Lemahnya koordinasi

Rabu, 02 Mei 2012 - 07:53 WIB
Lemahnya koordinasi
Lemahnya koordinasi
A A A
Sindonews.com - Setiap warga di Indonesia bisa memiliki lima nomor kartu identitas. Pertama dan yang paling banyak dimiliki adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kedua, mungkin seorang warga juga memiliki nomor identitas paspor. Ketiga adalah nomor identitas di Surat Izin Mengemudi (SIM), keempat adalah setiap warga juga mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan kelima nomor dari kartu automatic finger print identification center (Inafis).

Sebagian warga mungkin bahkan bisa memiliki lebih dari lima karena memiliki kartu jaminan sosial atau nomor kartu kredit. Isi dari kelima kartu yang dimiliki hampir setiap warga Indonesia itu sama, yaitu nama, tempat dan tanggal lahir, alamat rumah, tinggi atau berat badan, pekerjaan, masa berlaku, dan tanda tangan atau sidik jari. Artinya, hampir semua warga Indonesia masing-masing mempunyai lima nomor identitas.

Kondisi ini jelas berbeda dengan beberapa negara yang hanya memberikan satu nomor identitas buat warganya atau biasa disebut Single Identity Number (SIN). Seluruh negara Eropa mungkin sudah menerapkan cara ini, dan negara tetangga kita, Malaysia dan Thailand, sudah memilikinya. Malaysia mempunyai MyKad yang mampu menyimpan data identitas warga, termasuk data biometrik berupa sidik jari dan iris pattern, surat izin mengemudi, kartu ATM, kartu transportasi, catatan medis, e-commerce authentication/key, dan lain-lain.

MyKad berlaku untuk usia 12 tahun ke atas, sedangkan penduduk di bawah 12 tahun diberi MyKid (warna merah muda) yang fungsinya sama dengan akta kelahiran. Proyek ini ditangani lima instansi Pemerintah Malaysia, yaitu Dalam Negeri, Perhubungan, Kesehatan, Kepolisian, dan Imigrasi. Thailand juga setali tiga uang. Negeri Gajah Putih ini memberikan warganya ID Card yang juga hasil kerja beberapa instansi. Pemandangan ini sangat berbeda dengan di Indonesia. Ketika program KTP elektronik (e-KTP) diluncurkan, semua pihak berharap ini akan menjadi SIN warga Indonesia.

Didengungkan pula nanti e-KTP juga bisa berfungsi untuk urusan keadministrasian warga negara. Warga pun berimajinasi nantinya dompet mereka akan semakin tipis bukan karena tidak punya uang, tapi semakin sedikitnya kartu identitas. Selain itu akan sangat memudahkan warga untuk mengingat nomor pribadinya. Hadirnya Inafis mengagetkan semua pihak. Tiba-tiba pihak kepolisian meluncurkan program ini tanpa sosialisasi ke warga. Biaya yang dikenakan Rp35.000, sedangkan e-KTP gratis.

Baik Inafis maupun e-KTP mempunyai tujuan sama, yaitu mencatat identitas seorang warga. Harapan warga agar dompetnya semakin tipis pun buyar. Otak warga kembali harus diisi dengan nomor Inafis yang mau tidak mau harus dimiliki.

Semestinya, jika mempunyai maksud dan tujuan yang sama,kedua lembaga yang menangani proyek Inafis (Kepolisian RI) dan e-KTP (Kementerian Dalam Negeri) duduk bersama. Artinya, kebutuhan Kementerian Dalam Negeri dan Kepolisian RI bisa dijadikan dalam satu kartu.

Toh, diyakini isi dalam e-KTP dan Inafis hampir sama. Ini menunjukkan betapa lemahnya koordinasi antarlembaga di pemerintahan. Apalagi kedua lembaga tersebut bernaung dalam satu koordinasi di Kemenko Polhukam.

ni menunjukkan tidak matangnya sebuah program yang dilakukan pemerintah. Lemahnya koordinasi antar lembaga di pemerintahan juga menunjukkan betapa rapuhnya sistem organisasi di pemerintahan.

Tidak perlu kita belajar pada negara-negara Eropa yang sudah maju sistem kependudukannya, namun dua negara tetangga di atas bisa menjadi cermin kita, bahwa proyek identitas kependudukan bisa dibicarakan oleh beberapa lembaga. Seharusnya kementerian yang membawahi dua lembaga ini bisa mencari jalan keluar agar tidak menambah beban warga negara tentang sistem kependudukan.(azh)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5821 seconds (0.1#10.140)