Dewa penolong dari Asia Tenggara
A
A
A
SEJUMLAH orang kaya di Asia Tenggara semakin menunjukkan kepedulian mereka terhadap sesama. Tidak jarang mereka menggelontorkan dana hingga jutaan dolar untuk kegiatan amal.
Miliarder Amerika Serikat (AS) Bill Gates dan istrinya, Melinda, serta sahabat mereka yang juga miliarder, Warren Buffett, mengundang makan malam sejumlah kolega mereka pada 2010 silam. Acara ini bukan sekadar kongko-kongko para superkaya di Negeri Paman Sam. Acara tersebut lebih pada upaya pasangan Gates dan Buffett membujuk para orang kaya di AS untuk mau menandatangani pernyataan publik.
Mereka bersumpah memberi Giving Pledge atau menyerukan kepada miliarder AS yang lain untuk menyumbangkan minimal 50 persen dari kekayaannya untuk amal. Lewat Giving Pledge, mereka berharap bisa menciptakan sebuah standar baru. Setidaknya, apa yang dilakukan para miliarder di AS menjadi satu rujukan bagi para filantrop di seluruh dunia agar peduli kepada sesama.
Sesuai dengan makna filantropi yang diambil dari bahasa Yunani, philein (cinta) dan anthropos (manusia), yakni tindakan mencintai sesama manusia dalam wujud kebiasaan suka bederma, beramal uang, waktu, dan tenaga kepada orang lain. Karena itu, tidak heran jika saat ini gerakan filantropi banyak dilakukan pengusaha sukses untuk berkontribusi bagi bangsanya. Di sejumlah negara Asia Tenggara, terdapat sejumlah nama besar filantrop.
Hal inilah yang dirangkum majalah Forbes Asia dalam salah satu ulasan bertajuk “2012 Southeast Asian Philanthropists” dan “Heroes of Philanthropy- Southeast Asia”. Dari Indonesia, Forbes menyebut empat nama yaitu Ciputra (80), Gunawan Jusuf (58), Low Tuck Kwong (64), dan Tahir (64). Pak Ci, sapaan akrab Ciputra, misalnya, sudah lama mendedikasikan dirinya sebagai tokoh penyebar kewirausahaan (entrepreneurship).
Salah satu sumbangan besarnya dalam dunia filantropi ialah Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC) yang didirikan pada 2006 di Surabaya. Sudah hampir 2.000 mahasiswa yang memanfaatkan kampus yang disebut-sebut pada awalnya dibangun menghabiskan dana USD10 juta itu.
Hal yang hampir serupa juga dilakukan Gunawan Jusuf, pemilik Sugar Group, sebuah pabrik gula dan perusahaan refinery yang mendanai Sekolah Sugar Group yang didirikan ibunya, Rachmiwaty. Saat ini, sekolah tersebut dikelola adik perempuannya, Purwati Lee. Sekolah tersebut menyediakan pendidikan gratis bagi 1.900 anak pegawai Sugar Group hingga tingkat perguruan tinggi jurusan politeknik. Banyak orang tua dari anak-anak tersebut bekerja di ladang tebu miliknya.
Dimulai pada 2005, dibuka lima sekolah yang sangat berbeda dengan sekolah-sekolah lain di pedesaan, yang kebanyakan dengan fasilitas seadanya. Sementara sekolah yang didirikan Sugar Group didesain dengan ruang kelas terang benderang, dilengkapi taman bermain, pendingin udara (AC) dan jaringan layanan internet nirkabel (Wi-Fi). Setiap siswa sekolah menengah atas dan mahasiswa politeknik mendapatkan dua kali makan gratis dan makanan ringan setiap hari.
Di samping itu, semua siswa mendapatkan seragam, sepatu, dan ransel. Kelas diajarkan dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Beasiswa penuh ke universitas diberikan penuh kepada siswa terbaik. Tokoh filantropi Indonesia lain yang juga peduli dengan dunia pendidikan diperlihatkan Low Tuck Kwong, pendiri dan pemimpin perusahaan pertambahan Bayan Resources. Dia membantu pendanaan beberapa universitas di Indonesia, Singapura, dan Filipina.
Tahun lalu dia menyumbang USD3 juta untuk program keprofesoran di sekolah bisnis Universitas Nasional Singapura (National University of Singapore/NUS), Singapura. Tahun ini dia juga berkontribusi kepada perpustakaan Fakultas Hukum, Universitas Manajemen Singapura. Dia juga mendukung beragam program amal yang dilakukan beberapa organisasi masyarakat, termasuk di antaranya Samaritans of Singapore dan the Children’s Society. Dia juga menyumbang bagi pemulihan korban banjir di Thailand.
