triliun pada 2009. Angka itu kemudian meningkat menjadi Rp10 triliun pada 2010 dan Rp11,5 triliun pada 2011.

Charles memprediksi,hingga akhir tahun ini omzet industri jamu lokal mencapai RP13 triliun. Angka tersebut akan terus melesat naik hingga tahun 2015. Diperkirakan, pada 2015 omset jamu lokal mencapai Rp20 triliun. Omzet yang terus meningkat tiap tahun memicu pelaku usaha nakal untuk berbuat curang yang dapat merusak citra jamu Indonesia.

Charles mengakui bahwa angka yang disebutkan di atas termasuk untuk jamu yang dicampur dengan bahan kimia obat (BKO) atau biasa disebut jamu cespleng. Padahal, menurut Charles, BKO tidak bisa dikategorikan sebagai jamu.

”Omzet jamu murni hanya sekitar Rp3 triliun setiap tahun,” ujarnya kepada SINDO, Minggu, 9 Desember 2012.

Ia menambahkan, maraknya jamu cespleng ini diakibatkan dari persepsi masyarakat yang kadung menganggap bahwajamuharusdicampurBKO. Akhirnya, masyarakat cenderung memilih jamu cespleng yang notabene telah dicampur kimia.

Akibatnya, jamu Indonesia sering dijuluki ”jamu racun”karena mengandung BKO dan mengancam pangsa pasar jamu murni. Kondisi ini menjadi kendala bagi pengusaha jamu untuk mengembangkan produknya.

Kendala lain yang dihadapi industri herbal Indonesia adalah banyaknya bahan baku jamu yang banyak diekspor. Banyak juga bahan setengah jadi berupa ekstrak bahan jamu yang diekspor dan dikemas menggunakan merek luar.

Saerang menyayangkan aturan pemerintah yang mengharuskan pengusaha jamu memenuhi tata cara pembuatan obat tradisional yang ditetapkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Sejatinya, sistem yang ditetapkan BPOM tersebut berbasis farmasi yang berbeda dengan jamu.

Hal tersebut tidak mengherankan, mengingat 70% anggota BPOM adalah ahli farmasi. Sejumlah kendala di atas berakibat banyaknya pengusaha jamu yang bangkrut dan jamu tidak berkembang dengan baik serta menyempitnya pangsa pasar jamu.

Charles berpendapat,pangsa pasar jamu murni juga disebabkan derasnya jamu asing yang masuk Indonesia. Banyak juga klinik yang mengatasnamakan jamu padahal mengandung BKO. ”Kendala utama dalam memasarkan jamu produk Indonesia ialah menjaga merek jamu Indonesia,” tuturnya.

Ramainya persaingan dengan jamu BKO di pasaran memicu orang yang tidak bertanggungjawab untuk membuat jamu palsu.Mereka memalsukan jamu BKO tersebut sehingga tidak ada unsur jamu sama sekali di dalamnya.

Kepala Unit Pengobatan Alternatif Komplementer Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta Aldrin Neilwan mengatakan, penyebaran dan penjualan produk jamu yang tidak terdaftar secara resmi dapat membahayakan orang yang mengonsumsinya.

”Penggunaan obat herbal itu harus rasional, sesuai fungsi dan tidak membahayakan,” ujarnya kepada Sindo 7 Desember 2012.

Berdasarkan penelitian BPOM semester I/2012, ditemukan 25 jenis obat tradisional yang mengandung BKO dan sebanyak 41.449 obat telah dimusnahkan.

”Obat tersebut ada yang produknya terdaftar di BPOM dan ada yang tidak.Yang terdaftar itu biasanya menambahkan bahan kimia obat setelah mendapat izin edar. Tapi, lebih banyak yang tidak mendaftar, mencetak sendiri izin edarnya,” kata Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen BPOM T Bahdar J Hamid dikutip dari Antara 18 September 2012.

Tingginya jumlah jamu BKO di pasaran harus diawasi dengan ketat karena dampaknya yang berbahaya dalam jangka panjang. Parahnya, ditemukan jumlah dosis BKO yang ada di tiap bungkus tidak sama dengan yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan produsen hanya menakar sesuai perkiraan, tanpa menimbang.

Pemerintah dan masyarakat dituntut saling membahu untuk menjaga citra jamu Indonesia agar tidak dirusak. Pemerintah juga diminta mengedukasi masyarakat dan pengusaha jamu guna meningkatkan kualitas jamu. Pemerintah dapat melibatkan instansi lain terkait penelitian dan pengembangan industri jamu yang menangani pembinaan obat tradisional.
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0751 seconds (0.1#10.140)