Mencermati perilaku rumah tangga
A
A
A
Kemampuan perekonomian Indonesia yang semakin baik saat ini didukung meningkatnya kinerja ekonomi domestik, khususnya konsumsi. Hal ini tidak terlepas dari kekuatan ekonomi rumah tangga di Indonesia yang semakin meningkat.
Perekonomian Indonesia mendapat dukungan besarnya potensi pasar domestik yang di antaranya bersumber dari peningkatan daya beli, meningkatnya jumlah kelas menengah, dominannya penduduk usia produktif, dan meningkatnya porsi pekerja di sektor formal.
Kondisi tersebut seraya mencerminkan kondisi keuangan rumah tangga, terkait kebutuhan pembiayaan dan perilaku konsumsi.
Hal ini sangat terkait dengan fenomena meningkatnya kelas menengah yang menjadi sebuah peluang sekaligus tantangan dalam penguatan pasar domestik. Karena itu, keberadaan lembaga keuangan tidak bisa dilepaskan dari perilaku rumah tangga di Indonesia.
Direktur Pengaturan dan Penelitian Bank Indonesia (BI) Mulya Siregar mengatakan, kesehatan keuangan rumah tangga sangat berpengaruh pada kondisi lembaga keuangan, khususnya perbankan. Profil rumah tangga juga bisa menjadi sarana untuk mengukur sektor perbankan.
“Dalam keadaan surplus, rumah tangga akan mengalokasikan kelebihan dana yang dimiliki yang dihasilkan dari pendapatan, upah, dan sumber lain,” ujar Mulya dalam Seminar Potensi Keuangan Rumah Tangga Indonesia yang digelar di Jakarta, pertengahan Juli lalu.
Sementara, dalam kondisi defisit rumah tangga akan mencari sumber pembiayaan untuk membiayai konsumsi dan investasi dengan melakukan pinjaman.
Karena itu, kesehatan sektor rumah tangga dapat memengaruhi kesehatan system perbankan dan sistem keuangan suatu negara. Di mana pengaruh sektor rumah tangga terhadap sistem keuangan tersebut dapat dilihat dari kualitas aset bank yang berupa kredit kepada rumah tangga. Berdasarkan survei BI, kekayaan yang dimiliki rumah tangga di Indonesia saat ini terus meningkat.
Hal ini terlihat dari peningkatan utang yang jauh lebih kecil dibanding peningkatan aset. Peningkatan utang hanya sebesar 4,22%, sedangkan peningkatan aset sebesar 14,03%. Sehingga dapat disimpulkan, peningkatan kekayaan (net worth) rumah tangga sebagian besar dibiayai kemampuan mereka sendiri yang berasal dari laba yang didapatkan, bukan dari utang.
Komposisi aset terbesar yang dimiliki rumah tangga adalah aset tetap (86,79%). Sedangkan, komposisi utang terbesar adalah utang jangka panjang (82,87%). Utang jangka panjang ini digunakan untuk membiayai pembelian aset tetap seperti tanah dan bangunan (KPR), kendaraan (KKB), dan lainnya.
Sedangkan, pendapatan rumah tangga terbesar pada 2011 berasal dari aktivitas jasa (58,47%), diikuti perdagangan (20,80%) dan produksi (15,01%). Sementara, korelasi rumah tangga dan lembaga keuangan terlihat pada jumlah keluarga yang memiliki simpanan di bank.
Menurut Survei Neraca Rumah Tangga 2011 yang dikeluarkan BI, 51,89% rumah tangga belum mempunyai simpanan di lembaga keuangan. Hanya 42,23% rumah tangga yang mempercayakan dana mereka kepada lembaga keuangan (bank) dan mempercayakan kepada lembaga keuangan nonbank (LKNB) sebesar 6,28%. Sisanya sebesar 3,30% menyimpan dana mereka di nonlembaga keuangan (NLK).
