Gaya belanja yang naik kelas
A
A
A
Meningkatnya pertumbuhan kelas menengah di Indonesia karena makin membaiknya perekonomian membawa dampak perubahan terhadap pola belanja masyarakat. Saat ini sudah jarang masyarakat yang berbelanja ke pasar tradisional.
Mereka lebih memilih pusat belanja modern seperti, minimarket, supermarket, hingga mal. Berdasarkan survei Nielsen, ada sekitar 29 juta warga kelas menengah premium di Indonesia yang tumbuh karena pendapatan per kapita mereka mencapai angka hingga USD3.000 per tahun. Masyarakat kelas menengah ini memiliki gaya tersendiri dalam berbelanja.
Dalam memilih tempat belanja, rumah tangga kelas menengah lebih banyak menghabiskan uangnya untuk kebutuhan sehari-hari di minimarket maupun supermarket daripada ke pasar-pasar tradisional. Menurut Direktur Eksekutif Konsumer Riset Nielsen Indonesia Yudi Suryanata, beralihnya pola belanja rumah tangga kelas menegah dibuktikan dengan meningkatnya angka pertumbuhan minimarket dan supermarket.
“Kini kita menjumpai minimarket dengan nama berbeda yang ada dalam satu lingkup lokasi yang sama. Bahkan, terkadang posisi antara minimarket satu dan lainnya pun berdekatan atau bersebelahan,” ungkapnya.
Ada beberapa alasan yang memengaruhi rumah tangga kelas menengah berbelanja di tokoritel modern yakni karena ajakan anak, adanya promosi, dan pemberian bonus tambahan (rewards).
“Mereka sangat sulit menolak ajakan anak ke minimarket karena anak adalah hal utama bagi mereka,” ujar Yudi.
Sementara, Managing Director Consumer Nielsen Indonesia Catherine Eddy mengatakan, saat ini rumah tangga kelas menengah Indonesia senang membelanjakan uangnya untuk membeli barang-barang konsumsi yang dapat meningkatkan taraf hidup. “Misalnya, barang-barang elektronik, kecantikan, dan alat penunjang kesehatan,” ujarnya.
Setidaknya, saat ini kaum ibu lebih memilih berbelanja di pasar modern. Hal ini yang diakui Dian,salah satu pengujung supermarket Giant yang terletak di daerah Kreo,Ciledug.Sudah 4 tahun terakhir ini Dian selalu belanja bulanan di toko ritel modern. “Tapi,untuk belanja kebutuhan harian biasanya saya mengunjungi minimarket yang ada di dekat rumah,” jelasnya kepada harian Seputar Indonesia (SINDO).
Alasan ibu tiga anak ini belanja di toko modern lebih sederhana daripada pasar tradisional. “Sebab di pasar modern sudah ada label harga, sehingga tidak butuh proses tawar penawar. Selain itu, suasana pasar modern juga lebih nyaman dan kondusif,” tandasnya.
Saat ini, sudah menjadi rahasia umum, selain alasan stigma pasar tradisional yang bau, sesak, dan becek, masyarakat semakin dimanjakan dengan adanya pasar modern.
Disamping itu, maraknya pedagang sayur keliling yang masuk ke perkampungan semakin menjauhkan pasar tradisional dari masyarakat. Kabid Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia (APPSI) Setyo Edy mengatakan, persoalan bukan pada kemunculan pasar modern, tetapi tidak ada perbaikan yang dilakukan terhadap pasar tradisional.
“Mestinya sebelum pasar-pasar modern masuk,ada baiknya jika pasar-pasar tradisional yang sudah ada diperbaiki dan dibenahi terlebih dahulu,” kata Setyo kepada SINDO, Sabtu, 29 Juli 2012.
Tak heran sampai saat ini pasar tradisional tetap terkesan semrawut, bau, dan kotor. Sejatinya kini telah ada anggaran pembenahan pasar tradisional senilai Rp180 miliar, tetapi itu hanya dibuat pembangunan fisik saja. Sementara pembinaan terhadap para pelaku pasar tradisional belum dilakukan.“ Mayoritas pelaku di pasar tradisional adalah mereka yang berpendidikan rendah,”ungkap Setyo.
Beralihnya pola belanja masyarakat di tengah makin meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia sebenarnya merupakan satu hal yang wajar. Hanya, pemerintah dapat lebih menyeimbangkan keberadaan minimarket dengan pasar tradisional, sehingga para pedagang kecil juga tidak merasa dirugikan dengan makin menjamurnya toko ritel modern.
