Permendikbud anti kekerasan permudah pemberian sanksi
Jum'at, 05 Oktober 2012 - 03:06 WIB

Permendikbud anti kekerasan permudah pemberian sanksi
A
A
A
Sindonews.com - Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah menyusun Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) untuk mengantisipasi kekerasan di sekolah.
Dalam peraturan ini, tidak hanya pelaku kekerasan di sekolah yang akan dijatuhi sanksi, guru dan kepala sekolah juga tak luput dari sanksi tersebut.
Mendikbud Mohammad Nuh menegaskan adanya peraturan menteri tentang kekerasan akan mempermudah pemberian sanksi kepada pelaku.
Permendikbud yang sedang disusun ini akan menyentuh semua lini baik dari siswa itu sendiri, institusi sekolah dan jajaran guru termasuk kepala sekolah dan dinas pendidikan.
Jika banyak yang mempertanyakan mengapa saat ini sekolah seakan steril dari sanksi maka kedepannya sekolah juga akan terkena sanksi. Karena sekolah itu termasuk institusi terbuka dan bukan isolatif tetapi entitas yang berada di tengah masyarakat yang berlaku dinamis.
Dengan Permendikbud ini, menjadi kepanjangan tangan kementerian kepada dinas untuk mempertanyakan sanksi mutasi kepada kepala sekolah yang sekolahnya terlibat tawuran.
Pasalnya, bukan kementerian yang berwenang dalam hal tersebut namun masih otonomi daerah.
“Namun kami bisa memanfaatkan check and balance ke dinas. Misalkan mempertanyakan mengapa di sekolah X kepseknya masih bercokol di situ,” katanya saat Silaturahmi Mendikbud dengan Mahasiswa Penerima Bidik Misi UGM, Kamis (4/10/2012).
Permendikbud tersebut juga dapat menjadi standar pemberian sanksi pidana oleh pihak kepolisian. Namun langkah kepolisian juga dibatasi tidak boleh sembarangan meminta anak tersebut keluar dari sekolah dengan alasan untuk pemeriksaan.
"Sekolah juga tidak boleh mengeluarkan siswa semena-mena," tegasnya.
Sementara untuk dinas memang kementerian tidak dapat melakukan itu namun permendikbud tersebut akan menyasar sanksi akreditasi dinas pendidikan di masing-masing daerah.
Mantan Rektor ITS ini menyebutkan, yang terpenting dari adanya sanksi itu adalah adanya pihak yang bertanggung jawab akan kekerasan yang terjadi di dunia sekolah terutama dua tawuran yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Arief Rachman berpendapat, secepatnya harus ada identifikasi siswa atau anak bermasalah di setiap sekolah agar mereka segera dididik di bawah disiplin yang ketat.
“Jangan sampai kita kecolongan. Di sekolah selalu ada anak-anak yang tidak bisa taat aturan kita harus bimbing dengan baik," katanya.
Dia juga setuju jika ada siswa yang dimasukkan penjara kalau terbukti bersalah. Namun, di pihak lain, sekolah tetap wajib melakukan pembinaan dengan memberi kesempatan anak tersebut tetap menempuh pendidikan.
Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO itu mengusulkan Kemendikbud menambah standar pendidikan nasional dari delapan menjadi sembilan.
Tambahannya itu berupa standar tentang peraturan yang dapat mengikat kepala dinas, kepala sekolah maupun guru untuk mampu menegakkan aturan disekolah.
Dia juga menilai yang paling bertanggung jawab akan tawuran ialah kepala sekolah dan guru yang tidak mampu mendisiplinkan aturan di sekolah.
Oleh karena itu, Kemendikbud harus tegas memberikan sanksi penurunan akreditasi bagi sekolah yang tidak menegakkan disiplin.
Arief menuturkan, siswa di sekolah negeri maupun swasta jangan terlalu dijejali ilmu pengetahauan yang melatih aspek kognitif, namun mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik.
