Urgensi economic intelligence dalam kegiatan investasi
A
A
A
Saya kira para investor di bidang minyak dan gas bumi (migas) tidak menduga bahwa akhirnya keberadaan BP Migas bubar karena suatu putusan Mahkamah Konstitusi. BP Migas selama ini memiliki peranan yang cukup sentral dalam kegiatan investasi hulu migas.
Sejak dibentuk melalui UU Migas No 22/2001, mereka sudah terbiasa, kalau hendak berinvestasi di hulu migas, harus berhubungan dengan BP Migas. Ini mengingat BP Migas selama ini adalah institusi wakil pemerintah sebagai pelaksana atau pengelola kontrakkontrak migas dengan para pelaku usaha migas. Kalau sekarang BP Migas tidak ada, lalu kepada siapa para investor migas ini harus berhubungan?
Kemudian, bagaimana kebijakan pengelolaan migas di Indonesia ke depan? Bagaimana arah politik migas pascakeputusan MK ini? Pertanyaan-pertanyaan ini suatu hal yang perlu diketahui secara detil oleh para investor. Nah, di sinilah informasi-informasi strategis baik mencakup situasi ekonomi, arah politik, kebijakan dan regulasi sektoral, hukum, birokrasi, dan lainnya menjadi sangat dibutuhkan.
Informasi seperti ini biasanya hanya bisa disediakan melalui kegiatan analisis yang berbasis ”intelijen”. Pertanyaannya, apa sebenarnya analisis berbasis ”intelijen”itu? Bagaimana pola kerjanya? Sejauh mana urgensi informasi berbasis ”intelijen”, khususnya economic intelligence”, ini diperlukan bagi kegiatan usaha, khususnya investasi?
Intelijen Bukan Spionase
Di Indonesia intelijen masih diidentikkan sebagai aktivitas spionase atau penyelidikan secara rahasia dengan menggunakan agen-agen rahasia seperti yang biasa dilakukan lembaga intelijen negara. Padahal, sesungguhnya tidak demikian.
Di bidang ekonomi para ekonom yang melakukan kajian demi kepentingan intelijen ekonomi (economic intelligence unit/EUI) adalah orang-orang yang bekerja berdasarkan data dan fakta resmi.
Data-data yang diolah sebagai bahan analisis pun berasal dari sumber resmi, bukan berasal dari data rahasia atau memperolehnya dengan menggunakan agen rahasia. EIU memang mirip dengan litbang. Namun, kedudukan kedua unit ini memiliki perbedaan yang mendasar.
Litbang melakukan penelitian satu topik tertentu secara mendalam dengan menggunakan data historis untuk mengetahui tren agar diketahui masalah dan diambil solusinya untuk periode berikutnya.
Namun, riset litbang ini biasanya kurang dapat menangkap perubahanperubahan terkini sehingga hasil litbang dalam tataran pemanfaatannya masih perlu di-adjust. Sedangkan riset EIU bersifat quick responsive (respons cepat) yang diperlukan untuk mengambil kebijakan secara cepat dan tepat berdasarkan data yang faktual dan up to date. Seorang yang bekerja dalam kegiatan EIU harus memiliki kepekaan dan selalu meng-update dirinya dengan berbagai informasi dari berbagai sumber.
Tidak hanya ekonomi, tetapi juga seluruh aspek dinamika berekonomi seperti politik dan hukum. Karena aktivitas dan manfaat hasil riset antara litbang dan EIU berbeda, sesungguhnya keberadaan keduanya sangat penting untuk mendukung kinerja usaha. Hasil litbang digunakan sebagai basis kebijakan.
Untuk kepentingan pengambilan keputusan, hasil litbang tersebut dilengkapi dengan hasil analisis EIU untuk menjawab perkembangan terkini yang bisa berbeda sekali dengan tren yang telah ditemukan dalam riset litbang.
