Kelebihan dan kekurangan homeschooling
A
A
A
ORANGTUA kerap menginginkan anak-anak mereka mendapat pendidikan bermutu yang di dalamnya terdapat nilai iman dan moral. Di samping itu, mereka juga berharap suasana belajar yang diterima si anak menyenangkan.
Namun, keinginan tersebut jarang sekali ditemukan di sekolah umum (formal). Siswa selalu diorientasikan dengan nilai rapor di sekolah umum. Karena dorongan harus mengejar nilai rapor itulah, tidak sedikit siswa yang akhirnya mengambil jalan pintas, menyontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, identitas seorang siswa kerap distigmatisasi dan ditentukan teman-temannya yang lebih pintar. Kondisi ini membuat suasana belajar tidak menyenangkan.
Sekolah pun kurang mengedepankan keterampilan siswa. Perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Belum lagi kasus tawuran pelajar, seks bebas, dan narkoba di kalangan pelajar, menjadi faktor yang membangun kesadaran orangtua untuk mencari pendidikan yang relatif “aman” bagi anak-anak mereka.
Artinya, kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik, menjadi pemicu bagi keluarga memberikan pendidikan di rumah lewat homeschooling, sebuah pola pembelajaran yang dianggap bisa memberikan harapan pada kreativitas dan perkembangan mutu pendidikan anak. Pada pola homeschooling, keluarga bertanggung jawab atas pendidikan anak dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikan.
Lantas, apa yang menjadi kelebihan dalam pola pendidikan homeschooling ini? melihat pola yang banyak diterapkan selama ini, homeschooling lebih banyak memberikan keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar. Mereka tidak perlu tertekan dengan beban materi ajar yang ditargetkan kurikulum. Di samping itu, siswa mendapat pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial, dan suasana belajar yang lebih baik.
Anak juga bisa mendapat keterampilan khusus dan bisa mengembangkan sesuai bakat yang dimiliki. Kendati begitu, bukan berarti homeschooling tidak memiliki kelemahan. Pasalnya, pola belajar di rumah tidak bisa menciptakan suasana kompetitif. Anak tidak bisa membandingkan sampai di mana kemampuannya dibandingkan anak-anak lain seusianya. Selain itu, siswa homeschooling dinilai keterampilan bersosialisasinya relatif rendah.
Karena itu, risiko yang biasa diterima ialah kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi, dan kepemimpinan. Lalu, mengapa harus homeschooling? Berdasarkan penelitian Dr Brian Ray, salah satu peneliti ternama mengenai homeschooling, menyebutkan pola pendidikan di rumah menjadi tren yang tumbuh pesat di sejumlah negara di dunia. Meningkatnya jumlah siswa homeschooling disebabkan kegagalan sistem pendidikan di AS, yang dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan bisnis dan industri.
Artinya, para siswa lulusan sekolah formal di AS tidak siap untuk masuk dalam dunia kerja. Di Indonesia, belum ada catatan statistik jumlah praktisi homeschooling. Tetapi menurut data Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) yang dipimpin Seto Mulyadi, sedikitnya ada lebih dari 1.400 siswa homeschooling di Indonesia. Saat ini sekolah formal masih dianggap sebagai sistem pendidikan yang paling cocok bagi mayoritas anak-anak di Indonesia.
Namun, tidak semua anak berkesempatan bisa belajar di sekolah formal dengan berbagai alasan. Bisa jadi karena kesibukan si anak sebagai selebritas misalnya, atau orangtua yang selalu berpindah tempat kerja. Malah tidak sedikit orangtua yang beranggapan bahwa sekolah formal khususnya swasta yang menerapkan biaya sangat tinggi. Intinya, ekonomi menjadi pertimbangan orangtua.
Kondisi ini yang membuat sebagian orangtua melirik homeschooling sebagai sebuah solusi. Menurut psikolog anak, Seto Mulyadi, ada beberapa masalah yang bisa membuat homeschooling sebagai solusi, di antaranya masalah psikologis, ekonomi, hingga geografis. Dari sisi psikologis, ada anak yang tidak suka dengan pola belajar yang kaku. Terlebih jika si anak memiliki kesibukan tersendiri yang dianggap sebagai awal karier, menjadi artis misalnya.
“Homeschooling juga sering dijadikan terapi bagi anak korban bullying (kenakalan) teman-temannya. Ada juga beberapa kasus seperti bermasalah dengan guru. Mereka bisa masuk homeschooling. Setelah merasa terobati, mereka kembali lagi ke sekolah formal,” jelas Seto. Sementara dari sisi geografis, tidak sedikit orangtua karena alasan pekerjaan harus sering berpindah tugas.
Kondisi ini terpaksa membuat mereka memilih homeschooling untuk pendidikan anak-anaknya. Hal ini misalnya terjadi pada diplomat yang selalu berpindah Negara. Pakar pendidikan Arief Rachman mengatakan, homeschooling cocok bagi anak yang tinggal jauh dari sekolah. Orangtua bisa memberikan pelajaran yang nantinya akan diikutkan ujian dengan sekolah formal yang ada.
Menurut Arief, sistem homeschooling di Indonesia berbeda dengan apa ada yang ada di negara lain. “Saya tidak mau menyebut homeschooling di Indonesia asli atau tidak, namun ini adalah homeschooling ala Indonesia,” kata Arief.
Menurutnya, homeschooling cocok bagi anak yang kurang kemampuan numerik (angka-angka) dan verbal (bahasa), namun mempunyai kemampuan lain seperti bermusik dan menyanyi.
Mereka tidak perlu sekolah formal, cukup memaksimalkan kemampuan potensi mereka. Anak-anak itu juga tidak perlu ijazah sesuai dengan sekolah formal.