"Kita akan mewarisi sesuatu yang selalu kita ukur. Kalau kita hanya mengukur otak saja, maka otak saja yang oke. Perasaan dan hati tidak," tandas pria berkacamata ini.
Dalam peraturan ini, tidak hanya pelaku kekerasan di sekolah yang akan dijatuhi sanksi, guru dan kepala sekolah juga tak luput dari sanksi tersebut.
Mendikbud Mohammad Nuh menegaskan adanya peraturan menteri tentang kekerasan akan mempermudah pemberian sanksi kepada pelaku.
Permendikbud yang sedang disusun ini akan menyentuh semua lini baik dari siswa itu sendiri, institusi sekolah dan jajaran guru termasuk kepala sekolah dan dinas pendidikan.
Jika banyak yang mempertanyakan mengapa saat ini sekolah seakan steril dari sanksi maka kedepannya sekolah juga akan terkena sanksi. Karena sekolah itu termasuk institusi terbuka dan bukan isolatif tetapi entitas yang berada di tengah masyarakat yang berlaku dinamis.
Dengan Permendikbud ini, menjadi kepanjangan tangan kementerian kepada dinas untuk mempertanyakan sanksi mutasi kepada kepala sekolah yang sekolahnya terlibat tawuran.
Pasalnya, bukan kementerian yang berwenang dalam hal tersebut namun masih otonomi daerah.
“Namun kami bisa memanfaatkan check and balance ke dinas. Misalkan mempertanyakan mengapa di sekolah X kepseknya masih bercokol di situ,” katanya saat Silaturahmi Mendikbud dengan Mahasiswa Penerima Bidik Misi UGM, Kamis (4/10/2012).
Permendikbud tersebut juga dapat menjadi standar pemberian sanksi pidana oleh pihak kepolisian. Namun langkah kepolisian juga dibatasi tidak boleh sembarangan meminta anak tersebut keluar dari sekolah dengan alasan untuk pemeriksaan.
"Sekolah juga tidak boleh mengeluarkan siswa semena-mena," tegasnya.
Sementara untuk dinas memang kementerian tidak dapat melakukan itu namun permendikbud tersebut akan menyasar sanksi akreditasi dinas pendidikan di masing-masing daerah.
Mantan Rektor ITS ini menyebutkan, yang terpenting dari adanya sanksi itu adalah adanya pihak yang bertanggung jawab akan kekerasan yang terjadi di dunia sekolah terutama dua tawuran yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Arief Rachman berpendapat, secepatnya harus ada identifikasi siswa atau anak bermasalah di setiap sekolah agar mereka segera dididik di bawah disiplin yang ketat.
“Jangan sampai kita kecolongan. Di sekolah selalu ada anak-anak yang tidak bisa taat aturan kita harus bimbing dengan baik," katanya.
Dia juga setuju jika ada siswa yang dimasukkan penjara kalau terbukti bersalah. Namun, di pihak lain, sekolah tetap wajib melakukan pembinaan dengan memberi kesempatan anak tersebut tetap menempuh pendidikan.
Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO itu mengusulkan Kemendikbud menambah standar pendidikan nasional dari delapan menjadi sembilan.
Tambahannya itu berupa standar tentang peraturan yang dapat mengikat kepala dinas, kepala sekolah maupun guru untuk mampu menegakkan aturan disekolah.
Dia juga menilai yang paling bertanggung jawab akan tawuran ialah kepala sekolah dan guru yang tidak mampu mendisiplinkan aturan di sekolah.
Oleh karena itu, Kemendikbud harus tegas memberikan sanksi penurunan akreditasi bagi sekolah yang tidak menegakkan disiplin.
Arief menuturkan, siswa di sekolah negeri maupun swasta jangan terlalu dijejali ilmu pengetahauan yang melatih aspek kognitif, namun mengabaikan aspek afektif dan psikomotorik.
"Kita akan mewarisi sesuatu yang selalu kita ukur. Kalau kita hanya mengukur otak saja, maka otak saja yang oke. Perasaan dan hati tidak," tandas pria berkacamata ini.
(ysw)