Kompromi politik kacaukan produk UU

Senin, 25 Juni 2012 - 08:09 WIB
Kompromi politik kacaukan...
Kompromi politik kacaukan produk UU
A A A
Sindonews.com – Salah satu penyebab banyaknya aturan perundangan inkonstitusional karena penyusunannya dipenuhi kompromi dan transaksi politik, serta hanya mementingkan suara mayoritas. Padahal, hal tersebut tidak selalu identik dengan keadilan dan kebenaran konstitusi.

Pernyataan ini ditegaskan guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Jimly Assiddiqie menanggapi berulang-ulangnya produk UU di republik ini diuji materikan. "Untunglah ada MK (Mahkamah Konstitusi) yang mempunyai mekanisme JR (judicial review). Tugasnya meluruskan aturan yang tidak sesuai dengan konstitusi,” ungkapnya saat dihubungi di Jakarta, Minggu 24 Juni 2012.

Mantan Ketua MK ini juga mengatakan, konstitusi yang dianut sudah berubah meski tetap menggunakan nama UUD 1945. Sebagian besar isi dari konstitusi hasil amandemen sama sekali berbeda dengan konstitusi yang lama sehingga masih butuh penyesuaian.

Banyak sekali kebijakan setingkat undang-undang yang membutuhkan penyesuaian atau bahkan sering dibatalkan MK. Meski demikian, kunci persoalan konstitusionalitas kebijakan adalah perlunya perencanaan penyusunan perundang-undangan yang matang dan terintegritas dalam materi maupun antarsektor.

Selain masalah konstitusionalitas, aturan perundangan juga tumpang tindih, bahkan bertabrakan satu dengan lainnya. “Produk-produk demokrasi yang ada memang belum mengacu secara tepat dengan UUD. Banyak UU yang diuji dan dibatalkan, jangan dipandang sebagai cermin kebodohan para penyusunya. Tapi ada juga soal perubahan konstitusi yang mengharuskan penyesuaian aturan," paparnya.

Diberitakan sebelumnya, mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra kembali memenangkan gugatan uji materi di MK terkait aturan Pasal 97 ayat (1) UU No 6/2011 tentang Keimigrasian.

MK membatalkan ketentuan jangka waktu pencegahan seseorang keluar negeri yang setiap kali bisa diperpanjang sampai waktu tidak ditentukan. Atas kemenangan Yusril tersebut, aparat hukum hanya boleh melakukan pencegahan paling lama enam bulan dan hanya dapat diperpanjang satu kali, yaitu enam bulan berikutnya.

Kemenangan Yusril melawan pemerintah ini kali kelima. Dalam kasus ini Yusril merasa dirugikan atas pemberlakuan aturan UU Keimigrasian itu. Yusril tercatat pernah mendapat tiga kali perpanjangan pencegahan sehingga total masa pencegahan hampir mencapai dua tahun.

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johan Budi mengatakan, pembatasan putusan MK soal batas waktu pencegahan tidak memengaruhi dan menimbulkan kesulitan. Rata-rata KPK mencegah seseorang ke luar negeri dengan rentang waktu satu tahun. (lil)

()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7230 seconds (0.1#10.140)