Buah impor tumbuh subur
A
A
A
Sindonews.com - Bila menyimak angka impor buah dan sayur dalam tiga tahun terakhir ini, terasa sesak di dada mengingat negeri ini menyandang predikat sebagai negara agraris.
Meski belum ada angka resmi yang menunjukkan bahwa keterpurukan produksi buah lokal disebabkan buah impor, hal itu tak bisa dijadikan alasan untuk tidak memberi perhatian serius terhadap serbuan buah impor. Sebab boleh jadi ke depan bakal menjadi ancaman dalam sektor ketahanan pangan di dalam negeri. Sebenarnya kekhawatiran itu sudah diantisipasi pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 30 Tahun 2012 tentang Peraturan Tata Niaga Importasi Produk Holtikultura.
Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan angka impor holtikultura yang meroket belakangan ini dengan mengacu pada Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2010 yang intinya mewajibkan importir memperhatikan aspek keamanan pangan dan menjaga stabilitas pangan nasional. Sayangnya, Permendag tersebut belum bisa dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan.
Padahal jauh hari sebelumnya pemerintah sudah mengumumkan kebijakan tersebut akan diberlakukan per 15 Juni 2012. Buntutnya menyulut kekecewaan berbagai pihak,terutama para pemerhati buah lokal dan anggota DPR. Menanggapi sikap pemerintah itu,anggota Komisi IV DPR RI Ma’mur Hasanudin menilai pemerintah tidak bersungguh-sungguh untuk memproteksi komoditas produk holtikultura lokal. Meski demikian pemerintah tetap berjanji memberlakukan kebijakan tersebut pada 28 September mendatang.
Penundaan kebijakan tersebut memang menimbulkan tanda tanya, apakah bagian dari protes negara pengekspor buah lewat tangan organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/ WTO), permintaan para pengusaha yang bergerak di bidang impor buah dan sayur, atau ketakutan akan suplai buah dan sayur ke masyarakat terganggu karena produk lokal tak bisa menutupinya? Pertanyaan itu wajar saja, sebab kebijakan tersebut sudah pasti akan berdampak pada negara pengekspor, importir, dan keterbatasan suplai buah lokal yang dijadikan peluang bagi pengusaha untuk meraih keuntungan.
Secara jujur,Kementerian Perdagangan mengakui bahwa penundaan kebijakan tersebut juga tak terlepas dari ketentuan WTO. Setidaknya terdapat tiga alasan resmi pemerintah menunda peraturan tersebut. Pertama, dibutuhkan waktu sosialisasi lebih panjang untuk meyakinkan para pemangku kepentingan sehingga peraturan tersebut dapat dilaksanakan tanpa merugikan pihak terkait. Alasan kedua, untuk memberikan waktu yang cukup bagi importir menyiapkan infrastruktur bagi penyimpanan produk. Ketiga, dibutuhkan waktu untuk menotifikasi peraturan tersebut ke WTO.
“Notifikasi tersebut bukti komitmen Indonesia terhadap peraturan WTO yang sudah diratifikasi menjadiUU,” ungkap Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh kemarin. Kita berharap dari tiga alasan tersebut pemerintah bisa mendapatkan celah untuk tidak menunda lagi pemberlakuan kebijakan itu yang dijadwalkan tiga bulan ke depan. Pasalnya, angka impor buah dan sayur makin membengkak di awal tahun ini.
Sepanjang Januari hingga April 2012, sebagaimana dipublikasi Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi impor buah sudah mencapai USD298,2 juta atau Rp26 triliun yang setara dengan 292.000 ton buah. Impor buah terbesar adalah jeruk sebanyak 146.000 ton senilai USD139,2 juta, kemudian apel dan pir sebanyak 89.000 ton senilai USD 76,4 juta.
