Tren pasar properti terus positif
A
A
A
Harga properti di sejumlah kota di dunia terus menguat sejak 2010. Pada kuartal II tahun ini nilai properti naik 1,4%. Meski di sejumlah negara, khususnya Eropa terkena krisis, indeks harga properti menunjukkan pertumbuhan positif secara kuartalan dalam 18 bulan terakhir.
Fakta itulah yang terungkap dari hasil riset lembaga konsultan properti dunia Knight Frank baru-baru ini. Sejak rendahnya indeks harga properti global–yang melacak 5% kinerja pasar properti–pada kuartal kedua 2009, kini secara triwulanan indeks rata-rata mencatat pertumbuhan 0,8%.
Beberapa poin penting dari laporan Knight Frank di antaranya, indeks naik 1,4% pada kuartal II/2012. Harga properti di 27 kota di dunia meningkat 3,5% dalam 12 bulan terakhir hingga Juni 2012.
Sementara di beberapa kota di Eropa, pertumbuhan harga tercatat 1,3% tahun ini hingga Juni2012. Padahal, pada Maret 2012, harga properti di Benua Biru masih mencatatkan minus 3,4%. Bangkok menjadi kota di Asia yang menunjukkan peningkatan harga paling tinggi dalam 12 bulan terakhir yang mencapai 28,8%. Disusul Jakarta yang mencatatkan kenaikan 28,5%. Indeks pasar properti Asia sempat mengambang hingga kuartal I/2012.
Hal ini disebabkan kondisi masyarakat Benua Kuning yang menunggu dampak krisis Eropa. Mereka menunda kepemilikan rumah kedua. Akibatnya, terjadi penurunan 0,4% pada kuartal I/2012. “Kami sempat tidak melihat pertumbuhan berkelanjutan yang signifikan, mengingat masih banyak risiko yang dihadapi ekonomi global,” ujar Peneliti Residensial Internasional Knight Frank Kate Everett-Allen dalam laporan tersebut.
Tetapi,memasuki kuartal II, indeks harga properti di Asia dan Eropa perlahan pulih. Harga properti, khususnya kondominium di Asia rata-rata naik 3,4% hingga Juni 2012. Begitu juga di Eropa, harga properti mulai merangkak naik rata-rata naik 1,3% pada periode yang sama.
Kebangkitan harga properti di Asia pada kuartal II sebagian besar dikaitkan dengan kinerja yang kuat di sejumlah pasar berkembang, terutama Jakarta dan Bangkok. Sementara,Singapura dan Hong Kong yang selama ini menjadi patokan atau kekuatan “tradisional” kenaikan harga properti di Asia justru menunjukkan sebaliknya.
Pasar properti di kedua negara melemah. Di Eropa pertumbuhan harga properti mulai membaik, meski sejumlah negara masih berada di zona krisis. Lewat berbagai program dana talangan (bailout) yang dilakukan sejumlah pemerintah di Eropa, para investor dan konsumen mulai menunjukkan kepercayaannya pada pasar properti.
Tetapi, perilaku investor dan konsumen tidak lagi hanya berkonsentrasi pada kota-kota yang tingkat permintaan kualitas hidupnya tinggi, tetapi hasil penelitian terbaru menunjukkan mereka semakin mencari properti di kota-kota yang terlindung dari bencana utang Uni Eropa.
London, Jenewa, dan Zurich masih menjadi pilihan. Harga properti di ketiga kota itu masih menunjukkan tren positif. Hal ini terlihat dari hasil penelitian hingga kuartal kedua di mana ketiga kota tersebut mencatat pertumbuhan harga tahunan masing-masing sebesar 10,5%,6,0%,dan 5,9%.
Menurut James Price,salah satu peneliti tim Pengembangan Residensial Internasional Knight Frank, kinerja positif dari beberapa kota di Eropa dan Amerika Serikat (AS) menunjukkan adanya peningkatan kepercayaan pasar.
Hal ini mendefinisikan karakteristik dari pembeli internasional dan investor.“ Daya tarik sebuah kota yang ekonominya stabil membawa kota itu masuk dalam daftar investasi. Hal ini membuat pasar menjadi semakin luas,”ujar Price.
