Audisi mencari pemimpin negarawan
A
A
A
Hiruk-pikuk persoalan kebangsaan seperti kemiskinan dan konflik antarwarga bermula dari sikap elite yang tidak bisa dijadikan teladan.
Problem serius muncul dari ragam dan pola elite politik yang menjadikan korupsi sebagai “budaya” baru mereka. Bahkan, jual-beli pasal pun menjadi ajang mencari keuntungan pribadi yang sudah dikompromikan bersama-sama. Kondisi ini menjadi realitas yang tidak terbantahkan dalam pentas perpolitikan di Indonesia saat ini.
Bangsa ini tengah dilanda defisit kader politik yang punya nilai moral.Sekian banyak partai politik tidak mampu mencetak pemimpin-pemimpin yang berjiwa negarawan, berintelektual dan beridealisme tinggi.
Akibatnya, masyarakat menjadi apatis dan skeptis terhadap keberadaan parpol. Berdasar latar belakang ini, Rumah Kebangsaan dideklarasikan bersamaan dengan peringatan Sumpah Pemuda beberapa waktu lalu. Salah satu agenda utamanya adalah menyuarakan Gerakan Indonesia Memilih.
“Melalui Rumah Kebangsaan,kami ingin menjadikan ini sebagai mediator, fasilitator, dan inkubator. Siapa pun boleh memasuki rumah ini, aktivis parpol, akademisi, profesional, maupun anak-anak muda lainnya. Rumah ini berguna untuk membangun wacana dan komitmen bersama mencari, melahirkan dan membina calon pemimpin bangsa,” kata Komaruddin Hidayat, salah satu pendiri Rumah Kebangsaan, kepada Seputar-Indonesia (SINDO), Jumat 2 November 2012.
Menurut pria yang juga menjabat rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, kondisi sekarang menunjukkan, sebagian pemimpin sibuk membesarkan diri masing-masing .
“Pemerintah berada di bawah kendali parpol, sementara parpol sendiri apakah mampu menerima amanah kebangsaan. Yang kita tahu, saat ini parpol terasa kedodoran alias krisis negarawan. Bahkan, aktivis parpol sekarang banyak yang tersandera dalam problematika korupsi.Mereka dilanda kegalauan,” jelas Komaruddin.
Proses demokrasi yang belum berjalan sesuai relnya saat ini harus diluruskan dengan mengupayakan kelahiran sosok-sosok negarawan dan menciptakan ruang bagi penyemaian dan pembibitan kader-kader politik yang berjiwa kebangsaan.
Sesungguhnya potensi kemunculan pemimpin-pemimpin yang berkualitas masih banyak. Hanya, selama ini belum terjadi proses inkubasi, pembibitan, dan penyemaian kader politik bangsa. Sebaliknya,yang ada parpol dan pemerintah sibuk sendiri dengan konflik internal yang tidak efisien dan tidak produktif.
“Inisiatif kemunculan GIM bukanlah didasarkan pada aksi pembangkangan sosial karena ketidakpercayaan kami kepada parpol dan pemerintah. Kami bukan ingin menjadi musuh maupun kompetitor parpol dan pemerintah. Kami ini mitra keduanya, yang pada satu sisi ingin menjadi mediator mereka dan sisi yang lain juga ingin mendorong masyarakat supaya tidak golput,” jelas Komaruddin.
Memang agenda utama GIM, lanjut Komaruddin, saat ini adalah mencari pemimpin. Saat ini parpol tengah defisit pemimpin, tetapi keberadaannya malah menutup diri. Ironisnya, yang muncul di tengah-tengah mereka malah dari kalangan pengusaha dan aktivis saja, sementara sedikit sekali yang berlatar belakang profesional, akademisi, apalagi negarawan.
Sementara itu, pengamat politik Gun Gun Heryanto mengatakan kemunculan gerakan-gerakan civil society seperti halnya GIM bukanlah sebuah bentuk perlawanan terhadap pemerintah, ataupun menjadi ancaman bagi keberadaan parpol.
Gerakan-gerakan ini menjadi elemen positif di tengah transisi demokrasi yang sedang dijalankan. “Kemunculan gerakan civil society jika didekati dalam perspektif political litercy maka aksi ini menunjukkan tingkatkesadaranberpolitikmasyarakat sudah semakin maju. Dari ruang ini akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang bukan hasil desain, tapi dari kaca mata masyarakat secara luas,” kata Gun Gun.
Keberadaan gerakan-gerakan ini menjadi pengisi ceruk atau palung kosong, yang mestinya menjadi tanggung jawab parpol dalam melahirkan sosok-sosok pemimpin yang berkualitas. Ketua Dewan Pendiri Suluh Nusantara Ton Abdillah Haz mengatakan, kemunculan gerakan-gerakan civil society dalam bahasa yang agak kasar bisa dikatakan sebagai wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah ataupun elite parpol.
“Gerakan-gerakan ini menjadi penyeimbang dari kesewenang- wenangan parpol, misalnya dalam menentukan kebijakan maupun dalam merespons isu-isu yang tidak populis bagi masyarakat,” ujar Ton Abdillah.
