Pengelola mal tuntut kejelasan tax refund

Kamis, 26 April 2012 - 08:10 WIB
Pengelola mal tuntut kejelasan tax refund
Pengelola mal tuntut kejelasan tax refund
A A A
Jakarta dikepung mal, itulah istilah yang tepat untuk menggambarkan betapa suburnya pertumbuhan pusat perbelanjaan di Ibu Kota. Untuk tahun ini, terdapat enam mal baru yang bakal mewarnai hiruk-pikuk kota metropolitan Jakarta, tiga di antara mal tersebut berukuran jumbo.

Meski pertumbuhan mal begitu gencar, dari sisi pengelolaan belum bisa berbicara banyak dibandingkan sejumlah negara tetangga yang sukses mengelola mal.
Tengok saja pengelolaan mal di Singapura di mana kontribusi pendapatan sebanyak 60 persem berasal dari turis asing dan ironisnya didominasi oleh warga Indonesia.

Adapun pendapatan mal di Indonesia hanya mengandalkan pasar domestik. Mal yang ada di Indonesia, menurut Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPB) Stefanus Ridwan, kurang lebih sama dengan yang ada di Singapura.

“Yang membedakan, pendapatan mal di Singapura 60 persen dari turis asing. Di Indonesia, kontribusi turis asing tidak sampai 1 persen,” ungkapnya.

Fenomena ini seiring dengan pertumbuhan kelas menengah di Indonesia yang kian pesat dengan gaya hidup konsumerisme yang memilih berbelanja di luar negeri. Sayangnya, uang orang kaya ini dihabiskan di negeri orang.

Tentu ini sebuah tantangan bagi pengelola pusat perbelanjaan, terutama untuk kelas menengah atas. Kelemahan konsep mal yang bertebaran di Jakarta yang tak kurang dari 75 mal hingga akhir tahun ini adalah belum terintegrasi seperti mal yang ada di Singapura, misalnya di kawasan Orchard Road.

Sebab desain dan lokasi yang bagus tak cukup untuk mengundang konsumen untuk berbelanja. Daya tarik lain mal di luar negeri yang menjadi sasaran belanja orang kaya Indonesia kabarnya adalah harga barang yang murah karena pengembalian pajak (tax refund) sudah jalan.

Kalangan pengelola pusat perbelanjaan mengakui harga barang-barang bermerek yang dijajakan di dalam negeri memang lebih mahal karena dikenai pajak barang mewah. Celakanya, fasilitas tax refund tak berfungsi sebagaimana mestinya disebabkan mekanisme restitusi yang belum jelas.

Karena itu, wajar saja jika para pelaku bisnis mal mempertanyakan keseriusan pemerintah untuk kebijakan tax refund tersebut. Sebenarnya, persoalan mal di Indonesia, terutama di Jakarta, bukan sekadar pada ketidakjelasan insentif pemerintah yang menyangkut soal perpajakan.

Pertumbuhan mal yang begitu subur juga sebuah masalah yang tak kalah pelik. Pemerintah DKI Jakarta mencoba memecahkan masalah tersebut dengan menerbitkan kebijakan penghentian izin (moratorium) pembangunan mal hingga akhir tahun ini.

Namun, kebijakan tersebut sepertinya tidak akan berarti apa-apa untuk membatasi kelahiran mal. Sebab sebelum moratorium itu diberlakukan sudah keluar izin enam mal yang dijadwalkan beroperasi tahun ini.

Selain itu, kebijakan membatasi kehadiran mal di Jakarta, meski tujuannya baik, sepertinya tidak akan efektif. Kenapa?

Belakangan ini, bagi pengembang properti, keberadaan mal adalah fasilitas penunjang untuk pembangunan perkantoran, hotel, dan apartemen. Karena itu, meski tak memberi keuntungan yang besar, bahkan cenderung rugi, keberadaan mal tetap saja dibutuhkan.

Dengan demikian, kita berharap pengelolaan mal hendaknya lebih profesional dengan mendapat dukungan insentif yang jelas dari pemerintah sehingga perputaran uang kelas menengah juga dinikmati di dalam negeri.(*)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6453 seconds (0.1#10.140)