Sementara, Direktur Riset Asia Pasifik Knight Frank Nicholas Holt dalam laporan serupa sebelumnya (Juni 2012) menyebutkan, intervensi pemerintah di pasar properti Asia terbukti efektif.
Tetapi, pembatasan kredit, pajak tambahan dan perlindungan dari “hot money” asing,menyebabkan penurunan harga secara kuartalan di Malaysia, Taiwan dan Singapura. Begitu juga di China yang disebut-sebut sebagai pasar perumahan terbesar di dunia juga terus menunjukkan tren harga yang menurun.
Dalam laporan yang bertajuk Asia Pacific Residential Review itu, Holt juga secara tegas mengatakan bahwa India adalah negara yang gagap dalam menghadapi kondisi perekonomian. Terbukti, dalam tiga bulan terakhir, harga properti di negara itu berubah negatif.
“Berbeda dengan Indonesia yang terus menunjukkan tren kenaikan harga karena didukung meningkatnya pendapatan masyarakat, khususnya perkotaan. Hal ini mencerminkan masyarakat yang menginginkan akomodasi berkualitas,” ujar Holt.
Menurut Holt, Indonesia menjadi “pemain bintang” di pasar properti Asia Tenggara. Hal ini disebabkan pertumbuhan harga yang konsisten di semua segmen pasar, naik 3,6% per tahun dan 0,8% secara triwulanan.
Kondisi ini tak lepas dari daya beli masyarakat akibat pertumbuhan ekonomi yang stabil, pengelolaan inflasi yang baik, dan munculnya kelas menengah yang ingin membeli properti.
Hal yang hampir serupa juga terjadi di pasar perumahan Selandia Baru dan Korea Selatan. Di mana apresiasi harga properti cukup solid secara kuartalan. Sebaliknya,pasar properti di Australia justru melemah.
Terbukti, harga jatuh berturut-turut secara triwulanan. Kinerja ekonomi masing-masing negara sangat terkait erat dengan arus perdagangan global. Di samping itu, krisis yang sedang berlangsung di Eropa, dinilai bisa berdampak pada ekonomi domestik dan pasar perumahan masing-masing negara.
Sentimen pasar di Asia-Pasifik umumnya lebih berhati-hati pada akhir 2011 dan kondisi tersebut diprediksi berlanjut hingga tahun ini.
Fakta itulah yang terungkap dari hasil riset lembaga konsultan properti dunia Knight Frank baru-baru ini. Sejak rendahnya indeks harga properti global–yang melacak 5% kinerja pasar properti–pada kuartal kedua 2009, kini secara triwulanan indeks rata-rata mencatat pertumbuhan 0,8%.
Beberapa poin penting dari laporan Knight Frank di antaranya, indeks naik 1,4% pada kuartal II/2012. Harga properti di 27 kota di dunia meningkat 3,5% dalam 12 bulan terakhir hingga Juni 2012.
Sementara di beberapa kota di Eropa, pertumbuhan harga tercatat 1,3% tahun ini hingga Juni2012. Padahal, pada Maret 2012, harga properti di Benua Biru masih mencatatkan minus 3,4%. Bangkok menjadi kota di Asia yang menunjukkan peningkatan harga paling tinggi dalam 12 bulan terakhir yang mencapai 28,8%. Disusul Jakarta yang mencatatkan kenaikan 28,5%. Indeks pasar properti Asia sempat mengambang hingga kuartal I/2012.
Hal ini disebabkan kondisi masyarakat Benua Kuning yang menunggu dampak krisis Eropa. Mereka menunda kepemilikan rumah kedua. Akibatnya, terjadi penurunan 0,4% pada kuartal I/2012. “Kami sempat tidak melihat pertumbuhan berkelanjutan yang signifikan, mengingat masih banyak risiko yang dihadapi ekonomi global,” ujar Peneliti Residensial Internasional Knight Frank Kate Everett-Allen dalam laporan tersebut.
Tetapi,memasuki kuartal II, indeks harga properti di Asia dan Eropa perlahan pulih. Harga properti, khususnya kondominium di Asia rata-rata naik 3,4% hingga Juni 2012. Begitu juga di Eropa, harga properti mulai merangkak naik rata-rata naik 1,3% pada periode yang sama.
