Lapindo tak layak ditanggung negara

Sabtu, 16 Juni 2012 - 09:58 WIB
Lapindo tak layak ditanggung...
Lapindo tak layak ditanggung negara
A A A
Sindonews.com – Pemerintah tidak selayaknya mengalokasikan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN) tahun 2012 untuk membiayai kerugian semburan lumpur Lapindo.

Semburan lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo, Jawa Timur yang membawa bencana bagi ribuan warga merupakan kesalahan dan kelalaian PT Lapindo Brantas Inc dalam melakukan kegiatan pengeboran minyak dan gas bumi.

"Kesalahan dalam teknik pengeboran tersebut murni merupakan tanggung jawab sepenuhnya dari pelaksana, PT Lapindo Brantas Inc. Tidak dapat dibebankan kepada pihak lain, apalagi dibebankan pada negara," tandas kuasa hukum pemohon uji materi Pasal 18 UU No 4 tahun 2012 tentang APBN-P 2012 Taufik Budiman saat sidang di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat 15 Juni 2012.

Alokasi APBN untuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) digugat oleh tiga warga yaitu Mayjen TNI (Purn) Suharto, Tjuk Kasturi Sukiadi, dan Ali Ashar Akbar. Mereka menggugat Pasal 18 UU APBN-P yang intinya menyatakan bahwa alokasi dana pada BPLS tahun anggaran 2012 dapat digunakan untuk pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak yang ditentukan peraturan presiden.

Sebagai pembayar pajak, mereka tidak terima dana yang diserahkan pada negara digunakan membayar dampak luapan lumpur tersebut. Seharusnya uang pajak dikucurkan kembali untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk kelalaian yang dilakukan oleh korporasi. Dalam alasan permohonannya, mereka menyatakan bahwa semburan lumpur bisa dihindari apabila mengikuti standart operation procedure (SOP) baku bidang pengeboran minyak dan gas bumi.

Pengeboran sumur Banjar Panji 1 di Blok Brantas seharusnya dikerjakan dalam 37 hari. Namun, menurut data dari daily drilling report (DDR), pada hari ke-85 masih dikerjakan karena ada kerusakan dan perbaikan alat pemboran yang tidak memenuhi standar. Setelah itu, pada 28 Mei 2006, telah terjadi total loss circulation (hilangnya lumpur sirkulasi secara menyeluruh) dengan indikasi sirkulasi lumpur yang kembali hanya 50%.

Selain itu juga terjadi peningkatan volume lumpur yang menandakan ada well kick (aliran balik di lubang sumur akibat tekanan formasi yang lebih besar dari tekanan lumpur) dan ada gas H2S sehingga harus dilakukan evakuasi personel (causation factor for Banjar Panji No.1 blowout Neal Adam Services). "Mencabut drill-string dari dasar sumur di tengah malam pada 28 Mei 2006 merupakan tindakan tidak kompeten dan bertentangan dengan praktik kontrol yang baik juga. Melanjutkan menarik pipa dari lubang sumur tersebut adalah dianggap ceroboh dan lalai," tandas Taufik.

Salah satu pemohon, Ali Ashar Akbar, mengatakan, pada intinya mereka tidak menolak atau menghambat ganti rugi korban Lapindo. Namun, mendorong agar PT Lapindo Brantas Inc selaku perusahaan swasta yang memiliki modal dan pencairan dana lebih cepat untuk segera menunaikan kewajibannya dibandingkan pemerintah yang prosesnya lama.

"Jika Pasal 18 dihapus, PT Lapindo Brantas Inc harus segera menyelesaikan persoalan ini dan memberikan ganti rugi kepada masyarakat korban Lapindo. Artinya tidak lagi menunggu persetujuan pihak-pihak lain. Cukup di tingkat aturan internal untuk segera dibayarkan dan mendesak penyelesaian itu bisa cepat dilaksanakan oleh PT Lapindo," ungkapnya.

Hakim konstitusi Akil Mochtar mengatakan, pemohon perlu menjelaskan hubungan kerugian akibat berlakunya UU tersebut. Pemohon harus menjelaskan siapa yang harus bertanggung jawab jika pasal tersebut akhirnya dibatalkan. "Siapa yang berhak bertanggung jawab untuk kasus tersebut ?" kata Akil. (lil)

()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7266 seconds (0.1#10.140)