Secara umum hanya ada tiga daerah yang lebih separuh rumah tangganya yang disurvei memiliki simpanan di lembaga keuangan yaitu Sulawesi Selatan (57,14%), Sumatera Selatan dan DKI Jakarta (54,33%). Sementara, peran LKNB dan NLK di beberapa provinsi cukup besar, contohnya di Jawa Tengah yang memiliki simpanan di LKNB cukup tinggi yaitu sebesar 16,17%.Di daerah ini simpanan di NLK juga tinggi yaitu sebesar 7,25%.
Selain dari simpanan, profil relasi antara rumah tangga dan lembaga keuangan terlihat dari kredit yang mereka dapatkan dari lembaga tersebut. Menurut survei BI, 45,10% rumah tangga Indonesia mempunyai pinjaman. Berbeda dengan tabungan, pada sisi pinjaman, rumah tangga lebih banyak memilih NLK dibanding bank dan LKNB. Sebesar 24,37% rumah tangga mempunyai pinjaman di NLK.
Sementara itu, pinjaman di bank dan LKNB masing-masing sebesar 19,58% dan 16,04%. Masyarakat yang melakukan peminjaman melalui NLK umumnya adalah masyarakat berpenghasilan rendah. Pegadaian menjadi nonlembaga keuangan yang paling favorit bagi masyarakat jika membutuhkan dana segar. Maklum,jaringan lembaga yang memiliki moto “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah” ini sudah masuk hingga tingkat kecamatan.
Adapun, masyarakat berpenghasilan sedang dan tinggi lebih banyak melakukan pinjaman kepada bank. Masyarakat berpenghasilan tinggi umumnya lebih banyak melakukan pinjaman dibanding masyarakat yang memiliki pendapatan rendah. Survei BI menyebutkan, dari segi tujuan, sebagian besar pinjaman dilakukan untuk modal usaha yaitu sebesar 29,51%.
Jumlah ini mengalami peningkatan dibanding survei 2010 yang sebesar 23,17%.Sedangkan, pinjaman untuk tujuan konsumsi sebesar 19,95% lebih kecil dibanding tahun 2010 yang sebesar 23,07. Penggunaan kredit untuk tujuan konsumsi tersebut di luar dari utang pembelian kendaraan serta pembelian dan renovasi rumah.
Perekonomian Indonesia mendapat dukungan besarnya potensi pasar domestik yang di antaranya bersumber dari peningkatan daya beli, meningkatnya jumlah kelas menengah, dominannya penduduk usia produktif, dan meningkatnya porsi pekerja di sektor formal.
Kondisi tersebut seraya mencerminkan kondisi keuangan rumah tangga, terkait kebutuhan pembiayaan dan perilaku konsumsi.
Hal ini sangat terkait dengan fenomena meningkatnya kelas menengah yang menjadi sebuah peluang sekaligus tantangan dalam penguatan pasar domestik. Karena itu, keberadaan lembaga keuangan tidak bisa dilepaskan dari perilaku rumah tangga di Indonesia.
Direktur Pengaturan dan Penelitian Bank Indonesia (BI) Mulya Siregar mengatakan, kesehatan keuangan rumah tangga sangat berpengaruh pada kondisi lembaga keuangan, khususnya perbankan. Profil rumah tangga juga bisa menjadi sarana untuk mengukur sektor perbankan.
“Dalam keadaan surplus, rumah tangga akan mengalokasikan kelebihan dana yang dimiliki yang dihasilkan dari pendapatan, upah, dan sumber lain,” ujar Mulya dalam Seminar Potensi Keuangan Rumah Tangga Indonesia yang digelar di Jakarta, pertengahan Juli lalu.
Sementara, dalam kondisi defisit rumah tangga akan mencari sumber pembiayaan untuk membiayai konsumsi dan investasi dengan melakukan pinjaman.
Karena itu, kesehatan sektor rumah tangga dapat memengaruhi kesehatan system perbankan dan sistem keuangan suatu negara. Di mana pengaruh sektor rumah tangga terhadap sistem keuangan tersebut dapat dilihat dari kualitas aset bank yang berupa kredit kepada rumah tangga. Berdasarkan survei BI, kekayaan yang dimiliki rumah tangga di Indonesia saat ini terus meningkat.