EIU di Indonesia
Pengamatan penulis, tidak banyak institusi di Indonesia yang memanfaatkan EIU. EIU ini hanya membudaya di lembaga keuangan. Itu pun terbatas di industri perbankan. Di industri perbankan hanya beberapa bank yang memiliki EIU ini seperti dengan ditemukan satu profesi baru di bank yaitu ekonom (economist).
Ekonom di bank ini biasanya melakukan aktivitas riset untuk mengetahui dinamika ekonomi (global dan domestik) yang dimanfaatkan untuk kebijakan bank seperti kebijakan suku bunga, pengendalian likuiditas, dan penempatan dana. Pemerintah memiliki Badan Pusat Statistik (BPS).Namun, BPS ini tidak bisa dikategorikan sebagai EIU karena fungsinya hanya sebagai penyuplai data.
Data BPS tidak bisa bermakna apa-apa kalau tidak dicerna dengan menggunakan bahasa analisis. Pengguna data BPS (sekalipun pemerintah) tidak bisa langsung mengetahui apa sesungguhnya faktor dibalik terjadinya data tersebut. Maka itu,untuk bisa memahami data BPS, pemerintah biasanya melakukan cross check dengan departemen terkait atau industri langsung.
Mungkin baru Kementerian dan Bank Indonesia yang telah memiliki fungsi khusus yang lebih baik sebagai EIU. Itu pun karena sesuai kebutuhannya materi yang disajikan EIU d i Kemenkeu dan BI masih terbatas pada data-data makro, moneter, perbankan, dan fiskal.
Penulis berpendapat, setiap kementerian wajib memiliki intelligence unit(IU). Pemerintah harus lebih mengembangkan budaya untuk lebih cepat dalam merespons situasi.
Keberadaan IU ini juga dapat menjadi pemacu bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem data. Harus diakui, masalah akurasi data ini masih menjadi problem serius di pemerintah. Keberadaan IU ini sekaligus juga untuk mengoptimalkan para peneliti di litbang kementerian.
Perlu diketahui, hampir setiap kementerian memiliki litbang. Sayangnya, perannya tidak optimal. Sedangkan hasil penelitiannya tidak bisa dimanfaatkan instansinya karena tidak aktual (out of date).
Lebih dari itu, keberadaan IU ini penting bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas negara. Indonesia ini memiliki potensi ekonomi yang luar biasa; pertambangan,energi, pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, pariwisata, dan lain-lain. Tapi, karena kurangnya pemetaan potensi secara baik (karena lemahnya data dan analisis), kinerja ekonomi kita menjadi kurang optimal.
Ironisnya, justru asing yang lebih banyak memanfaatkan potensi ekonomi kita karena mereka sepertinya lebih tahu tentang potensi ekonomi Indonesia dibandingkan orang kita sendiri. Salah satu faktor yang menyebabkan EIU ini tidak berkembang baik di pemerintah adalah mindset sebagian pejabat negara masih berpikiran bahwa EUI dan lembaga seperti litbang bukan fungsi pokok organisasi.
Padahal, pekerjaan EIU adalah pekerjaan yang menuntut kecermatan, kejelian, dan itu hanya bisa dilakukan kalau para penelitinya fokus. Mengingat keterbatasan sisi inilah, yang mendorong penulis untuk membentuk The Indonesia Economic Intelligence (IEI).
Salah satu fokus IEI adalah menyediakan data, informasi, dan analisis yang up to date terhadap situasi ekonomi global dan domestik, termasuk informasi aspek nonekonomi lainnya yang penting, khususnya bagi dunia usaha.
Harus diakui bahwa untuk membangun sistem intelijen ekonomi dibutuhkan investasi yang cukup mahal, khususnya untuk membangun infrastruktur teknologi informasi dan sumber daya manusia. Namun, mahalnya investasi tersebut biasanya terbatas pada cost of initial. Selanjutnya, jika sistem sudah berjalan dengan baik, biaya operasionalnya relatif murah.
