Pemberian remisi beraroma korupsi
A
A
A
Sindonews.com - Gerakan Indonesia Bersih (GIB) menenggarai sejak awal proses pengajuan dan persetujuan pemberian remisi atau pengurangan masa hukuman para koruptor, sarat akan praktik dugaan korupsi.
Koordinator GIB Adhie M Massardi mengatakan, remisi merupakan hak bagi setiap narapidana (napi). Namun dia menilai, sesuai dengan Undang-Undang (UU) pemerintah memiliki hak untuk menentukan siapa saja yang layak diberikan remisi.
“Tapi karena korupsi merupakan kejahatan extra ordinary selain terrorisme dan narkoba, selayaknya tidak memperoleh remisi sampai batas waktu tertentu,” kata Adhie saat dihubungi, di Jakarta Selasa (21/8/12).
Menurutnya, dibalik pemberian remisi terhadap para napi memang memiliki kecenderungan terjadinya perilaku korup oknum lembaga pemasyarakatan. Dalam pandangannya, secara mekanisme pengajuan remisi semua berawal dari lapas dengan persetujuan/rekomendasi dari Kepala lapas.
Dia menduga, sejak awal proses pengajuannya bisa saja napi yang ingin mendapatkan pengurangan masa tahanan memberikan sejumlah uang. Atau sebaliknya petugas lapas yang mencari napi yang ingin mendapatkan remisi dan meminta tebusan.
“Jadi saya yakin, 99 persen remisi bagi koruptor ada biayanya, ada korupsinya, Kalau sudah begini upaya apapun untuk membatasi remisi bagi koruptor sia-sia. Sebab rezim yang menjaga lapas sendiri sudah terbelit korupsi,” tandasnya.
Dia menuturkan, sebelumnya dirinya tidak menyetujui adanya upaya pemerintah melalui Kemenkum HAM yang sering disuarakan Wamenkum HAM Denny Indrayana, untuk memperkatat remisi. Karena kata dia, dibalik itu semua ada kehendak satu pintu dari pemerintah yang menentukkan remisi.
Dia mencontohkan, pemberian remisi terpidana korupsi Mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Syaukani Hassan Rais bisa saja terjadi permainan anatara terpidana dan oknum di dalam lapas.
“Ini mememiliki kecenderungan korupsi dibalik pemberian remisi,” pungkasnya
Koordinator GIB Adhie M Massardi mengatakan, remisi merupakan hak bagi setiap narapidana (napi). Namun dia menilai, sesuai dengan Undang-Undang (UU) pemerintah memiliki hak untuk menentukan siapa saja yang layak diberikan remisi.
“Tapi karena korupsi merupakan kejahatan extra ordinary selain terrorisme dan narkoba, selayaknya tidak memperoleh remisi sampai batas waktu tertentu,” kata Adhie saat dihubungi, di Jakarta Selasa (21/8/12).
Menurutnya, dibalik pemberian remisi terhadap para napi memang memiliki kecenderungan terjadinya perilaku korup oknum lembaga pemasyarakatan. Dalam pandangannya, secara mekanisme pengajuan remisi semua berawal dari lapas dengan persetujuan/rekomendasi dari Kepala lapas.
Dia menduga, sejak awal proses pengajuannya bisa saja napi yang ingin mendapatkan pengurangan masa tahanan memberikan sejumlah uang. Atau sebaliknya petugas lapas yang mencari napi yang ingin mendapatkan remisi dan meminta tebusan.
“Jadi saya yakin, 99 persen remisi bagi koruptor ada biayanya, ada korupsinya, Kalau sudah begini upaya apapun untuk membatasi remisi bagi koruptor sia-sia. Sebab rezim yang menjaga lapas sendiri sudah terbelit korupsi,” tandasnya.
Dia menuturkan, sebelumnya dirinya tidak menyetujui adanya upaya pemerintah melalui Kemenkum HAM yang sering disuarakan Wamenkum HAM Denny Indrayana, untuk memperkatat remisi. Karena kata dia, dibalik itu semua ada kehendak satu pintu dari pemerintah yang menentukkan remisi.
Dia mencontohkan, pemberian remisi terpidana korupsi Mantan Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Syaukani Hassan Rais bisa saja terjadi permainan anatara terpidana dan oknum di dalam lapas.
“Ini mememiliki kecenderungan korupsi dibalik pemberian remisi,” pungkasnya
(mhd)