RUU Pilkada harus mengacu putusan MK
A
A
A
Sindonews.com – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menolak usulan agar bupati/wali kota yang mencalonkan diri sebagai calon gubernur (cagub) berhenti dari jabatannya. Karena itu, putusan ini seharusnya dijadikan landasan hukum dalam menyusun undang-undang, termasuk juga dalam pembahasan Rancangan Undang–Undang (RUU) Pilkada yang saat ini sedang dibahas DPR dan pemerintah.
Peneliti Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) August Mellaz menyatakan, meskipun pemerintah memiliki hak untuk berkonsultasi atau mengusulkan kepada MK, usulan agar bupati/wali kota yang maju cagub harus berhenti dari jabatannya dinilai kurang tepat.
“Pemerintah seharusnya mengedepankan prinsip kepastian hukum dan penghormatan terhadap konstitusi. Putusan MK sudah menyediakan landasan untuk itu. Karena itu, kita semua wajib menghormatinya, terlebih lagi pemerintah,” tandas August saat dihubungi di Jakarta, Minggu 24 Juni 2012.
Menurut dia, seharusnya yang patut dilakukan pemerintah adalah membuat ketentuan-ketentuan yang lebih ketat terhadap bupati/wali kota yang maju sebagai cagub. Dengan demikian, efek-efek negatif yang sering muncul dalam pilkada dapat dihilangkan.
Hal senada diungkapkan Deputi Perludem Veri Junaidi. Menurut dia, tidak ada alasan kuat untuk kembali mengusung usulan ini dalam RUU Pilkada sebab MK sudah mengeluarkan putusan yang memiliki implikasi hukum kuat.
“MK tidak mengeluarkan fatwa, tapi putusan hukum untuk usulan ini. Karena itu, secara hukum ini sangat berimplikasi kuat,” ungkapnya.
Koordinator Divisi Legislasi dan Pemilu Forum Masyarakat Pemantau Pemilu (Formappi) Yorist Oloan mengatakan, usulan tersebut menimbulkan persoalan baru sebab bukan tidak mungkin usulan itu akan kembali diajukan uji materi ke MK.
Jika sudah demikian, Yorist memperkirakan MK akan kembali mengabulkan gugatan uji materi usulan ini. “MK tentu memiliki preseden dari keputusan sebelumnya. MK tentu tidak ingin di nilai tidak konsisten. Kecuali pemerintah (mendagri) punya argumentasi baru yang sangat prinsipiil dan berbeda dari yang sudah-sudah yang dapat meyakinkan MK untuk mengabulkan permohonan tersebut,” ucap Yorist.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Katholik Parahyangan (Unpar) Bandung Asep Warlan Yusuf mengatakan, ada tiga pilihan dalam menanggapi usulan tersebut. Pertama, tetap menggunakan mekanisme saat ini yakni bupati/ wali kota cuti sementara.
Kedua, nonaktif dari jabatannya. Ketiga, mundur dari jabatannya. Untuk usulan nonaktif, ujarnya, posisi kepala daerah dapat digantikan oleh wakil ataupun sekretaris daerah (sekda). Namun, untuk usulan berhenti dari jabatan, Asep menilai hal itu tidak akan efektif.
“Nonaktif yang dinilai paling demokratis terhadap usulan tersebut,” katanya.
Sebelumnya Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan, meski usulan bupati/wali kota yang maju sebagai cagub harus mundur dari jabatan sudah ditolak MK pada 2007, pemerintah akan kembali meninjau keputusantersebut. “Kami juga akan kembali mengajukan usulan dalam draf RUU Pilkada tersebut ke MK,” ujarnya.
Mendagri mengungkapkan, bupati/wali kota yang maju jadi cagub selama ini memang mencoba-coba tidak mundur dari jabatannya sehingga kekuasaan dan kewenangan yang dia miliki tetap dapat digunakan. Padahal, hal tersebut tidak boleh dilakukan.
“Usulan bupati/wali kota mundur agar hubungan antarkepala daerah mulus, tidak ada kompetisi,” ungkapnya.
Gamawan mengatakan, tujuan usulan bupati/wali kota mundur dari jabatannya adalah cagub memiliki komitmen terhadap jabatan yang nanti diduduki. Selain itu, jika tidak rangkap jabatan, cagub tersebut ada keyakinan menjadi gubernur. “Bila tidak mundur, berarti tidak ada komitmen menjadi gubernur,”tandasnya.
