Dinasti politik daerah harus dihentikan
A
A
A
Sindonews.com – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah didesak untuk segera menghentikan praktik politik dinasti yang dilakukan kepala daerah. Salah satunya dengan memperketat syarat pencalonan kepala daerah dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada.
Peneliti korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Apung Widadi mengatakan, draf RUU Pilkada yang salah satu klausulnya membatasi keluarga incumbent untuk maju dalam pilkada harus diapresiasi positif. “Memang seharusnya ada batasan yang jelas. Misalnya keluarga dua ke atas, dua ke bawah, anak, keponakan, tidak boleh maju satu periode ke depan setelah saudaranya maju. Jadi, harus ada jeda satu periode dulu,” ungkap Apung di Jakarta, Selasa (12/6/2012).
Apung menilai, klausul mengenai pembatasan dinasti politik kepala daerah ini sama sekali tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Usulan yang diajukan masih memberikan kesempatan kepada keluarga incumbent, tetapi harus diberikan jeda satu periode. Dia mengatakan, tujuan dari pengaturan ini sebenarnya mencegah dinasti politik dan meminimalisasi korupsi dan nepotisme yang rawan terjadi di daerah.
Ada kepentingan yang lebih besar di daerah terkait politik dinasti ini. “Aturan itu untuk mencegah oligarki politik. Perlu dipertegas, bukan melarang mencalonkan diri, hanya membatasi satu periode. Aturan ini juga menunjukkan bahwa ada kesetaraan dalam demokrasi. Artinya, semua golongan bisa sama-sama berpeluang memimpin daerah. DPR seharusnya mendukung hal ini,” paparnya.
Anggota Komisi II DPR Abdul Malik Haramain menyatakan, politik dinasti saat ini masih tercermin dari munculnya kerabat dalam pemerintahan suatu daerah dan hanya bertujuan melanggengkan kekuasaan di bawah sanak famili atau kroninya. Malik sependapat bahwa sudah seharusnya hal ini dibatasi karena merusak demokrasi dan berpotensi menutup ruang bagi semua warga untuk menjadi pemimpin.
Karena itu, dia mengapresiasi semangat membatasi praktik politik dinasti dalam RUU Pilkada yang merupakan usulan pemerintah. “Tapi, persyaratan waktu jeda satu periode tidak berlaku jika para kerabat itu maju mengikuti pilkada di provinsi atau kabupaten/kota yang berbeda dengan lokasi jabatan kepala daerah yang menjadi kerabatnya,” ungkapnya.
Dia menilai, terobosan yang tercantum dalam draf RUU Pilkada ini sudah seharusnya didukung. Politik dinasti telah memunculkan persaingan politik yang tidak sehat. Politik dinasti telah menghilangkan aspek keadilan yang menjadi inti demokrasi.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek mengatakan, memang perlu ada pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah incumbent. Dengan demikian, desain ini mampu menjamin suatu kompetisi yang setara. (lil)
Peneliti korupsi politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Apung Widadi mengatakan, draf RUU Pilkada yang salah satu klausulnya membatasi keluarga incumbent untuk maju dalam pilkada harus diapresiasi positif. “Memang seharusnya ada batasan yang jelas. Misalnya keluarga dua ke atas, dua ke bawah, anak, keponakan, tidak boleh maju satu periode ke depan setelah saudaranya maju. Jadi, harus ada jeda satu periode dulu,” ungkap Apung di Jakarta, Selasa (12/6/2012).
Apung menilai, klausul mengenai pembatasan dinasti politik kepala daerah ini sama sekali tidak melanggar hak asasi manusia (HAM). Usulan yang diajukan masih memberikan kesempatan kepada keluarga incumbent, tetapi harus diberikan jeda satu periode. Dia mengatakan, tujuan dari pengaturan ini sebenarnya mencegah dinasti politik dan meminimalisasi korupsi dan nepotisme yang rawan terjadi di daerah.
Ada kepentingan yang lebih besar di daerah terkait politik dinasti ini. “Aturan itu untuk mencegah oligarki politik. Perlu dipertegas, bukan melarang mencalonkan diri, hanya membatasi satu periode. Aturan ini juga menunjukkan bahwa ada kesetaraan dalam demokrasi. Artinya, semua golongan bisa sama-sama berpeluang memimpin daerah. DPR seharusnya mendukung hal ini,” paparnya.
Anggota Komisi II DPR Abdul Malik Haramain menyatakan, politik dinasti saat ini masih tercermin dari munculnya kerabat dalam pemerintahan suatu daerah dan hanya bertujuan melanggengkan kekuasaan di bawah sanak famili atau kroninya. Malik sependapat bahwa sudah seharusnya hal ini dibatasi karena merusak demokrasi dan berpotensi menutup ruang bagi semua warga untuk menjadi pemimpin.
Karena itu, dia mengapresiasi semangat membatasi praktik politik dinasti dalam RUU Pilkada yang merupakan usulan pemerintah. “Tapi, persyaratan waktu jeda satu periode tidak berlaku jika para kerabat itu maju mengikuti pilkada di provinsi atau kabupaten/kota yang berbeda dengan lokasi jabatan kepala daerah yang menjadi kerabatnya,” ungkapnya.
Dia menilai, terobosan yang tercantum dalam draf RUU Pilkada ini sudah seharusnya didukung. Politik dinasti telah memunculkan persaingan politik yang tidak sehat. Politik dinasti telah menghilangkan aspek keadilan yang menjadi inti demokrasi.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Reydonnyzar Moenek mengatakan, memang perlu ada pembatasan bagi seorang calon yang merupakan keturunan atau terdapat ikatan perkawinan dengan kepala daerah incumbent. Dengan demikian, desain ini mampu menjamin suatu kompetisi yang setara. (lil)
()