Malah, dia juga membantu pemeliharaan kebun binatang di Kalimantan yang dihuni lebih dari 100 hewan, termasuk owa, beruang madu, dan burung merak, serta merehabilitasi orangutan kembali ke alam liar. Donasi serupa juga dilakukan Tahir, pendiri dan pemilik Mayapada Group. Tahir merupakan mitra investor Wahana Mediatama, pemilik lisensi Forbes Indonesia. Dia menyumbang lebih dari USD50 juta untuk beberapa universitas di China, Indonesia, dan Singapura yang umumnya untuk sumbangan beasiswa.
Tahun ini dia menyumbang USD24 juta kepada NUS untuk penelitian medis. Dia juga berencana menyumbang 10.000 komputer jinjing (laptop) bagi siswa berprestasi di sekolah menengah umum di Indonesia. Sementara dari Malaysia, terdapat sejumlah nama filantrop di antaranya Quek Leng Chan (68), kepala Hong Leong Grup. Lewat yayasannya, Hong Leong Foundation, sejak 1980 dia mengeluarkan dana sekitar USD1,6 juta setiap tahun untuk beasiswa kepada mahasiswa dan siswa penyandang cacat serta sejumlah proyek sekolah dan berbagai program kewirausahaan.
Dari Filipina, Forbes Asia memilih sejumlah nama yakni Alberto Lina (64), Regina Paz Lopez (58), Emilio Yap (86), dan Mercedes Zobel (56). Alberto Lina, pendiri dan pemimpin Lina Group, perusahaan logistik, makanan, dan retail mendanai misi medis dan gigi tahunan untuk Ibajay, sebuah komunitas di Pulau Panay. Dia juga mendonasikan proyek terbaru untuk tim basket anak muda di masyarakat terpencil.
Sementara Lopez yang merupakan Direktur Manajer Yayasan ABS CBN, menghabiskan waktu 11 tahun sebagai misionaris di Kenya dan tempat lain di Afrika sebelum pulang pada 1991 untuk menjalankan yayasan yang terkait dengan bisnis media keluarganya. Aksinya fokus untuk merehabilitasi Sungai Pasig yang melalui Manila. Dia merasa sungai berhubungan dengan sejarah dan jiwa orang Filipina. Karena itu, dia membersihkannya agar sungai tersebut memberikan harapan untuk masa depan.
Keteladanan pada tokoh filantropi di atas menunjukkan bahwa kekayaan yang mereka miliki kurang berharga jika belum dimanfaatkan untuk membantu sesama.
Miliarder Amerika Serikat (AS) Bill Gates dan istrinya, Melinda, serta sahabat mereka yang juga miliarder, Warren Buffett, mengundang makan malam sejumlah kolega mereka pada 2010 silam. Acara ini bukan sekadar kongko-kongko para superkaya di Negeri Paman Sam. Acara tersebut lebih pada upaya pasangan Gates dan Buffett membujuk para orang kaya di AS untuk mau menandatangani pernyataan publik.
Mereka bersumpah memberi Giving Pledge atau menyerukan kepada miliarder AS yang lain untuk menyumbangkan minimal 50 persen dari kekayaannya untuk amal. Lewat Giving Pledge, mereka berharap bisa menciptakan sebuah standar baru. Setidaknya, apa yang dilakukan para miliarder di AS menjadi satu rujukan bagi para filantrop di seluruh dunia agar peduli kepada sesama.
Sesuai dengan makna filantropi yang diambil dari bahasa Yunani, philein (cinta) dan anthropos (manusia), yakni tindakan mencintai sesama manusia dalam wujud kebiasaan suka bederma, beramal uang, waktu, dan tenaga kepada orang lain. Karena itu, tidak heran jika saat ini gerakan filantropi banyak dilakukan pengusaha sukses untuk berkontribusi bagi bangsanya. Di sejumlah negara Asia Tenggara, terdapat sejumlah nama besar filantrop.
Hal inilah yang dirangkum majalah Forbes Asia dalam salah satu ulasan bertajuk “2012 Southeast Asian Philanthropists” dan “Heroes of Philanthropy- Southeast Asia”. Dari Indonesia, Forbes menyebut empat nama yaitu Ciputra (80), Gunawan Jusuf (58), Low Tuck Kwong (64), dan Tahir (64). Pak Ci, sapaan akrab Ciputra, misalnya, sudah lama mendedikasikan dirinya sebagai tokoh penyebar kewirausahaan (entrepreneurship).
Salah satu sumbangan besarnya dalam dunia filantropi ialah Universitas Ciputra Entrepreneurship Center (UCEC) yang didirikan pada 2006 di Surabaya. Sudah hampir 2.000 mahasiswa yang memanfaatkan kampus yang disebut-sebut pada awalnya dibangun menghabiskan dana USD10 juta itu.
