Hak ibu bekerja memberikan ASI wajib dipenuhi
A
A
A
Sindonews.com - Pentingnya pemberian Air Susu Ibu (ASI) bagi bayi di awal kehidupannya tak dapat dipungkiri lagi manfaatnya.
Sayangnya, kegiatan menyusui yang dianggap natural dan 'mudah' tersebut banyak mendapat tantangan yang membuat sebagian ibu tak mampu melewatinya. Salah satunya dihadapi oleh ibu menyusui yang bekerja di luar rumah.
Anjuran Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk memberikan ASI secara eksklusif (tanpa makanan pendamping) selama 6 bulan awal kehidupan bayi, dan dilanjutkan selama dua tahun, banyak menemui rintangan. Selain semakin maraknya iklan-iklan susu formula yang makin tak beretika, kegagalan pemberian ASI eksklusif juga disebabkan tak adanya dukungan dari pihak lain selain ibu.
Meski informasi mengenai pemberian ASI eksklusif terbilang melimpah ruah di berbagai media, namun masih banyak pihak yang tidak memberikan dukungannya. Salah satu faktor penghambat bagi ibu bekerja yang menyusui adalah tidak adanya dukungan dari tempat bekerja, seperti pemberian waktu khusus untuk memerah ASI dan ruang khusus yang layak untuk melakukan kegiatan tersebut.
"Masih banyak tempat bekerja yang mengabaikan hak ibu-ibu menyusui," ungkap Pakar Kesehatan Anak dan Laktasi, Dokter Utami Roesli dalam kesempatan sosialisasi PP No. 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, di Jakarta, kemarin.
Sebagai contoh faktanya, ibu-ibu bekerja yang menyusui harus berjibaku untuk mencari celah agar tetap dapat memerah ASI selama bekerja. Ada yang melakukannya di gudang, toilet, mushola, bahkan di kolong meja kerja dengan mencuri-curi waktu. Hal tersebut jelas telah mencederai hak ibu untuk memberikan ASI bagi bayinya.
Namun perjuangan ibu-ibu bekerja untuk tetap memberikan ASI secara eksklusif bahkan hingga dua tahun kini telah mendapat perlindungan negara secara hukum. Melalui PP No. 33/2012, sejumlah pasal memberikan perlindungan agar hak ibu dan anak tersebut tak terganggu.
Dalam PP tersebut, pengurus tempat kerja wajib mendukung program pemberian ASI eksklusif dengan menyiapkan fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI. Selain itu pengurus tempat kerja wajib memberikan kesempatan memerah selama waktu kerja dan membuat peraturan internasl tentang dukungan program ASI eksklusif.
"Kalau sudah ada kata wajib dan masih dilanggar atau tidak dipenuhi ada sanksi yang tegas," tambah dokter Utami.
Untuk itu, dokter Utami meminta semua pihak mendukung pemberian ASI eksklusif tersebut. Bahkan, dia pun mendesak pemerintah untuk membentuk badan khusus yang bersifat independen seperti layaknya KPK, untuk mengawasi pelaksanaan PP ini agar tak sekedar menjadi aturan yang tak bertaring. Dirinya menjelaskan, pembentukan PP ini dilalui melalui perjuangan panjang sehingga jangan sampai menjadi hal yang sia-sia belaka.
"Jangan sampai PP ini menjadi tidak bertaring. Makanya kita butuh lembaga independen seperti KPK ASI sebagai pengawasnya," tegasnya.
Hal tersebut memang bukan hal mudah, mengingat kesadaran tempat kerja bagi lembaga pemerintah maupun swasta untuk memfasilitasi hak ibu menyusui masih minim meski PP tersebut telah diresmikan. Kurangnya sosialisasi menjadi hambatan utama belum efektifnya PP tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Mia Sutanto menyarankan agar ibu bekerja ikut aktif mengkomunikasikan perihal peraturan tersebut kepada pihak pemberi kerja agar pemberi kerja dapat memenuhi kewajibannya terhadap ibu bekerja yang masih menyusui.
"Dari kita sendiri komunikasikan ke pihak manajemen misalnya tentang tempat khusus untuk menyusui atau memerah ASI, juga tentang waktu memerah ASI. Harus ada peraturan tertulisnya," tegas ibu dua anak ini.
Walau sekilas tampak mudah, namun Mia mengakui bahwa ketidakberdayaan pekerja di depan pemberi kerja bisa menjadi penghalang efektifnya pelaksanaan peraturan ini. Untuk itu, AIMI juga memfasilitasi secara hukum ibu bekerja untuk berkomunikasi dengan pemberi kerja.
"Kalau perlu kumpulkan karyawan wanita untuk mendukung hak ini. Bukan hanya yang hamil dan menyusui saja," tandasnya.
Menyusui bukan semata-mata memberikan makanan kepada bayi, namun juga sebagai pelambang cinta seorang ibu untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Bekerja bukan penghalang seorang ibu untuk terus memberikan ASI kepada bayinya, dan ASI bukan sekedar tugas seorang ibu namun perlu dukungan dari berbagai pihak.
Ibu bekerja yang menyusui tak berharap terlalu muluk kepada pemberi kerja agar haknya dipenuhi. Perlakukanlah mereka seperti manusia dengan menunaikan kewajibannya. Mudahkan?