Kebangkitan harga properti di Asia pada kuartal II sebagian besar dikaitkan dengan kinerja yang kuat di sejumlah pasar berkembang, terutama Jakarta dan Bangkok. Sementara,Singapura dan Hong Kong yang selama ini menjadi patokan atau kekuatan “tradisional” kenaikan harga properti di Asia justru menunjukkan sebaliknya.
Pasar properti di kedua negara melemah. Di Eropa pertumbuhan harga properti mulai membaik, meski sejumlah negara masih berada di zona krisis. Lewat berbagai program dana talangan (bailout) yang dilakukan sejumlah pemerintah di Eropa, para investor dan konsumen mulai menunjukkan kepercayaannya pada pasar properti.
Tetapi, perilaku investor dan konsumen tidak lagi hanya berkonsentrasi pada kota-kota yang tingkat permintaan kualitas hidupnya tinggi, tetapi hasil penelitian terbaru menunjukkan mereka semakin mencari properti di kota-kota yang terlindung dari bencana utang Uni Eropa.
London, Jenewa, dan Zurich masih menjadi pilihan. Harga properti di ketiga kota itu masih menunjukkan tren positif. Hal ini terlihat dari hasil penelitian hingga kuartal kedua di mana ketiga kota tersebut mencatat pertumbuhan harga tahunan masing-masing sebesar 10,5%,6,0%,dan 5,9%.
Menurut James Price,salah satu peneliti tim Pengembangan Residensial Internasional Knight Frank, kinerja positif dari beberapa kota di Eropa dan Amerika Serikat (AS) menunjukkan adanya peningkatan kepercayaan pasar.
Hal ini mendefinisikan karakteristik dari pembeli internasional dan investor.“ Daya tarik sebuah kota yang ekonominya stabil membawa kota itu masuk dalam daftar investasi. Hal ini membuat pasar menjadi semakin luas,”ujar Price.
Sementara, Direktur Riset Asia Pasifik Knight Frank Nicholas Holt dalam laporan serupa sebelumnya (Juni 2012) menyebutkan, intervensi pemerintah di pasar properti Asia terbukti efektif.
Tetapi, pembatasan kredit, pajak tambahan dan perlindungan dari “hot money” asing,menyebabkan penurunan harga secara kuartalan di Malaysia, Taiwan dan Singapura. Begitu juga di China yang disebut-sebut sebagai pasar perumahan terbesar di dunia juga terus menunjukkan tren harga yang menurun.
Dalam laporan yang bertajuk Asia Pacific Residential Review itu, Holt juga secara tegas mengatakan bahwa India adalah negara yang gagap dalam menghadapi kondisi perekonomian. Terbukti, dalam tiga bulan terakhir, harga properti di negara itu berubah negatif.
“Berbeda dengan Indonesia yang terus menunjukkan tren kenaikan harga karena didukung meningkatnya pendapatan masyarakat, khususnya perkotaan. Hal ini mencerminkan masyarakat yang menginginkan akomodasi berkualitas,” ujar Holt.
Menurut Holt, Indonesia menjadi “pemain bintang” di pasar properti Asia Tenggara. Hal ini disebabkan pertumbuhan harga yang konsisten di semua segmen pasar, naik 3,6% per tahun dan 0,8% secara triwulanan.
Kondisi ini tak lepas dari daya beli masyarakat akibat pertumbuhan ekonomi yang stabil, pengelolaan inflasi yang baik, dan munculnya kelas menengah yang ingin membeli properti.
Hal yang hampir serupa juga terjadi di pasar perumahan Selandia Baru dan Korea Selatan. Di mana apresiasi harga properti cukup solid secara kuartalan. Sebaliknya,pasar properti di Australia justru melemah.
Terbukti, harga jatuh berturut-turut secara triwulanan. Kinerja ekonomi masing-masing negara sangat terkait erat dengan arus perdagangan global. Di samping itu, krisis yang sedang berlangsung di Eropa, dinilai bisa berdampak pada ekonomi domestik dan pasar perumahan masing-masing negara.
Sentimen pasar di Asia-Pasifik umumnya lebih berhati-hati pada akhir 2011 dan kondisi tersebut diprediksi berlanjut hingga tahun ini.
(kur)