Menanti RTH jadi landmark kota

Rabu, 14 November 2012 - 10:36 WIB
Menanti RTH jadi landmark...
Menanti RTH jadi landmark kota
A A A
Gedung-gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan sering menjadi simbol kemajuan sebuah kota besar. Tidak jarang, keberadaannya dijadikan landmark atau ikon sebuah kota. Tetapi, bagaimana jika masyarakatnya ingin menghirup udara segar atau bermain di taman? Adakah ruang hijau nan asri yang bisa dimanfaatkan?

Berbagai pertanyaan itulah yang kerap muncul di benak masyarakat kota besar seperti Jakarta. Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) menjadi sangat penting. Keberadaan RTH selain bermanfaat menjadi penyaring (filter) senyawa karbon seperti CO (karbonmonoksida), HC (hidrokarbon), dan NOx (nitrogen oksida) yang dilepaskan kendaraan bermotor, juga berfungsi sebagai tempat bersosialisasi antarwarga. Ruang publik ini menjadi sebuah syarat yang harus ada di setiap kota.

Menurut aturan internasional mengenai RTH, suatu kota harus mencapai angka 30% dari luas kota. Kesepakatan masyarakat internasional ini juga diamini Pemerintah Indonesia dengan menetapkan agar daerah perkotaan memiliki minimal 20% dari luas kawasan perkotaan untuk ruang publik ini. Karena itu, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) menjanjikan akan menambah RTH di Ibu Kota.

Upaya ini akan membuat Jakarta lebih indah dan hijau. Hal itulah yang kerap disampaikan Jokowi dalam sejumlah kesempatan setelah dirinya menjadi orang nomor satu di Jakarta. Menurut Jokowi, RTH mutlak diperlukan di daerah perkotaan seperti Jakarta.

Alasannya,RTH bisa berfungsi sebagai ruang publik dan dapat menyeimbangkan lingkungan yang ada di sekitarnya. “RTH itu mutlak diperlukan. Baik sebagai ruang publik, maupun sebagai fungsi lingkungan,” kata Jokowi dalam sebuah kesempatan di Balai Kota Jakarta pada akhir bulan lalu.

Ketika mengikuti kegiatan Haritaru (Hari Tata Ruang) yang digelar Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Minggu (4/11) Jokowi menargetkan akan menyediakan 30% lahan di Jakarta untuk RTH.Menurut Jokowi, saat ini Jakarta hanya memiliki RTH kurang dari 10%.

“Targetnya tetap antara publik dan privat 30%. Karena, kota yang sehat itu punya ruang publik yang banyak. Punya RTH yang banyak dan minimalnya ada di undang-undang, yaitu 20% plus 10%, ya sudah itu,” jelas Jokowi.

Salah satu strategi untuk memenuhi angka 30% tersebut adalah dengan menyediakan lahan sebanyak-banyaknya. Menurut pengamat perkotaan Universitas Trisakti Yayat Supriatna, rencana Jokowi untuk menambah RTH Jakarta menjadi 20% pada 2015 mendatang sangat sulit untuk direalisasikan.

Sebab, pada pemerintahan sebelumnya selama 10 tahun Pemprov DKI Jakarta berencana menambah RTH dari 9,4% menjadi 13% tidak pernah terwujud.Saat ini RTH Jakarta masih saja di kisaran 9,4%.

Sementara, untuk menyediakan lahan di Jakarta bukan pekerjaan mudah. “Pemprov perlu membuat peta tentang harga tanah agar bisa melihat lebih jelas kemungkinan membeli tanah di Jakarta,”jelas pria yang menjadi salah satu panelis dalam debat calon gubernur DKI Jakarta pada Pilkada lalu. Kendala lain, tidak mudah mengajak swasta menyediakan RTH. Swasta lebih memilih menggunakan lahan mereka sebagai areal perkantoran dan bisnis dibanding RTH.

Seandainya memiliki RTH,sifatnya masih privat dan tidak bisa diakses masyarakat umum. Yayat berharap, pemerintahan Jokowi bisa tegas dan ketat dibanding pemerintah sebelumnya dalam mengelola dan menyediakan RTH. Jika tidak, Jakarta akan tetap mempunyai masalah RTH yang selalu dihadapi masyarakat.

Pelibatan masyarakat juga sangat penting untuk mengelola RTH yang ada. Mereka bisa dirangsang dengan memberikan reward kepada komunitas yang menjaga RTH di lingkungan mereka
(kur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.2997 seconds (0.1#10.140)