Menggapai peluang, hindari jebakan
A
A
A
Kemunculan kelas menengah di Asia, termasuk Indonesia, merupakan hasil yang tidak terhindarkan dari reformasi ekonomi. Kemunculan kelas menengah baru di Asia mulai terjadi pada era 1980-an dan 1990-an, ketika terjadi pembangunan ekonomi gelombang ketiga dan merupakan hasil industrialisasi dan modernisasi perekonomian Asia.
Modernisasi dan pembangunan ekonomi di Indonesia membawa kontribusi penting terhadap pertumbuhan pekerja kerah putih, yang akhirnya secara signifikan meningkatkan pendapatan per kapita dan memperbaiki standar hidup. Jika membahas penduduk kelas menengah (middle class income), kita bisa membahas dari aspek ekonomi maupun aspek sosial budaya.
Definisi kelas menengah (middle class) dari aspek ekonomi memiliki arti yang berbeda- beda. Easterly (2001) mendefinisikan middle class merupakan masyarakat yang berada di kuantil kedua, ketiga, dan keempat dari distribusi pengeluaran konsumsi per kapita.
Sementara, Asian Development Bank (2010), mendefinisikan kelas menengah merupakan masyarakat yang memiliki tingkat pengeluaran harian per kapita sebesar USD2–20 berdasarkan purchasing power parity (PPP) absolut tahun 2005, di mana World Bank (2011) juga menggunakan konsep yang sama dengan ADB.
Dari sudut pandang sosial-budaya, Anshori (2009) mendefinisikan bahwa “middle class people are those who are carrying out a new cultural space which they explicitly locate between classes above and below. Consumption patterns and lifestyle mainly serve as new performance mediums. Henceforth, wearing the proper clothing or driving a car constitutes an important part of middle class”. Jadi dari sudut pandang sosial, penduduk kelas menengah memiliki gaya hidup tersendiri.
Goldman Sachs memprediksikan bahwa share dari middle class income di Indonesia akan meningkat dari 29% pada 2015 menjadi 57% pada 2025, dan akan menjadi 87% pada 2040. Terlihat bahwa tren dari kelas menengah Indonesia diprediksi meningkat terus hingga 2040. Jika kita bandingkan dengan Brasil, Goldman Sachs memproyeksikan bahwa peningkatan penduduk kelas menengah Brasil tidak sepesat Indonesia.
Share dari kelas menengah Brasil meningkat dari 52% pada 2015 menjadi 59% pada 2025 dan turun menjadi 57% pada 2040. Ada beberapa indikator yang menunjukkan perkembangan kelas menengah. Pertama, tingginya pengeluaran untuk barang-barang konsumsi, seperti makanan, pakaian, alat elektronik, dan kendaraan.
Kedua, tingginya konsumsi media massa dan elektronik. Hal ini antara lain tercermin dari tingginya penggunaan internet di kalangan kelas menengah. Nielsen (2011) memperkirakan, pertumbuhan penggunaan internet kelas menengah meningkat dari 15% menjadi 23%.
Mayoritas pengguna internet adalah penduduk kelas menengah (55%). Nielsen (2011) juga melaporkan, dalam tiga tahun terakhir, tren menonton TV di kalangan kelas menengah meningkat dari 12,8% menjadi 13,5%.
Ketiga, penduduk kelas menengah juga biasanya akan menghabiskan waktu luang mereka untuk makan di restoran, berwisata, dan mengonsumsi hiburan, dan barang-barang untuk hadiah karena biasanya mereka memiliki social networkyang luas.
Kemunculan kelas menengah ditandai juga dengan meningkatnya peran wanita dalam pengambilan keputusan untuk pembelian. Dari tahun 2015–2025, pengeluaran wanita di negara-negara share yang kelas penduduk menengahnya tinggi akan meningkat. Hal ini diprediksikan terjadi di China, India, Indonesia, Vietnam, Meksiko, Rusia, dan Filipina.
Wanita akan menjadi penentu penting dalam pengambilan keputusan di rumah tangga, terutama di daerah perkotaan. Selain itu, partisipasi angkatan kerja wanita di negara-negara ini akan meningkat seiring dengan perbaikan pendidikan dan kesadaran mengenai kesetaraan gender. Bagi dunia bisnis, ini merupakan informasi penting dalam membidik segmen konsumen.
Namun di sisi lain, Studi ADB menyatakan perekonomian Asia termasuk Indonesia, berpotensi masuk dalam jebakan kelas menengah pada 2050, bila otoritas salah menerapkan kebijakan. Sebaliknya, jika pilihan kebijakan yang diambil tepat, perekonomian Asia bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia. Jebakan kelas menengah atau middle income trap ini sering kali disebut dengan istilah glass ceiling trap.