Sayangnya, kegiatan menyusui yang dianggap natural dan 'mudah' tersebut banyak mendapat tantangan yang membuat sebagian ibu tak mampu melewatinya. Salah satunya dihadapi oleh ibu menyusui yang bekerja di luar rumah.
Anjuran Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk memberikan ASI secara eksklusif (tanpa makanan pendamping) selama 6 bulan awal kehidupan bayi, dan dilanjutkan selama dua tahun, banyak menemui rintangan. Selain semakin maraknya iklan-iklan susu formula yang makin tak beretika, kegagalan pemberian ASI eksklusif juga disebabkan tak adanya dukungan dari pihak lain selain ibu.
Meski informasi mengenai pemberian ASI eksklusif terbilang melimpah ruah di berbagai media, namun masih banyak pihak yang tidak memberikan dukungannya. Salah satu faktor penghambat bagi ibu bekerja yang menyusui adalah tidak adanya dukungan dari tempat bekerja, seperti pemberian waktu khusus untuk memerah ASI dan ruang khusus yang layak untuk melakukan kegiatan tersebut.
"Masih banyak tempat bekerja yang mengabaikan hak ibu-ibu menyusui," ungkap Pakar Kesehatan Anak dan Laktasi, Dokter Utami Roesli dalam kesempatan sosialisasi PP No. 33/2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif, di Jakarta, kemarin.
Sebagai contoh faktanya, ibu-ibu bekerja yang menyusui harus berjibaku untuk mencari celah agar tetap dapat memerah ASI selama bekerja. Ada yang melakukannya di gudang, toilet, mushola, bahkan di kolong meja kerja dengan mencuri-curi waktu. Hal tersebut jelas telah mencederai hak ibu untuk memberikan ASI bagi bayinya.
Namun perjuangan ibu-ibu bekerja untuk tetap memberikan ASI secara eksklusif bahkan hingga dua tahun kini telah mendapat perlindungan negara secara hukum. Melalui PP No. 33/2012, sejumlah pasal memberikan perlindungan agar hak ibu dan anak tersebut tak terganggu.
Dalam PP tersebut, pengurus tempat kerja wajib mendukung program pemberian ASI eksklusif dengan menyiapkan fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI. Selain itu pengurus tempat kerja wajib memberikan kesempatan memerah selama waktu kerja dan membuat peraturan internasl tentang dukungan program ASI eksklusif.
"Kalau sudah ada kata wajib dan masih dilanggar atau tidak dipenuhi ada sanksi yang tegas," tambah dokter Utami.
Untuk itu, dokter Utami meminta semua pihak mendukung pemberian ASI eksklusif tersebut. Bahkan, dia pun mendesak pemerintah untuk membentuk badan khusus yang bersifat independen seperti layaknya KPK, untuk mengawasi pelaksanaan PP ini agar tak sekedar menjadi aturan yang tak bertaring. Dirinya menjelaskan, pembentukan PP ini dilalui melalui perjuangan panjang sehingga jangan sampai menjadi hal yang sia-sia belaka.
"Jangan sampai PP ini menjadi tidak bertaring. Makanya kita butuh lembaga independen seperti KPK ASI sebagai pengawasnya," tegasnya.
Hal tersebut memang bukan hal mudah, mengingat kesadaran tempat kerja bagi lembaga pemerintah maupun swasta untuk memfasilitasi hak ibu menyusui masih minim meski PP tersebut telah diresmikan. Kurangnya sosialisasi menjadi hambatan utama belum efektifnya PP tersebut.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI) Mia Sutanto menyarankan agar ibu bekerja ikut aktif mengkomunikasikan perihal peraturan tersebut kepada pihak pemberi kerja agar pemberi kerja dapat memenuhi kewajibannya terhadap ibu bekerja yang masih menyusui.
"Dari kita sendiri komunikasikan ke pihak manajemen misalnya tentang tempat khusus untuk menyusui atau memerah ASI, juga tentang waktu memerah ASI. Harus ada peraturan tertulisnya," tegas ibu dua anak ini.
Walau sekilas tampak mudah, namun Mia mengakui bahwa ketidakberdayaan pekerja di depan pemberi kerja bisa menjadi penghalang efektifnya pelaksanaan peraturan ini. Untuk itu, AIMI juga memfasilitasi secara hukum ibu bekerja untuk berkomunikasi dengan pemberi kerja.
"Kalau perlu kumpulkan karyawan wanita untuk mendukung hak ini. Bukan hanya yang hamil dan menyusui saja," tandasnya.
Menyusui bukan semata-mata memberikan makanan kepada bayi, namun juga sebagai pelambang cinta seorang ibu untuk menghasilkan generasi penerus bangsa yang berkualitas. Bekerja bukan penghalang seorang ibu untuk terus memberikan ASI kepada bayinya, dan ASI bukan sekedar tugas seorang ibu namun perlu dukungan dari berbagai pihak.
Ibu bekerja yang menyusui tak berharap terlalu muluk kepada pemberi kerja agar haknya dipenuhi. Perlakukanlah mereka seperti manusia dengan menunaikan kewajibannya. Mudahkan?
(lil)