Kewenangan gubernur akan berkurang
A
A
A
Sindonews.com – Kekuatan politik gubernur akan berkurang jika pada pemilihan umum kepala daerah (pilkada) mendatang sosok gubernur dipilih oleh DPRD provinsi. Karena itu, usulan pemerintah dalam RUU Pilkada tersebut perlu dipertimbangkan.
Anggota Komisi II DPR Abdul Malik Haramain mengatakan, pihaknya tidak setuju dengan beberapa isu krusial yang ada dalam draf RUU Pilkada, termasuk pemilihan gubernur oleh DPRD. Menurut dia, gubernur tetap harus dipilih secara langsung oleh rakyat. “Gubernur harus tetap dipilih langsung oleh rakyat. Legitimasi politik gubernur harus sama kuatnya dengan bupati/wali kota. Kalau dipilih DPRD, kekuatan politik gubernur dalam membina dan mengawasi bupati/wali kota akan sangat berkurang,” ungkapnya kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (7/6/2012).
Dia mengemukakan, kendati lebih banyak menjalankan fungsi-fungsi koordinasi dengan pemerintah pusat, gubernur tetap harus diberi otoritas untuk membina dan mengawasi pelaksanaan otonomi daerah. Malik menyatakan, argumentasi efisiensi dengan peniadaan pilkada di level provinsi sangat tidak relevan. Menurut dia, efisiensi justru dapat dilakukan jika pilkada ditempuh dengan pelaksanaan secara serentak dan satu putaran. Hal itu bisa dilakukan dengan menaikkan persentase pengusung 20–25% dan dilangsungkan dalam satu putaran.
“Cara lain mengubah model kampanye yang cenderung menghambur-hamburkan dana. Sedangkan cara yang ketiga kedepannya seharusnya pilkada dilaksanakan secara serentak. Hal itu lebih masuk akal jika kita berbicara efisiensi pelaksanaan pilkada,” paparnya. Malik mengutarakan, terkait wakil kepala daerah yang direkrut dari kalangan birokrasi, hal ini akan memberi dampak secara hukum. Misalnya jika kepala daerahnya berhalangan tetap, wakil tidak bisa menggantikan. Namun, saat ditanya apakah draf RUU Pilkada ini mendesain ada sentralisasi gaya baru oleh pemerintah pusat, hal itu tidak dibenarkannya.
“Tidak. Hanya saja ada gejala birokratisasi jabatan politik. Semisal wakil kepala daerah diangkat dan harus karier,” katanya. Sementara itu, anggota Komisi II DPR AW Thalib berpendapat, bila posisi wakil kepala daerah diisi oleh pejabat karier, dikhawatirkan akan bernasib sama dengan nasib wakil menteri (wamen). Karena itu, nanti dipastikan akan menjadi perdebatan panjang. Thalib menjelaskan, dengan dihapusnya posisi wakil kepala daerah dalam draf RUU Pilkada, konsekuensinya jabatan tersebut akan diisi oleh pejabat karier. Sebaiknya jabatan wakil kepala daerah tetap menjadi jabatan politik yang juga dipilih bersama kepala daerah.
“Ini akan menjadi perdebatan dan dikhawatirkan ini akan senasib dengan kedudukan wamen yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK). Kendati demikian, jika pemerintah menginginkan penghapusan atau pembatasan jabatan wakil kepala daerah, sebaiknya itu lebih diperketat pada persyaratan atau kriteria daerah yang memerlukan wakil kepala daerah,” imbuhnya. Dia menyebutkan, hal itu bisa dilihat dari sisi demografi, geografi, dan lain-lain. Artinya, dia melanjutkan, RUU Pilkada ini juga harus mengatur tata cara pemilihan wakil kepala daerah. “Meskipun tidak semua daerah memiliki wakil kepala daerah sesuai kriteria tersebut,” katanya.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengusulkan pemilihan gubernur cukup dilakukan melalui DPRD karena dianggap lebih efektif bagi sistem demokrasi dan pemerintahan Indonesia. “Sistem pemilihan langsung bagi kepala daerah provinsi ternyata banyak sisi negatifnya. Dari sudut pandang efektivitas, efisiensi jalannya pemerintahan, pilgub lewat DPRD akan lebih tepat. Jika dilihat peran gubernur juga tak nyambung jika pemilihannya dilakukan secara langsung seperti selama ini,” ungkapnya. (lil)
Anggota Komisi II DPR Abdul Malik Haramain mengatakan, pihaknya tidak setuju dengan beberapa isu krusial yang ada dalam draf RUU Pilkada, termasuk pemilihan gubernur oleh DPRD. Menurut dia, gubernur tetap harus dipilih secara langsung oleh rakyat. “Gubernur harus tetap dipilih langsung oleh rakyat. Legitimasi politik gubernur harus sama kuatnya dengan bupati/wali kota. Kalau dipilih DPRD, kekuatan politik gubernur dalam membina dan mengawasi bupati/wali kota akan sangat berkurang,” ungkapnya kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (7/6/2012).