Hal yang hampir serupa juga dilakukan Gunawan Jusuf, pemilik Sugar Group, sebuah pabrik gula dan perusahaan refinery yang mendanai Sekolah Sugar Group yang didirikan ibunya, Rachmiwaty. Saat ini, sekolah tersebut dikelola adik perempuannya, Purwati Lee. Sekolah tersebut menyediakan pendidikan gratis bagi 1.900 anak pegawai Sugar Group hingga tingkat perguruan tinggi jurusan politeknik. Banyak orang tua dari anak-anak tersebut bekerja di ladang tebu miliknya.
Dimulai pada 2005, dibuka lima sekolah yang sangat berbeda dengan sekolah-sekolah lain di pedesaan, yang kebanyakan dengan fasilitas seadanya. Sementara sekolah yang didirikan Sugar Group didesain dengan ruang kelas terang benderang, dilengkapi taman bermain, pendingin udara (AC) dan jaringan layanan internet nirkabel (Wi-Fi). Setiap siswa sekolah menengah atas dan mahasiswa politeknik mendapatkan dua kali makan gratis dan makanan ringan setiap hari.
Di samping itu, semua siswa mendapatkan seragam, sepatu, dan ransel. Kelas diajarkan dalam dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Beasiswa penuh ke universitas diberikan penuh kepada siswa terbaik. Tokoh filantropi Indonesia lain yang juga peduli dengan dunia pendidikan diperlihatkan Low Tuck Kwong, pendiri dan pemimpin perusahaan pertambahan Bayan Resources. Dia membantu pendanaan beberapa universitas di Indonesia, Singapura, dan Filipina.
Tahun lalu dia menyumbang USD3 juta untuk program keprofesoran di sekolah bisnis Universitas Nasional Singapura (National University of Singapore/NUS), Singapura. Tahun ini dia juga berkontribusi kepada perpustakaan Fakultas Hukum, Universitas Manajemen Singapura. Dia juga mendukung beragam program amal yang dilakukan beberapa organisasi masyarakat, termasuk di antaranya Samaritans of Singapore dan the Children’s Society. Dia juga menyumbang bagi pemulihan korban banjir di Thailand.
Malah, dia juga membantu pemeliharaan kebun binatang di Kalimantan yang dihuni lebih dari 100 hewan, termasuk owa, beruang madu, dan burung merak, serta merehabilitasi orangutan kembali ke alam liar. Donasi serupa juga dilakukan Tahir, pendiri dan pemilik Mayapada Group. Tahir merupakan mitra investor Wahana Mediatama, pemilik lisensi Forbes Indonesia. Dia menyumbang lebih dari USD50 juta untuk beberapa universitas di China, Indonesia, dan Singapura yang umumnya untuk sumbangan beasiswa.
Tahun ini dia menyumbang USD24 juta kepada NUS untuk penelitian medis. Dia juga berencana menyumbang 10.000 komputer jinjing (laptop) bagi siswa berprestasi di sekolah menengah umum di Indonesia. Sementara dari Malaysia, terdapat sejumlah nama filantrop di antaranya Quek Leng Chan (68), kepala Hong Leong Grup. Lewat yayasannya, Hong Leong Foundation, sejak 1980 dia mengeluarkan dana sekitar USD1,6 juta setiap tahun untuk beasiswa kepada mahasiswa dan siswa penyandang cacat serta sejumlah proyek sekolah dan berbagai program kewirausahaan.
Dari Filipina, Forbes Asia memilih sejumlah nama yakni Alberto Lina (64), Regina Paz Lopez (58), Emilio Yap (86), dan Mercedes Zobel (56). Alberto Lina, pendiri dan pemimpin Lina Group, perusahaan logistik, makanan, dan retail mendanai misi medis dan gigi tahunan untuk Ibajay, sebuah komunitas di Pulau Panay. Dia juga mendonasikan proyek terbaru untuk tim basket anak muda di masyarakat terpencil.
Sementara Lopez yang merupakan Direktur Manajer Yayasan ABS CBN, menghabiskan waktu 11 tahun sebagai misionaris di Kenya dan tempat lain di Afrika sebelum pulang pada 1991 untuk menjalankan yayasan yang terkait dengan bisnis media keluarganya. Aksinya fokus untuk merehabilitasi Sungai Pasig yang melalui Manila. Dia merasa sungai berhubungan dengan sejarah dan jiwa orang Filipina. Karena itu, dia membersihkannya agar sungai tersebut memberikan harapan untuk masa depan.
Keteladanan pada tokoh filantropi di atas menunjukkan bahwa kekayaan yang mereka miliki kurang berharga jika belum dimanfaatkan untuk membantu sesama.
(hyk)