Selain usulan bupati/wali kota mundur dari jabatan, mantan Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) ini juga mengatakan, keputusan MK bahwa masa jabatan bupati/wali kota selama lima tahun yang sudah ditetapkan juga akan ditinjau kembali. Dalam keputusan tersebut dinilai ada keinginan masa jabatan bupati/wali kota tidak pada masa lima tahun. (lil)
Peneliti Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) August Mellaz menyatakan, meskipun pemerintah memiliki hak untuk berkonsultasi atau mengusulkan kepada MK, usulan agar bupati/wali kota yang maju cagub harus berhenti dari jabatannya dinilai kurang tepat.
“Pemerintah seharusnya mengedepankan prinsip kepastian hukum dan penghormatan terhadap konstitusi. Putusan MK sudah menyediakan landasan untuk itu. Karena itu, kita semua wajib menghormatinya, terlebih lagi pemerintah,” tandas August saat dihubungi di Jakarta, Minggu 24 Juni 2012.
Menurut dia, seharusnya yang patut dilakukan pemerintah adalah membuat ketentuan-ketentuan yang lebih ketat terhadap bupati/wali kota yang maju sebagai cagub. Dengan demikian, efek-efek negatif yang sering muncul dalam pilkada dapat dihilangkan.
Hal senada diungkapkan Deputi Perludem Veri Junaidi. Menurut dia, tidak ada alasan kuat untuk kembali mengusung usulan ini dalam RUU Pilkada sebab MK sudah mengeluarkan putusan yang memiliki implikasi hukum kuat.
“MK tidak mengeluarkan fatwa, tapi putusan hukum untuk usulan ini. Karena itu, secara hukum ini sangat berimplikasi kuat,” ungkapnya.
Koordinator Divisi Legislasi dan Pemilu Forum Masyarakat Pemantau Pemilu (Formappi) Yorist Oloan mengatakan, usulan tersebut menimbulkan persoalan baru sebab bukan tidak mungkin usulan itu akan kembali diajukan uji materi ke MK.
Jika sudah demikian, Yorist memperkirakan MK akan kembali mengabulkan gugatan uji materi usulan ini. “MK tentu memiliki preseden dari keputusan sebelumnya. MK tentu tidak ingin di nilai tidak konsisten. Kecuali pemerintah (mendagri) punya argumentasi baru yang sangat prinsipiil dan berbeda dari yang sudah-sudah yang dapat meyakinkan MK untuk mengabulkan permohonan tersebut,” ucap Yorist.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Katholik Parahyangan (Unpar) Bandung Asep Warlan Yusuf mengatakan, ada tiga pilihan dalam menanggapi usulan tersebut. Pertama, tetap menggunakan mekanisme saat ini yakni bupati/ wali kota cuti sementara.
Kedua, nonaktif dari jabatannya. Ketiga, mundur dari jabatannya. Untuk usulan nonaktif, ujarnya, posisi kepala daerah dapat digantikan oleh wakil ataupun sekretaris daerah (sekda). Namun, untuk usulan berhenti dari jabatan, Asep menilai hal itu tidak akan efektif.
“Nonaktif yang dinilai paling demokratis terhadap usulan tersebut,” katanya.
Sebelumnya Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan, meski usulan bupati/wali kota yang maju sebagai cagub harus mundur dari jabatan sudah ditolak MK pada 2007, pemerintah akan kembali meninjau keputusantersebut. “Kami juga akan kembali mengajukan usulan dalam draf RUU Pilkada tersebut ke MK,” ujarnya.
Mendagri mengungkapkan, bupati/wali kota yang maju jadi cagub selama ini memang mencoba-coba tidak mundur dari jabatannya sehingga kekuasaan dan kewenangan yang dia miliki tetap dapat digunakan. Padahal, hal tersebut tidak boleh dilakukan.
“Usulan bupati/wali kota mundur agar hubungan antarkepala daerah mulus, tidak ada kompetisi,” ungkapnya.
Gamawan mengatakan, tujuan usulan bupati/wali kota mundur dari jabatannya adalah cagub memiliki komitmen terhadap jabatan yang nanti diduduki. Selain itu, jika tidak rangkap jabatan, cagub tersebut ada keyakinan menjadi gubernur. “Bila tidak mundur, berarti tidak ada komitmen menjadi gubernur,”tandasnya.
Selain usulan bupati/wali kota mundur dari jabatan, mantan Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) ini juga mengatakan, keputusan MK bahwa masa jabatan bupati/wali kota selama lima tahun yang sudah ditetapkan juga akan ditinjau kembali. Dalam keputusan tersebut dinilai ada keinginan masa jabatan bupati/wali kota tidak pada masa lima tahun. (lil)
()