SUNARSIP
Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Jakarta
Sejak dibentuk melalui UU Migas No 22/2001, mereka sudah terbiasa, kalau hendak berinvestasi di hulu migas, harus berhubungan dengan BP Migas. Ini mengingat BP Migas selama ini adalah institusi wakil pemerintah sebagai pelaksana atau pengelola kontrakkontrak migas dengan para pelaku usaha migas. Kalau sekarang BP Migas tidak ada, lalu kepada siapa para investor migas ini harus berhubungan?
Kemudian, bagaimana kebijakan pengelolaan migas di Indonesia ke depan? Bagaimana arah politik migas pascakeputusan MK ini? Pertanyaan-pertanyaan ini suatu hal yang perlu diketahui secara detil oleh para investor. Nah, di sinilah informasi-informasi strategis baik mencakup situasi ekonomi, arah politik, kebijakan dan regulasi sektoral, hukum, birokrasi, dan lainnya menjadi sangat dibutuhkan.
Informasi seperti ini biasanya hanya bisa disediakan melalui kegiatan analisis yang berbasis ”intelijen”. Pertanyaannya, apa sebenarnya analisis berbasis ”intelijen”itu? Bagaimana pola kerjanya? Sejauh mana urgensi informasi berbasis ”intelijen”, khususnya economic intelligence”, ini diperlukan bagi kegiatan usaha, khususnya investasi?
Intelijen Bukan Spionase
Di Indonesia intelijen masih diidentikkan sebagai aktivitas spionase atau penyelidikan secara rahasia dengan menggunakan agen-agen rahasia seperti yang biasa dilakukan lembaga intelijen negara. Padahal, sesungguhnya tidak demikian.
Di bidang ekonomi para ekonom yang melakukan kajian demi kepentingan intelijen ekonomi (economic intelligence unit/EUI) adalah orang-orang yang bekerja berdasarkan data dan fakta resmi.
Data-data yang diolah sebagai bahan analisis pun berasal dari sumber resmi, bukan berasal dari data rahasia atau memperolehnya dengan menggunakan agen rahasia. EIU memang mirip dengan litbang. Namun, kedudukan kedua unit ini memiliki perbedaan yang mendasar.
Litbang melakukan penelitian satu topik tertentu secara mendalam dengan menggunakan data historis untuk mengetahui tren agar diketahui masalah dan diambil solusinya untuk periode berikutnya.
Namun, riset litbang ini biasanya kurang dapat menangkap perubahanperubahan terkini sehingga hasil litbang dalam tataran pemanfaatannya masih perlu di-adjust. Sedangkan riset EIU bersifat quick responsive (respons cepat) yang diperlukan untuk mengambil kebijakan secara cepat dan tepat berdasarkan data yang faktual dan up to date. Seorang yang bekerja dalam kegiatan EIU harus memiliki kepekaan dan selalu meng-update dirinya dengan berbagai informasi dari berbagai sumber.
Tidak hanya ekonomi, tetapi juga seluruh aspek dinamika berekonomi seperti politik dan hukum. Karena aktivitas dan manfaat hasil riset antara litbang dan EIU berbeda, sesungguhnya keberadaan keduanya sangat penting untuk mendukung kinerja usaha. Hasil litbang digunakan sebagai basis kebijakan.
Untuk kepentingan pengambilan keputusan, hasil litbang tersebut dilengkapi dengan hasil analisis EIU untuk menjawab perkembangan terkini yang bisa berbeda sekali dengan tren yang telah ditemukan dalam riset litbang.
EIU di Indonesia
Pengamatan penulis, tidak banyak institusi di Indonesia yang memanfaatkan EIU. EIU ini hanya membudaya di lembaga keuangan. Itu pun terbatas di industri perbankan. Di industri perbankan hanya beberapa bank yang memiliki EIU ini seperti dengan ditemukan satu profesi baru di bank yaitu ekonom (economist).