Namun, keinginan tersebut jarang sekali ditemukan di sekolah umum (formal). Siswa selalu diorientasikan dengan nilai rapor di sekolah umum. Karena dorongan harus mengejar nilai rapor itulah, tidak sedikit siswa yang akhirnya mengambil jalan pintas, menyontek atau membeli ijazah palsu. Selain itu, identitas seorang siswa kerap distigmatisasi dan ditentukan teman-temannya yang lebih pintar. Kondisi ini membuat suasana belajar tidak menyenangkan.
Sekolah pun kurang mengedepankan keterampilan siswa. Perhatian secara personal pada anak, kurang diperhatikan. Belum lagi kasus tawuran pelajar, seks bebas, dan narkoba di kalangan pelajar, menjadi faktor yang membangun kesadaran orangtua untuk mencari pendidikan yang relatif “aman” bagi anak-anak mereka.
Artinya, kegagalan sekolah formal dalam menghasilkan mutu pendidikan yang lebih baik, menjadi pemicu bagi keluarga memberikan pendidikan di rumah lewat homeschooling, sebuah pola pembelajaran yang dianggap bisa memberikan harapan pada kreativitas dan perkembangan mutu pendidikan anak. Pada pola homeschooling, keluarga bertanggung jawab atas pendidikan anak dengan menggunakan rumah sebagai basis pendidikan.
Lantas, apa yang menjadi kelebihan dalam pola pendidikan homeschooling ini? melihat pola yang banyak diterapkan selama ini, homeschooling lebih banyak memberikan keleluasaan bagi anak untuk menikmati proses belajar. Mereka tidak perlu tertekan dengan beban materi ajar yang ditargetkan kurikulum. Di samping itu, siswa mendapat pendidikan moral atau keagamaan, lingkungan sosial, dan suasana belajar yang lebih baik.
Anak juga bisa mendapat keterampilan khusus dan bisa mengembangkan sesuai bakat yang dimiliki. Kendati begitu, bukan berarti homeschooling tidak memiliki kelemahan. Pasalnya, pola belajar di rumah tidak bisa menciptakan suasana kompetitif. Anak tidak bisa membandingkan sampai di mana kemampuannya dibandingkan anak-anak lain seusianya. Selain itu, siswa homeschooling dinilai keterampilan bersosialisasinya relatif rendah.
Karena itu, risiko yang biasa diterima ialah kurangnya kemampuan bekerja dalam tim (team work), organisasi, dan kepemimpinan. Lalu, mengapa harus homeschooling? Berdasarkan penelitian Dr Brian Ray, salah satu peneliti ternama mengenai homeschooling, menyebutkan pola pendidikan di rumah menjadi tren yang tumbuh pesat di sejumlah negara di dunia. Meningkatnya jumlah siswa homeschooling disebabkan kegagalan sistem pendidikan di AS, yang dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan bisnis dan industri.
Artinya, para siswa lulusan sekolah formal di AS tidak siap untuk masuk dalam dunia kerja. Di Indonesia, belum ada catatan statistik jumlah praktisi homeschooling. Tetapi menurut data Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) yang dipimpin Seto Mulyadi, sedikitnya ada lebih dari 1.400 siswa homeschooling di Indonesia. Saat ini sekolah formal masih dianggap sebagai sistem pendidikan yang paling cocok bagi mayoritas anak-anak di Indonesia.
Namun, tidak semua anak berkesempatan bisa belajar di sekolah formal dengan berbagai alasan. Bisa jadi karena kesibukan si anak sebagai selebritas misalnya, atau orangtua yang selalu berpindah tempat kerja. Malah tidak sedikit orangtua yang beranggapan bahwa sekolah formal khususnya swasta yang menerapkan biaya sangat tinggi. Intinya, ekonomi menjadi pertimbangan orangtua.
Kondisi ini yang membuat sebagian orangtua melirik homeschooling sebagai sebuah solusi. Menurut psikolog anak, Seto Mulyadi, ada beberapa masalah yang bisa membuat homeschooling sebagai solusi, di antaranya masalah psikologis, ekonomi, hingga geografis. Dari sisi psikologis, ada anak yang tidak suka dengan pola belajar yang kaku. Terlebih jika si anak memiliki kesibukan tersendiri yang dianggap sebagai awal karier, menjadi artis misalnya.
“Homeschooling juga sering dijadikan terapi bagi anak korban bullying (kenakalan) teman-temannya. Ada juga beberapa kasus seperti bermasalah dengan guru. Mereka bisa masuk homeschooling. Setelah merasa terobati, mereka kembali lagi ke sekolah formal,” jelas Seto. Sementara dari sisi geografis, tidak sedikit orangtua karena alasan pekerjaan harus sering berpindah tugas.
Kondisi ini terpaksa membuat mereka memilih homeschooling untuk pendidikan anak-anaknya. Hal ini misalnya terjadi pada diplomat yang selalu berpindah Negara. Pakar pendidikan Arief Rachman mengatakan, homeschooling cocok bagi anak yang tinggal jauh dari sekolah. Orangtua bisa memberikan pelajaran yang nantinya akan diikutkan ujian dengan sekolah formal yang ada.
Menurut Arief, sistem homeschooling di Indonesia berbeda dengan apa ada yang ada di negara lain. “Saya tidak mau menyebut homeschooling di Indonesia asli atau tidak, namun ini adalah homeschooling ala Indonesia,” kata Arief.
Menurutnya, homeschooling cocok bagi anak yang kurang kemampuan numerik (angka-angka) dan verbal (bahasa), namun mempunyai kemampuan lain seperti bermusik dan menyanyi.
Mereka tidak perlu sekolah formal, cukup memaksimalkan kemampuan potensi mereka. Anak-anak itu juga tidak perlu ijazah sesuai dengan sekolah formal.
(hyk)