Problem serius muncul dari ragam dan pola elite politik yang menjadikan korupsi sebagai “budaya” baru mereka. Bahkan, jual-beli pasal pun menjadi ajang mencari keuntungan pribadi yang sudah dikompromikan bersama-sama. Kondisi ini menjadi realitas yang tidak terbantahkan dalam pentas perpolitikan di Indonesia saat ini.
Bangsa ini tengah dilanda defisit kader politik yang punya nilai moral.Sekian banyak partai politik tidak mampu mencetak pemimpin-pemimpin yang berjiwa negarawan, berintelektual dan beridealisme tinggi.
Akibatnya, masyarakat menjadi apatis dan skeptis terhadap keberadaan parpol. Berdasar latar belakang ini, Rumah Kebangsaan dideklarasikan bersamaan dengan peringatan Sumpah Pemuda beberapa waktu lalu. Salah satu agenda utamanya adalah menyuarakan Gerakan Indonesia Memilih.
“Melalui Rumah Kebangsaan,kami ingin menjadikan ini sebagai mediator, fasilitator, dan inkubator. Siapa pun boleh memasuki rumah ini, aktivis parpol, akademisi, profesional, maupun anak-anak muda lainnya. Rumah ini berguna untuk membangun wacana dan komitmen bersama mencari, melahirkan dan membina calon pemimpin bangsa,” kata Komaruddin Hidayat, salah satu pendiri Rumah Kebangsaan, kepada Seputar-Indonesia (SINDO), Jumat 2 November 2012.
Menurut pria yang juga menjabat rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, kondisi sekarang menunjukkan, sebagian pemimpin sibuk membesarkan diri masing-masing .
“Pemerintah berada di bawah kendali parpol, sementara parpol sendiri apakah mampu menerima amanah kebangsaan. Yang kita tahu, saat ini parpol terasa kedodoran alias krisis negarawan. Bahkan, aktivis parpol sekarang banyak yang tersandera dalam problematika korupsi.Mereka dilanda kegalauan,” jelas Komaruddin.
Proses demokrasi yang belum berjalan sesuai relnya saat ini harus diluruskan dengan mengupayakan kelahiran sosok-sosok negarawan dan menciptakan ruang bagi penyemaian dan pembibitan kader-kader politik yang berjiwa kebangsaan.
Sesungguhnya potensi kemunculan pemimpin-pemimpin yang berkualitas masih banyak. Hanya, selama ini belum terjadi proses inkubasi, pembibitan, dan penyemaian kader politik bangsa. Sebaliknya,yang ada parpol dan pemerintah sibuk sendiri dengan konflik internal yang tidak efisien dan tidak produktif.
“Inisiatif kemunculan GIM bukanlah didasarkan pada aksi pembangkangan sosial karena ketidakpercayaan kami kepada parpol dan pemerintah. Kami bukan ingin menjadi musuh maupun kompetitor parpol dan pemerintah. Kami ini mitra keduanya, yang pada satu sisi ingin menjadi mediator mereka dan sisi yang lain juga ingin mendorong masyarakat supaya tidak golput,” jelas Komaruddin.
Memang agenda utama GIM, lanjut Komaruddin, saat ini adalah mencari pemimpin. Saat ini parpol tengah defisit pemimpin, tetapi keberadaannya malah menutup diri. Ironisnya, yang muncul di tengah-tengah mereka malah dari kalangan pengusaha dan aktivis saja, sementara sedikit sekali yang berlatar belakang profesional, akademisi, apalagi negarawan.
Sementara itu, pengamat politik Gun Gun Heryanto mengatakan kemunculan gerakan-gerakan civil society seperti halnya GIM bukanlah sebuah bentuk perlawanan terhadap pemerintah, ataupun menjadi ancaman bagi keberadaan parpol.
Gerakan-gerakan ini menjadi elemen positif di tengah transisi demokrasi yang sedang dijalankan. “Kemunculan gerakan civil society jika didekati dalam perspektif political litercy maka aksi ini menunjukkan tingkatkesadaranberpolitikmasyarakat sudah semakin maju. Dari ruang ini akan memunculkan pemimpin-pemimpin yang bukan hasil desain, tapi dari kaca mata masyarakat secara luas,” kata Gun Gun.
Keberadaan gerakan-gerakan ini menjadi pengisi ceruk atau palung kosong, yang mestinya menjadi tanggung jawab parpol dalam melahirkan sosok-sosok pemimpin yang berkualitas. Ketua Dewan Pendiri Suluh Nusantara Ton Abdillah Haz mengatakan, kemunculan gerakan-gerakan civil society dalam bahasa yang agak kasar bisa dikatakan sebagai wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah ataupun elite parpol.
“Gerakan-gerakan ini menjadi penyeimbang dari kesewenang- wenangan parpol, misalnya dalam menentukan kebijakan maupun dalam merespons isu-isu yang tidak populis bagi masyarakat,” ujar Ton Abdillah.
(kur)