Jebakan ini sering kali tidak terlihat dan tidak disadari seperti kaca, karena tidak terlihat jangan sampai kita membentur kaca tersebut. Jebakan kelas menengah secara historis pernah kita alami dengan adanya krisis 1997/1998, di mana sebenarnya kita sudah bisa mendapatkan status middle income pada era 1990-an namun terganggu dengan adanya krisis.
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan suatu negara memiliki potensi untuk masuk di jebakan ini, yaitu rendahnya rasio investasi, buruknya kondisi pasar tenaga kerja, rendahnya pertumbuhan sektor manufaktur, serta terbatasnya diversifikasi industri.
Pengalaman negara-negara di Amerika Latin perlu kita jadikan contoh. Kebanyakan negara-negara di Amerika Latin sulit naik dari status negara dengan middle income menjadi high income. Menurut Changyong Ree (2012), yang menjadi kunci untuk menghindari jebakan kelas menengah ini adalah dengan melakukan transformasi struktural.
Berikut ini adalah rangkuman beberapa kebijakan yang dapat kita lakukan untuk menghindari jebakan kelas menengah. Pertama, menyediakan infrastruktur yang lebih baik. Golongan kelas menengah membutuhkan infrastruktur yang layak agar mereka lebih dapat meningkatkan produktivitasnya. Mereka menuntut layanan infrastruktur yang lebih baik. Ini merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi, mencakup hard infrastructures utama seperti transportasi, komunikasi, kesehatan, dan energi.
Kedua, meningkatkan kinerja di sektor manufaktur agar dapat menyerap tenaga kerja dalam kaitan dengan job creation. Peningkatan jumlah penduduk kelas menengah dan penduduk muda produktif membutuhkan ketersediaan lapangan kerja yang lebih luas dan lebih berkualitas. Ketiga, perbaikan kualitas sumber daya manusia secara kontinu melalui perbaikan pendidikan dan penciptaan inovasi secara berkelanjutan.
Investasi di bidang pendidikan dan pengetahuan harus terus ditingkatkan. Hal ini merupakan “soft infrastructure” untuk terus meningkatkan kapasitas perekonomian agar dapat terus maju menuju ke arah high income country dan meningkatkan sharependuduk berpendapatan tinggi (high income class), dengan tetap memperhatikan dampak tetesan ke masyarakat miskin (trickle down effect) agar kemiskinan di Indonesia juga bisa terus menurun.
TELISA AULIA FALIANTY
Pengamat Ekonomi EC-Think Indonesia dan Dosen FEUI
Modernisasi dan pembangunan ekonomi di Indonesia membawa kontribusi penting terhadap pertumbuhan pekerja kerah putih, yang akhirnya secara signifikan meningkatkan pendapatan per kapita dan memperbaiki standar hidup. Jika membahas penduduk kelas menengah (middle class income), kita bisa membahas dari aspek ekonomi maupun aspek sosial budaya.
Definisi kelas menengah (middle class) dari aspek ekonomi memiliki arti yang berbeda- beda. Easterly (2001) mendefinisikan middle class merupakan masyarakat yang berada di kuantil kedua, ketiga, dan keempat dari distribusi pengeluaran konsumsi per kapita.
Sementara, Asian Development Bank (2010), mendefinisikan kelas menengah merupakan masyarakat yang memiliki tingkat pengeluaran harian per kapita sebesar USD2–20 berdasarkan purchasing power parity (PPP) absolut tahun 2005, di mana World Bank (2011) juga menggunakan konsep yang sama dengan ADB.
Dari sudut pandang sosial-budaya, Anshori (2009) mendefinisikan bahwa “middle class people are those who are carrying out a new cultural space which they explicitly locate between classes above and below. Consumption patterns and lifestyle mainly serve as new performance mediums. Henceforth, wearing the proper clothing or driving a car constitutes an important part of middle class”. Jadi dari sudut pandang sosial, penduduk kelas menengah memiliki gaya hidup tersendiri.
Goldman Sachs memprediksikan bahwa share dari middle class income di Indonesia akan meningkat dari 29% pada 2015 menjadi 57% pada 2025, dan akan menjadi 87% pada 2040. Terlihat bahwa tren dari kelas menengah Indonesia diprediksi meningkat terus hingga 2040. Jika kita bandingkan dengan Brasil, Goldman Sachs memproyeksikan bahwa peningkatan penduduk kelas menengah Brasil tidak sepesat Indonesia.
Share dari kelas menengah Brasil meningkat dari 52% pada 2015 menjadi 59% pada 2025 dan turun menjadi 57% pada 2040. Ada beberapa indikator yang menunjukkan perkembangan kelas menengah. Pertama, tingginya pengeluaran untuk barang-barang konsumsi, seperti makanan, pakaian, alat elektronik, dan kendaraan.