Ekonom di bank ini biasanya melakukan aktivitas riset untuk mengetahui dinamika ekonomi (global dan domestik) yang dimanfaatkan untuk kebijakan bank seperti kebijakan suku bunga, pengendalian likuiditas, dan penempatan dana. Pemerintah memiliki Badan Pusat Statistik (BPS).Namun, BPS ini tidak bisa dikategorikan sebagai EIU karena fungsinya hanya sebagai penyuplai data.
Data BPS tidak bisa bermakna apa-apa kalau tidak dicerna dengan menggunakan bahasa analisis. Pengguna data BPS (sekalipun pemerintah) tidak bisa langsung mengetahui apa sesungguhnya faktor dibalik terjadinya data tersebut. Maka itu,untuk bisa memahami data BPS, pemerintah biasanya melakukan cross check dengan departemen terkait atau industri langsung.
Mungkin baru Kementerian dan Bank Indonesia yang telah memiliki fungsi khusus yang lebih baik sebagai EIU. Itu pun karena sesuai kebutuhannya materi yang disajikan EIU d i Kemenkeu dan BI masih terbatas pada data-data makro, moneter, perbankan, dan fiskal.
Penulis berpendapat, setiap kementerian wajib memiliki intelligence unit(IU). Pemerintah harus lebih mengembangkan budaya untuk lebih cepat dalam merespons situasi.
Keberadaan IU ini juga dapat menjadi pemacu bagi pemerintah untuk memperbaiki sistem data. Harus diakui, masalah akurasi data ini masih menjadi problem serius di pemerintah. Keberadaan IU ini sekaligus juga untuk mengoptimalkan para peneliti di litbang kementerian.
Perlu diketahui, hampir setiap kementerian memiliki litbang. Sayangnya, perannya tidak optimal. Sedangkan hasil penelitiannya tidak bisa dimanfaatkan instansinya karena tidak aktual (out of date).
Lebih dari itu, keberadaan IU ini penting bagi pemerintah untuk meningkatkan kapasitas negara. Indonesia ini memiliki potensi ekonomi yang luar biasa; pertambangan,energi, pertanian, perkebunan, kehutanan, kelautan, pariwisata, dan lain-lain. Tapi, karena kurangnya pemetaan potensi secara baik (karena lemahnya data dan analisis), kinerja ekonomi kita menjadi kurang optimal.
Ironisnya, justru asing yang lebih banyak memanfaatkan potensi ekonomi kita karena mereka sepertinya lebih tahu tentang potensi ekonomi Indonesia dibandingkan orang kita sendiri. Salah satu faktor yang menyebabkan EIU ini tidak berkembang baik di pemerintah adalah mindset sebagian pejabat negara masih berpikiran bahwa EUI dan lembaga seperti litbang bukan fungsi pokok organisasi.
Padahal, pekerjaan EIU adalah pekerjaan yang menuntut kecermatan, kejelian, dan itu hanya bisa dilakukan kalau para penelitinya fokus. Mengingat keterbatasan sisi inilah, yang mendorong penulis untuk membentuk The Indonesia Economic Intelligence (IEI).
Salah satu fokus IEI adalah menyediakan data, informasi, dan analisis yang up to date terhadap situasi ekonomi global dan domestik, termasuk informasi aspek nonekonomi lainnya yang penting, khususnya bagi dunia usaha.
Harus diakui bahwa untuk membangun sistem intelijen ekonomi dibutuhkan investasi yang cukup mahal, khususnya untuk membangun infrastruktur teknologi informasi dan sumber daya manusia. Namun, mahalnya investasi tersebut biasanya terbatas pada cost of initial. Selanjutnya, jika sistem sudah berjalan dengan baik, biaya operasionalnya relatif murah.
SUNARSIP
Kepala Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI), Jakarta
(kur)