Publik siapkan gugatan grasi Corby

Jum'at, 25 Mei 2012 - 08:02 WIB
Publik siapkan gugatan...
Publik siapkan gugatan grasi Corby
A A A
Sindonews.com - Keputusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang memberikan grasi lima tahun kepada terpidana narkotika Schapelle Corby terus menuai kecaman. Gerakan Antinarkotika (Granat) bahkan berencana menggugat Presiden ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar membatalkan grasi tersebut.

"Kami sedang siapkan semuanya. Kita mulai susun hari ini (kemarin)," kata Ketua DPP Granat Henry Yosodiningrat di Jakarta, Kamis 24 Mei 2012 kemarin.

Granat bertindak untuk mewakili kepentingan publik untuk melakukan class action. Menurut dia, Granat merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang memiliki jutaan anggota. "Maka gugatan cukup diwakili oleh kita (Granat)," ucap dia.

Gugatan itu dilayangkan karena Keputusan Presiden No 22 Tahun 2012 tentang Pemberian Grasi kepada Corby, dinilai bertentangan dengan asas umum pemerintahan yang baik, juga bertentangan dengan normanorma di masyarakat dan tidak berpihak pada keadilan masyarakat serta bertentangan dengan sikap pemerintah yang sudah menyatakan perang terhadap peredaran narkotika. "Dengan alasan-alasan tersebut, kami yakin keppres itu bisa dibatalkan," ujar Henry.

Dia mempertanyakan alasan pemerintah yang menyatakan pemberian grasi karena adanya perlakuan serupa dari pemerintah Australia terhadap tahanan WNI di negara tersebut. Menurutnya, ada perbedaan status antara tahanan WNI di Australia dan Corby di Indonesia. Tahanan WNI di Australia kebanyakan adalah nelayan yang melanggar batas perairan tanpa sengaja dan juga penyelundup manusia.

"Mereka belum diproses apalagi divonis, tapi mereka akan dilepaskan atau karena dianggap membebani pemerintah Australia. Pemerintah Australia tak mau memberi mereka makan. Sementara Corby itu adalah terpidana yang sudah divonis dan menjalani hukuman. Jadi, ada perbedaan," tandasnya.

Karena itu, lanjut Henry, wajar jika publik geram dengan putusan grasi itu.Terlebih Corby adalah terpidana kasus narkotika yang merupakan kejahatan luar biasa.

Sementara itu, pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menilai janggal alasan pemerintah memberikan grasi kepada Corby agar WNI yang ditahan oleh otoritas Australia dibebaskan.

Menurut dia, WNI yang ditahan adalah para nelayan. "Para nelayan bukanlah pimpinan sindikat atau aktor intelektual, sehingga kejahatan yang dilakukan tidak sepadan dengan kejahatan yang dilakukan Corby yang dapat merusak generasi muda bangsa," papar Hikmahanto.

Tanpa pemberian grasi kepada Corby sekalipun, lanjut Hikmahanto, Australia pasti akan mengembalikan para nelayan. "Ini karena jumlah mereka yang ratusan telah menjadi beban tersendiri. Baik secara keuangan maupun fasilitas penampungan di Australia," tukas dia.

Bahkan, pemerintah Australia di mata internasional dianggap melanggar HAM karena sebagian para nelayan ditahan tanpa diketahui kapan akan disidang.

Alasan lainnya yang membuat keputusan grasi menjadi janggal adalah seorang Corby seolah dibarter dengan ratusan tahanan asal Indonesia. Menurut dia, terdapat gejala diskriminasi terhadap warga sendiri. "Seorang WN Australia dihargai dengan ratusan WNI," ucap dia.

Selain itu, apabila benar ada barter dalam pemberian grasi Corby maka pemerintah telah melakukan hubungan antarnegara yang bersifat transaksional namun tidak sebanding. Australia lebih banyak mendapat keuntungan daripada Indonesia.

Sebelumnya, staf khusus Bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan bahwa keputusan Presiden SBY memberikan keringanan hukuman kepada Corby bukan hal yang mudah. Presiden telah mempertimbangkan secara matang sebelum memutuskan pemberian grasi.

"Cukup lama proses grasi Corby dan kemudian ada penyampaian dari kementrian terkait yang memberikan pertimbangan-pertimbangan dari aspek kemanusiaan, sehingga pemberian keringanan hukuman itu bisa diberikan," ujar Teuku. (san)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6310 seconds (0.1#10.140)