Mereka lebih memilih pusat belanja modern seperti, minimarket, supermarket, hingga mal. Berdasarkan survei Nielsen, ada sekitar 29 juta warga kelas menengah premium di Indonesia yang tumbuh karena pendapatan per kapita mereka mencapai angka hingga USD3.000 per tahun. Masyarakat kelas menengah ini memiliki gaya tersendiri dalam berbelanja.
Dalam memilih tempat belanja, rumah tangga kelas menengah lebih banyak menghabiskan uangnya untuk kebutuhan sehari-hari di minimarket maupun supermarket daripada ke pasar-pasar tradisional. Menurut Direktur Eksekutif Konsumer Riset Nielsen Indonesia Yudi Suryanata, beralihnya pola belanja rumah tangga kelas menegah dibuktikan dengan meningkatnya angka pertumbuhan minimarket dan supermarket.
“Kini kita menjumpai minimarket dengan nama berbeda yang ada dalam satu lingkup lokasi yang sama. Bahkan, terkadang posisi antara minimarket satu dan lainnya pun berdekatan atau bersebelahan,” ungkapnya.
Ada beberapa alasan yang memengaruhi rumah tangga kelas menengah berbelanja di tokoritel modern yakni karena ajakan anak, adanya promosi, dan pemberian bonus tambahan (rewards).
“Mereka sangat sulit menolak ajakan anak ke minimarket karena anak adalah hal utama bagi mereka,” ujar Yudi.
Sementara, Managing Director Consumer Nielsen Indonesia Catherine Eddy mengatakan, saat ini rumah tangga kelas menengah Indonesia senang membelanjakan uangnya untuk membeli barang-barang konsumsi yang dapat meningkatkan taraf hidup. “Misalnya, barang-barang elektronik, kecantikan, dan alat penunjang kesehatan,” ujarnya.
Setidaknya, saat ini kaum ibu lebih memilih berbelanja di pasar modern. Hal ini yang diakui Dian,salah satu pengujung supermarket Giant yang terletak di daerah Kreo,Ciledug.Sudah 4 tahun terakhir ini Dian selalu belanja bulanan di toko ritel modern. “Tapi,untuk belanja kebutuhan harian biasanya saya mengunjungi minimarket yang ada di dekat rumah,” jelasnya kepada harian Seputar Indonesia (SINDO).
Alasan ibu tiga anak ini belanja di toko modern lebih sederhana daripada pasar tradisional. “Sebab di pasar modern sudah ada label harga, sehingga tidak butuh proses tawar penawar. Selain itu, suasana pasar modern juga lebih nyaman dan kondusif,” tandasnya.
Saat ini, sudah menjadi rahasia umum, selain alasan stigma pasar tradisional yang bau, sesak, dan becek, masyarakat semakin dimanjakan dengan adanya pasar modern.
Disamping itu, maraknya pedagang sayur keliling yang masuk ke perkampungan semakin menjauhkan pasar tradisional dari masyarakat. Kabid Penelitian dan Pengembangan Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia (APPSI) Setyo Edy mengatakan, persoalan bukan pada kemunculan pasar modern, tetapi tidak ada perbaikan yang dilakukan terhadap pasar tradisional.
“Mestinya sebelum pasar-pasar modern masuk,ada baiknya jika pasar-pasar tradisional yang sudah ada diperbaiki dan dibenahi terlebih dahulu,” kata Setyo kepada SINDO, Sabtu, 29 Juli 2012.
Tak heran sampai saat ini pasar tradisional tetap terkesan semrawut, bau, dan kotor. Sejatinya kini telah ada anggaran pembenahan pasar tradisional senilai Rp180 miliar, tetapi itu hanya dibuat pembangunan fisik saja. Sementara pembinaan terhadap para pelaku pasar tradisional belum dilakukan.“ Mayoritas pelaku di pasar tradisional adalah mereka yang berpendidikan rendah,”ungkap Setyo.
Beralihnya pola belanja masyarakat di tengah makin meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia sebenarnya merupakan satu hal yang wajar. Hanya, pemerintah dapat lebih menyeimbangkan keberadaan minimarket dengan pasar tradisional, sehingga para pedagang kecil juga tidak merasa dirugikan dengan makin menjamurnya toko ritel modern.
(kur)