BBM, isu yang sensitif

Rabu, 25 April 2012 - 08:01 WIB
BBM, isu yang sensitif
BBM, isu yang sensitif
A A A
Persoalan bahan bakar minyak (BBM) pada 2012 menjadi pelik. Pemerintah yang merasa kedodoran dalam memberikan subsidi gagal menaikkan harga BBM bersubsidi.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya menganulir rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Urungnya kenaikan harga BBM bersubsidi menjadi Rp6.000 ini menjadi cerita panjang di masyarakat.

Beberapa harga barang kebutuhan hidup sudah telanjur naik menanggapi rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Rakyat berteriak. Rakyat tetap berteriak meski harga BBM bersubsidi tidak naik karena harga barang kebutuhan hidup tidak turun.

Urungnya kenaikan harga BBM bersubsidi akhirnya membuat pemerintah mencari cara lain agar anggaran pemerintah tidak kedodoran.

Salah satu opsi yang dibahas adalah pembatasan penggunaan BBM bersubsidi oleh jenis kendaraan tertentu. Usulan ini bukanlah usulan baru karena pada awal 2012 usulan ini menjadi salah satu opsi untuk melakukan penghematan penggunaan BBM bersubsidi.

Opsi lainnya, yang akhirnya gagal, adalah menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi Rp6.000. Artinya, ini seperti membuka kembali cerita awal tahun lalu yaitu perdebatan tentang pembatasan BBM bersubsidi. Rencana pembatasan penggunaan BBM bersubsidi oleh jenis kendaraan tertentu pun tidak mudah.

Pemerintah yang ingin melaksanakan rencana ini pada 1 Mei pun urung melakukan. Secara ide memang usulan ini lebih realistis karena yang akan terkena pembatasan adalah golongan masyarakat yang bisa disebut mampu.

Artinya, masyarakat yang memiliki jenis mobil tertentu dilarang membeli BBM bersubsidi. Selama ini subsidi yang seharusnya diberikan kepada masyarakat tidak mampu justru digunakan oleh masyarakat yang mampu.

Logika umum mengatakan, jika seseorang mampu membeli mobil, ia masuk golongan masyarakat mampu. Mobil bukanlah kategori basic need, tapi lebih dekat pada luxury need. Jika secara ide memang tepat, tapi secara teknis pembatasan penggunaan BBM bersubsidi sangat sulit.

Pertama, akan sulit mengidentifikasi jenis mobil yang berhak atau tidak berhak membeli BBM bersubsidi. Kedua, infrastruktur stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dalam menyediakan BBM nonsubsidi juga masih minim, terutama di wilayah luar Pulau Jawa. Di Pulau Jawa pun belum terlalu banyak.

Ketiga, regulasi atau lebih tepatnya sanksi bagi pelanggar terhadap aturan ini belum jelas. Memang semua yang menyangkut tentang BBM bersubsidi akan menjadi isu yang sensitif. Bukan hanya di masyarakat, melainkan juga di lingkungan politik isu ini bisa digunakan untuk melakukan manuver-manuver.

Beberapa pihak menilai isu tentang BBM bersubsidi sangat seksi untuk didiskusikan atau bahkan dimainkan. Saking sensitifnya, isu BBM bersubsidi pun bisa mengancam kelanggengan sebuah pemerintahan.

Lawan politik bisa menjadikan isu BBM bersubsidi menjadi senjata untuk menyerang. Pemerintah tak perlu khawatir tentang serangan tersebut karena memang itu hal yang wajar dalam dunia politik.

Pemerintah harus lebih khawatir tentang tidak tepatnya arah subsidi ini. Nah, melihat itu semua, pemerintah harus lebih hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan tentang BBM bersubsidi ini.

Namun, berhati-hati bukan berarti lama.Pemerintah harus cepat dan taktis dalam mengambil keputusan. Jika tidak, anggaran subsidi ini akan terus dirasakan oleh mereka yang tidak berhak. Hati-hati bukan berarti pemerintah tidak berani. Pemerintah harus berani mengambil risiko.

Jika tidak, hanya membuat semakin nyaman orang-orang yang tak berhak menikmati subsidi. Bagi pihak-pihak yang harusnya tidak berhak mendapatkan subsidi seharusnya juga menyadari kondisi diri mereka dan kondisi bangsa ini.(*)
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8609 seconds (0.1#10.140)