Sekilas UU Pendidikan Tinggi yang baru
A
A
A
DPR baru saja mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pendidikan Tinggi menjadi UU. Sebelum resmi disahkan melalui rapat paripurna, Jumat 13 Juli 2012 lalu, sempat terjadi kontroversi mengenai materi dari UU tersebut.
Terlepas apa yang menjadi kontroversi , ada baiknya diulas secara singkat mengenai pendidikan itu sendiri mengacu dari UU yang baru disahkan itu.
Dalam UU tersebut jelaskan, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
PendidikanTinggi itu sendiri ada jenjangnya mencakup, program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, program profesi dan program spesialis yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi (PT).
Tak hanya itu, dalam pendidikan ini juga memiliki kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi dan pendidikan vokasi. Istilah ini dikenal dengan program studi.
Setiap jenis pendidikan juga memiliki perbedaan, misalnya pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan/atau program pascasarjana yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi program diploma yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan. Sementara pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus.
Lalu, siapa yang melakukan pembinaan, koordinasi dan pengawasan terhadap pendidikan di Indonesia, tetu saja menjadi tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara jenis pendidikan profesi, pihak pemerintah bekerja sama dengan organisasi profesi atas mutu layanan profesi.
Dalam UU Pendidikan Tinggi itu juga diatur mengenai otonomi pengelolaan PT. Selanjutnya, juga diatur mengenai pengangkatan, penempatan dosen dan tenaga pendidik serta jenjang jabatan akademik.
Bahkan, mengenai pendanaan dan pembiayaan hingga sanksi administratif juga diatur dalam UU tentang Pendidikan Tinggi tersebut. Termasuk ketentuan tentang pidananya, yang mengatur antara lain:
Larangan bagi perseorangan, organisasi atau penyelenggara pendidikan tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan gelar maupun sertifikat akademik, vokasi, profesi, kompetensi. Hal ini diatur dalam pasal 28, 43 dan 44.
Jika aturan ini dilanggar dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 Miliar.
Namun ada beberapa pasal yang menjadi kontroversi, yaitu pasal menyangkut otonomi pengelolaan PT yang diatur dalam pasal 62, 63, 64, 65 dan 67.
Menjadi kontroversi, khususnya di pasal 62 ayat (1) PT memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma. Ayat (2) Otonomi pengelolaan PT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan PT.
Ayat (3) dasar dan tujuan serta kemampuan PT untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud ayat (2) dievaluasi secara mandiri oleh PT. Ayat (4) ketentuan lebih lanjut tentang evaluasi dasar dan tujuan serta kemampuan PT untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ayat (4) inilah yang dipandang tidak sejalan dengan ayat (3) dan mengesankan pemerintah terlalu ingin intervensi dalam otonomi PT.
Sementara pasal kontroversi berikutnya yaitu pasal 66 yang berbunyi (1) Statuta Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ditetapkan dengan Peraturan Menteri (2) Statuta PTN Badan Hukum ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (3) Statuta Perguruan Tinggi Swasta (PTS) ditetapkan dengan surat keputusan badan penyelenggara.
Pasal ini dianggap oleh para guru besar PTN maupun PTS sebagai bentuk upaya campur tangan pemerintah terhadap Perguruan Tinggi (PT). Kekhawatiran itu muncul, mengingat pasal itu menyangkut otonomi PT, mutasi dosen antar peguruan tinggi, serta penyelenggaraan perguruan tinggi swasta.
Terlepas apa yang menjadi kontroversi , ada baiknya diulas secara singkat mengenai pendidikan itu sendiri mengacu dari UU yang baru disahkan itu.
Dalam UU tersebut jelaskan, pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
PendidikanTinggi itu sendiri ada jenjangnya mencakup, program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, program profesi dan program spesialis yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi (PT).
Tak hanya itu, dalam pendidikan ini juga memiliki kesatuan kegiatan pendidikan dan pembelajaran yang memiliki kurikulum dan metode pembelajaran tertentu dalam satu jenis pendidikan akademik, pendidikan profesi dan pendidikan vokasi. Istilah ini dikenal dengan program studi.
Setiap jenis pendidikan juga memiliki perbedaan, misalnya pendidikan akademik merupakan pendidikan tinggi program sarjana dan/atau program pascasarjana yang diarahkan pada penguasaan dan pengembangan cabang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi program diploma yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu sampai program sarjana terapan. Sementara pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program sarjana yang menyiapkan mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan persyaratan keahlian khusus.
Lalu, siapa yang melakukan pembinaan, koordinasi dan pengawasan terhadap pendidikan di Indonesia, tetu saja menjadi tanggung jawab pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sementara jenis pendidikan profesi, pihak pemerintah bekerja sama dengan organisasi profesi atas mutu layanan profesi.
Dalam UU Pendidikan Tinggi itu juga diatur mengenai otonomi pengelolaan PT. Selanjutnya, juga diatur mengenai pengangkatan, penempatan dosen dan tenaga pendidik serta jenjang jabatan akademik.
Bahkan, mengenai pendanaan dan pembiayaan hingga sanksi administratif juga diatur dalam UU tentang Pendidikan Tinggi tersebut. Termasuk ketentuan tentang pidananya, yang mengatur antara lain:
Larangan bagi perseorangan, organisasi atau penyelenggara pendidikan tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan gelar maupun sertifikat akademik, vokasi, profesi, kompetensi. Hal ini diatur dalam pasal 28, 43 dan 44.
Jika aturan ini dilanggar dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 Miliar.
Namun ada beberapa pasal yang menjadi kontroversi, yaitu pasal menyangkut otonomi pengelolaan PT yang diatur dalam pasal 62, 63, 64, 65 dan 67.
Menjadi kontroversi, khususnya di pasal 62 ayat (1) PT memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan Tridharma. Ayat (2) Otonomi pengelolaan PT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan PT.
Ayat (3) dasar dan tujuan serta kemampuan PT untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud ayat (2) dievaluasi secara mandiri oleh PT. Ayat (4) ketentuan lebih lanjut tentang evaluasi dasar dan tujuan serta kemampuan PT untuk melaksanakan otonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
Ayat (4) inilah yang dipandang tidak sejalan dengan ayat (3) dan mengesankan pemerintah terlalu ingin intervensi dalam otonomi PT.
Sementara pasal kontroversi berikutnya yaitu pasal 66 yang berbunyi (1) Statuta Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ditetapkan dengan Peraturan Menteri (2) Statuta PTN Badan Hukum ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (3) Statuta Perguruan Tinggi Swasta (PTS) ditetapkan dengan surat keputusan badan penyelenggara.
Pasal ini dianggap oleh para guru besar PTN maupun PTS sebagai bentuk upaya campur tangan pemerintah terhadap Perguruan Tinggi (PT). Kekhawatiran itu muncul, mengingat pasal itu menyangkut otonomi PT, mutasi dosen antar peguruan tinggi, serta penyelenggaraan perguruan tinggi swasta.
(kur)