Kedua, tingginya konsumsi media massa dan elektronik. Hal ini antara lain tercermin dari tingginya penggunaan internet di kalangan kelas menengah. Nielsen (2011) memperkirakan, pertumbuhan penggunaan internet kelas menengah meningkat dari 15% menjadi 23%.
Mayoritas pengguna internet adalah penduduk kelas menengah (55%). Nielsen (2011) juga melaporkan, dalam tiga tahun terakhir, tren menonton TV di kalangan kelas menengah meningkat dari 12,8% menjadi 13,5%.
Ketiga, penduduk kelas menengah juga biasanya akan menghabiskan waktu luang mereka untuk makan di restoran, berwisata, dan mengonsumsi hiburan, dan barang-barang untuk hadiah karena biasanya mereka memiliki social networkyang luas.
Kemunculan kelas menengah ditandai juga dengan meningkatnya peran wanita dalam pengambilan keputusan untuk pembelian. Dari tahun 2015–2025, pengeluaran wanita di negara-negara share yang kelas penduduk menengahnya tinggi akan meningkat. Hal ini diprediksikan terjadi di China, India, Indonesia, Vietnam, Meksiko, Rusia, dan Filipina.
Wanita akan menjadi penentu penting dalam pengambilan keputusan di rumah tangga, terutama di daerah perkotaan. Selain itu, partisipasi angkatan kerja wanita di negara-negara ini akan meningkat seiring dengan perbaikan pendidikan dan kesadaran mengenai kesetaraan gender. Bagi dunia bisnis, ini merupakan informasi penting dalam membidik segmen konsumen.
Namun di sisi lain, Studi ADB menyatakan perekonomian Asia termasuk Indonesia, berpotensi masuk dalam jebakan kelas menengah pada 2050, bila otoritas salah menerapkan kebijakan. Sebaliknya, jika pilihan kebijakan yang diambil tepat, perekonomian Asia bisa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia. Jebakan kelas menengah atau middle income trap ini sering kali disebut dengan istilah glass ceiling trap.
Jebakan ini sering kali tidak terlihat dan tidak disadari seperti kaca, karena tidak terlihat jangan sampai kita membentur kaca tersebut. Jebakan kelas menengah secara historis pernah kita alami dengan adanya krisis 1997/1998, di mana sebenarnya kita sudah bisa mendapatkan status middle income pada era 1990-an namun terganggu dengan adanya krisis.
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan suatu negara memiliki potensi untuk masuk di jebakan ini, yaitu rendahnya rasio investasi, buruknya kondisi pasar tenaga kerja, rendahnya pertumbuhan sektor manufaktur, serta terbatasnya diversifikasi industri.
Pengalaman negara-negara di Amerika Latin perlu kita jadikan contoh. Kebanyakan negara-negara di Amerika Latin sulit naik dari status negara dengan middle income menjadi high income. Menurut Changyong Ree (2012), yang menjadi kunci untuk menghindari jebakan kelas menengah ini adalah dengan melakukan transformasi struktural.
Berikut ini adalah rangkuman beberapa kebijakan yang dapat kita lakukan untuk menghindari jebakan kelas menengah. Pertama, menyediakan infrastruktur yang lebih baik. Golongan kelas menengah membutuhkan infrastruktur yang layak agar mereka lebih dapat meningkatkan produktivitasnya. Mereka menuntut layanan infrastruktur yang lebih baik. Ini merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi, mencakup hard infrastructures utama seperti transportasi, komunikasi, kesehatan, dan energi.
Kedua, meningkatkan kinerja di sektor manufaktur agar dapat menyerap tenaga kerja dalam kaitan dengan job creation. Peningkatan jumlah penduduk kelas menengah dan penduduk muda produktif membutuhkan ketersediaan lapangan kerja yang lebih luas dan lebih berkualitas. Ketiga, perbaikan kualitas sumber daya manusia secara kontinu melalui perbaikan pendidikan dan penciptaan inovasi secara berkelanjutan.
Investasi di bidang pendidikan dan pengetahuan harus terus ditingkatkan. Hal ini merupakan “soft infrastructure” untuk terus meningkatkan kapasitas perekonomian agar dapat terus maju menuju ke arah high income country dan meningkatkan sharependuduk berpendapatan tinggi (high income class), dengan tetap memperhatikan dampak tetesan ke masyarakat miskin (trickle down effect) agar kemiskinan di Indonesia juga bisa terus menurun.
TELISA AULIA FALIANTY
Pengamat Ekonomi EC-Think Indonesia dan Dosen FEUI
(kur)