Beban pemerintah pusat

Kamis, 31 Mei 2012 - 08:02 WIB
Beban pemerintah pusat
Beban pemerintah pusat
A A A
Sindonews.com - Aksi sejumlah elemen masyarakat yang menahan pengiriman batu bara dari seluruh Kalimantan berhasil membuat pemerintah pusat berubah pikiran untuk menambah pasokan bahan bakar minyak (BBM) subsidi pada empat provinsi di wilayah itu.

Pemerintah pusat memutuskan menambah volume BBM subsidi dan BBM nonsubsidi. Penambahan kuota BBM subsidi tersebut lebih dari lima persen dari kuota sebelumnya. Ancaman masyarakat Kalimantan yang disuarakan empat gubernur dari pulau terbesar di Indonesia itu memang sangat mengerikan.

Bayangkan, kalau pasokan batu bara tersendat, sebagian besar wilayah Jawa dan sekitarnya akan gelap karena Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan bahan bakar batu bara tentu tidak bisa beroperasi.

Hal itu diamini manajemen PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).Jika pemblokadean jalur pengiriman batu bara tersebut berlarut- larut, menurut Kepala Divisi Batu Bara PLN Helmi Najamuddin, stok batu bara kedodoran yang pada akhirnya mengancam kelangsungan operasi pembangkit PLN dan milik swasta. Saat ini sekitar 43 persen pembangkit listrik di Jawa menggunakan bahan bakar batu bara.

Yang menjadi persoalan, pembangkit yang menggunakan bahan bakar batu bara tidak bisa disubtitusi dengan bahan bakar lain misalnya gas. Lain ceritanya bila pembangkit menggunakan bahan bakar gas yang masih bisa dioperasikan dengan memakai BBM. Sementara itu, kontribusi batu bara dari Kalimantan untuk PLTU di Jawa mencapai 80 persen. Selebihnya pasokan berasal dari Sumatera sebanyak 20 persen.

Sedangkan kapasitas cadangan batu bara PLN saat ini hanya dapat bertahan sekitar 20–30 hari. Artinya,kalau pemblokadean jalur pasokan batu bara dari Kalimantan tersendat sendat, implikasinya besar sekali.Tidak hanya akan membuat Jawa gelap, tetapi industri juga tidak akan berproduksi yang akhirnya akan berpengaruh terhadap kinerja perekonomian nasional.

Aksi pemblokadean jalur pengiriman batu bara dari Kalimantan sebenarnya tidak hanya akan mendatangkan kerugian di Jawa dan sekitarnya, tapi juga kepentingan nasional terutama terkait pasokan energi listrik pada industri. Sedangkan kerugian dari pemerintah daerah dengan terhambatnya pengiriman bahan bakar itu akan membuat penerimaan daerah tersendat. Namun, apa boleh buat elemen masyarakat di sana menilai itulah cara paling efektif untuk didengar keluhannya oleh pemerintah pusat.

Munculnya protes keras dari empat gubernur se-Kalimantan berawal dari pengurangan kuota BBM subsidi untuk wilayah tersebut. Jatah BBM subsidi untuk Kalimantan tahun lalu sebanyak 7,19 persen, sedangkan tahun ini kuota mengecil menjadi sebesar 7 persen dari total pasokan BBM subsidi seluruh Indonesia.

Dampak pengurangan kuota tersebut semakin memperpanjang antrean masyarakat di stasiun pengisian bahan bakar umum. Semula beredar kabar bahwa jatah BBM subsidi di Kalimantan banyak tersedot oleh kendaraan milik perusahaan pertambangan dan perkebunan. Namun, pemerintah daerah tidak ingin berspekulasi atas dugaan tersebut. Yang pasti, pertumbuhan kendaraan bermotor di Kalimantan rata-rata sebanyak 20 persen per tahun.

Sayangnya,pemerintah pusat di dalam mengalokasikan kuota cenderung mengabaikan data-data faktual yang ada di daerah.

“Dari data tersebut jelas kuota BBM harus ditambah bukan dikurangi,” tegas Gubernur Kalimantan Selatan Rudy Ariffin saat mengadu di DPR pekan lalu.

Dengan memakai kacamata atas nama kepentingan nasional, aksi yang digelar elemen masyarakat dan didukung oleh orang nomor satu dari empat provinsi di Kalimantan itu, serta disokong sejumlah anggota DPRD setempat, tentu tidaklah elok.

Langkah tersebut akan menjadi preseden buruk di dalam melayarkan bangsa ini. Pemerintah daerah yang tidak puas atau merasa tidak didengar aspirasinya akan mengambil jalur ekstrem, yakni mengancam pemerintah pusat. Benih-benih ancam-mengancam ini jangan sampai tumbuh subur.(azh)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4421 seconds (0.1#10.140)