Hal ini terlihat dari peningkatan utang yang jauh lebih kecil dibanding peningkatan aset. Peningkatan utang hanya sebesar 4,22%, sedangkan peningkatan aset sebesar 14,03%. Sehingga dapat disimpulkan, peningkatan kekayaan (net worth) rumah tangga sebagian besar dibiayai kemampuan mereka sendiri yang berasal dari laba yang didapatkan, bukan dari utang.
Komposisi aset terbesar yang dimiliki rumah tangga adalah aset tetap (86,79%). Sedangkan, komposisi utang terbesar adalah utang jangka panjang (82,87%). Utang jangka panjang ini digunakan untuk membiayai pembelian aset tetap seperti tanah dan bangunan (KPR), kendaraan (KKB), dan lainnya.
Sedangkan, pendapatan rumah tangga terbesar pada 2011 berasal dari aktivitas jasa (58,47%), diikuti perdagangan (20,80%) dan produksi (15,01%). Sementara, korelasi rumah tangga dan lembaga keuangan terlihat pada jumlah keluarga yang memiliki simpanan di bank.
Menurut Survei Neraca Rumah Tangga 2011 yang dikeluarkan BI, 51,89% rumah tangga belum mempunyai simpanan di lembaga keuangan. Hanya 42,23% rumah tangga yang mempercayakan dana mereka kepada lembaga keuangan (bank) dan mempercayakan kepada lembaga keuangan nonbank (LKNB) sebesar 6,28%. Sisanya sebesar 3,30% menyimpan dana mereka di nonlembaga keuangan (NLK).
Secara umum hanya ada tiga daerah yang lebih separuh rumah tangganya yang disurvei memiliki simpanan di lembaga keuangan yaitu Sulawesi Selatan (57,14%), Sumatera Selatan dan DKI Jakarta (54,33%). Sementara, peran LKNB dan NLK di beberapa provinsi cukup besar, contohnya di Jawa Tengah yang memiliki simpanan di LKNB cukup tinggi yaitu sebesar 16,17%.Di daerah ini simpanan di NLK juga tinggi yaitu sebesar 7,25%.
Selain dari simpanan, profil relasi antara rumah tangga dan lembaga keuangan terlihat dari kredit yang mereka dapatkan dari lembaga tersebut. Menurut survei BI, 45,10% rumah tangga Indonesia mempunyai pinjaman. Berbeda dengan tabungan, pada sisi pinjaman, rumah tangga lebih banyak memilih NLK dibanding bank dan LKNB. Sebesar 24,37% rumah tangga mempunyai pinjaman di NLK.
Sementara itu, pinjaman di bank dan LKNB masing-masing sebesar 19,58% dan 16,04%. Masyarakat yang melakukan peminjaman melalui NLK umumnya adalah masyarakat berpenghasilan rendah. Pegadaian menjadi nonlembaga keuangan yang paling favorit bagi masyarakat jika membutuhkan dana segar. Maklum,jaringan lembaga yang memiliki moto “Mengatasi Masalah Tanpa Masalah” ini sudah masuk hingga tingkat kecamatan.
Adapun, masyarakat berpenghasilan sedang dan tinggi lebih banyak melakukan pinjaman kepada bank. Masyarakat berpenghasilan tinggi umumnya lebih banyak melakukan pinjaman dibanding masyarakat yang memiliki pendapatan rendah. Survei BI menyebutkan, dari segi tujuan, sebagian besar pinjaman dilakukan untuk modal usaha yaitu sebesar 29,51%.
Jumlah ini mengalami peningkatan dibanding survei 2010 yang sebesar 23,17%.Sedangkan, pinjaman untuk tujuan konsumsi sebesar 19,95% lebih kecil dibanding tahun 2010 yang sebesar 23,07. Penggunaan kredit untuk tujuan konsumsi tersebut di luar dari utang pembelian kendaraan serta pembelian dan renovasi rumah.
(kur)