Dia mengemukakan, kendati lebih banyak menjalankan fungsi-fungsi koordinasi dengan pemerintah pusat, gubernur tetap harus diberi otoritas untuk membina dan mengawasi pelaksanaan otonomi daerah. Malik menyatakan, argumentasi efisiensi dengan peniadaan pilkada di level provinsi sangat tidak relevan. Menurut dia, efisiensi justru dapat dilakukan jika pilkada ditempuh dengan pelaksanaan secara serentak dan satu putaran. Hal itu bisa dilakukan dengan menaikkan persentase pengusung 20–25% dan dilangsungkan dalam satu putaran.
“Cara lain mengubah model kampanye yang cenderung menghambur-hamburkan dana. Sedangkan cara yang ketiga kedepannya seharusnya pilkada dilaksanakan secara serentak. Hal itu lebih masuk akal jika kita berbicara efisiensi pelaksanaan pilkada,” paparnya. Malik mengutarakan, terkait wakil kepala daerah yang direkrut dari kalangan birokrasi, hal ini akan memberi dampak secara hukum. Misalnya jika kepala daerahnya berhalangan tetap, wakil tidak bisa menggantikan. Namun, saat ditanya apakah draf RUU Pilkada ini mendesain ada sentralisasi gaya baru oleh pemerintah pusat, hal itu tidak dibenarkannya.
“Tidak. Hanya saja ada gejala birokratisasi jabatan politik. Semisal wakil kepala daerah diangkat dan harus karier,” katanya. Sementara itu, anggota Komisi II DPR AW Thalib berpendapat, bila posisi wakil kepala daerah diisi oleh pejabat karier, dikhawatirkan akan bernasib sama dengan nasib wakil menteri (wamen). Karena itu, nanti dipastikan akan menjadi perdebatan panjang. Thalib menjelaskan, dengan dihapusnya posisi wakil kepala daerah dalam draf RUU Pilkada, konsekuensinya jabatan tersebut akan diisi oleh pejabat karier. Sebaiknya jabatan wakil kepala daerah tetap menjadi jabatan politik yang juga dipilih bersama kepala daerah.
“Ini akan menjadi perdebatan dan dikhawatirkan ini akan senasib dengan kedudukan wamen yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK). Kendati demikian, jika pemerintah menginginkan penghapusan atau pembatasan jabatan wakil kepala daerah, sebaiknya itu lebih diperketat pada persyaratan atau kriteria daerah yang memerlukan wakil kepala daerah,” imbuhnya. Dia menyebutkan, hal itu bisa dilihat dari sisi demografi, geografi, dan lain-lain. Artinya, dia melanjutkan, RUU Pilkada ini juga harus mengatur tata cara pemilihan wakil kepala daerah. “Meskipun tidak semua daerah memiliki wakil kepala daerah sesuai kriteria tersebut,” katanya.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengusulkan pemilihan gubernur cukup dilakukan melalui DPRD karena dianggap lebih efektif bagi sistem demokrasi dan pemerintahan Indonesia. “Sistem pemilihan langsung bagi kepala daerah provinsi ternyata banyak sisi negatifnya. Dari sudut pandang efektivitas, efisiensi jalannya pemerintahan, pilgub lewat DPRD akan lebih tepat. Jika dilihat peran gubernur juga tak nyambung jika pemilihannya dilakukan secara langsung seperti selama ini,” ungkapnya. (lil)
()