Melihat angka-angka tersebut memang sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, pada jangka pendek boleh jadi kita akan kesulitan menemukan buah lokal, misalnya buah apel malang yang betulbetul bernasib malang karena tergusur apel impor yang lebih menggoda, baik dari segi bentuk maupun harga yang kompetitif.(azh)
Meski belum ada angka resmi yang menunjukkan bahwa keterpurukan produksi buah lokal disebabkan buah impor, hal itu tak bisa dijadikan alasan untuk tidak memberi perhatian serius terhadap serbuan buah impor. Sebab boleh jadi ke depan bakal menjadi ancaman dalam sektor ketahanan pangan di dalam negeri. Sebenarnya kekhawatiran itu sudah diantisipasi pemerintah. Hal itu dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 30 Tahun 2012 tentang Peraturan Tata Niaga Importasi Produk Holtikultura.
Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengendalikan angka impor holtikultura yang meroket belakangan ini dengan mengacu pada Undang-Undang (UU) No 13 Tahun 2010 yang intinya mewajibkan importir memperhatikan aspek keamanan pangan dan menjaga stabilitas pangan nasional. Sayangnya, Permendag tersebut belum bisa dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan.
Padahal jauh hari sebelumnya pemerintah sudah mengumumkan kebijakan tersebut akan diberlakukan per 15 Juni 2012. Buntutnya menyulut kekecewaan berbagai pihak,terutama para pemerhati buah lokal dan anggota DPR. Menanggapi sikap pemerintah itu,anggota Komisi IV DPR RI Ma’mur Hasanudin menilai pemerintah tidak bersungguh-sungguh untuk memproteksi komoditas produk holtikultura lokal. Meski demikian pemerintah tetap berjanji memberlakukan kebijakan tersebut pada 28 September mendatang.
Penundaan kebijakan tersebut memang menimbulkan tanda tanya, apakah bagian dari protes negara pengekspor buah lewat tangan organisasi perdagangan dunia (World Trade Organization/ WTO), permintaan para pengusaha yang bergerak di bidang impor buah dan sayur, atau ketakutan akan suplai buah dan sayur ke masyarakat terganggu karena produk lokal tak bisa menutupinya? Pertanyaan itu wajar saja, sebab kebijakan tersebut sudah pasti akan berdampak pada negara pengekspor, importir, dan keterbatasan suplai buah lokal yang dijadikan peluang bagi pengusaha untuk meraih keuntungan.
Secara jujur,Kementerian Perdagangan mengakui bahwa penundaan kebijakan tersebut juga tak terlepas dari ketentuan WTO. Setidaknya terdapat tiga alasan resmi pemerintah menunda peraturan tersebut. Pertama, dibutuhkan waktu sosialisasi lebih panjang untuk meyakinkan para pemangku kepentingan sehingga peraturan tersebut dapat dilaksanakan tanpa merugikan pihak terkait. Alasan kedua, untuk memberikan waktu yang cukup bagi importir menyiapkan infrastruktur bagi penyimpanan produk. Ketiga, dibutuhkan waktu untuk menotifikasi peraturan tersebut ke WTO.
“Notifikasi tersebut bukti komitmen Indonesia terhadap peraturan WTO yang sudah diratifikasi menjadiUU,” ungkap Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh kemarin. Kita berharap dari tiga alasan tersebut pemerintah bisa mendapatkan celah untuk tidak menunda lagi pemberlakuan kebijakan itu yang dijadwalkan tiga bulan ke depan. Pasalnya, angka impor buah dan sayur makin membengkak di awal tahun ini.
Sepanjang Januari hingga April 2012, sebagaimana dipublikasi Badan Pusat Statistik (BPS), realisasi impor buah sudah mencapai USD298,2 juta atau Rp26 triliun yang setara dengan 292.000 ton buah. Impor buah terbesar adalah jeruk sebanyak 146.000 ton senilai USD139,2 juta, kemudian apel dan pir sebanyak 89.000 ton senilai USD 76,4 juta.
Melihat angka-angka tersebut memang sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, pada jangka pendek boleh jadi kita akan kesulitan menemukan buah lokal, misalnya buah apel malang yang betulbetul bernasib malang karena tergusur apel impor yang lebih menggoda, baik dari segi bentuk maupun harga yang kompetitif.(azh)
()